Direktorat Jenderal Kekayaan Negara memberikan lampu hijau kepada PT Minarak Laindo Jaya untuk menyelesaikan pembayaran utang dengan menyerahkan aset. Namun, pemerintah masih harus berkonsultasi dengan kejaksaan agung dan BPK terkait kemungkinan penyelesaian piutang tersebut.
"Secara internal, kami sedang konsultasikan ke Kejaksaan Agung dan BPK. Kami ingin mencoba berbagai cara agar kewajiban Lapindo dipenuhi, mereka mau menyerahkan aset, kami jajaki," ujar Dirjen Kekayaan Negara Isa Rachmawatarwata dalam Bincang DKJN terkait Transformasi Piutang Negara, Jumat (4/12).
Isa menjelaskan, Lapindo menawarkan aset mereka di wilayah terdampak. Pemerintah masih harus melihat dan memvaluasi nilai dari aset tersebut, apakah cukup untuk membayarkan seluruh kewajiban perusahaan tersebut.
"Kalau memang valusasinya cukup dan tidak ada masalah kami akan ambil juga. Kalau tidakk mencukupi, kami menghendaki cara lain. Pembayaran tunai menjadi opsi utama, tapi memang kami lihat juga opsi yang lain," kata Isa.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan 2019, total utang Lapindo Brantas dan Minarak kepada pemerintah sebesar Rp 1,91 triliun hingga 31 Desember 2019. Nilai tersebut terdiri dari pokok utang sebesar Rp 773,38 miliar, bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp 981,42 miliar.
Utang ini merupakan Dana Talangan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang dibayarkan pemerintah pada 2015. Sesuai kesepakatan, pinjaman tersebut harus dibayar pada 10 Juli 2019. Hingga kini, Lapindo baru membayar utang Rp 5 miliar pada Desember 2018.
Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo sempat mengajukan skema penukaran utang dengan pemerintah. Lapindo menganggap pemerintah memiliki utang sebesar US$ 138,2 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun kepada perseroan. Klaim utang tersebut berasal dari penggantian biaya eksplorasi minyak dan gas atau cost recovery.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas menilai klaim Lapindo tersebut tidak tepat. Lapindo belum berhasil menemukan cadangan migas sehingga belum bisa diberikan biaya penggantian. Selain itu, biaya penggantian pun tidak dibayarkan tunai melainkan berbentuk produksi migas.
“Ini bukan piutang Lapindo ke pemerintah, namun unrecovered cost atas biaya investasi yang belum dikembalikan sesuai mekanisme production sharing contract wilayah kerja Brantas,” ujar Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher.