Bibit-Chandra Pernah Didukung "Sahabat Pengadilan"

Arief Kamaludin|KATADATA
KATADATA | Arief Kamaludin
Penulis:
Editor: Arsip
16/7/2014, 11.14 WIB

KATADATA ? Pemberian pendapat hukum oleh sahabat pengadilan atau amicus curiae juga pernah dilakukan terhadap kasus kriminalisasi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 2010.

Ketika itu lima akademisi, yakni Hamid Chalid dan Topo Santoso (Universitas Indonesia), Prof. Ningrum Sirait (Universitas Sumatera Utara), Laode Syarif (Universitas Hasanuddin, Makassar), dan Edward O.S. Hiariej (Universitas Gadjah Mada) mengirimkan pendapat hukum kepada Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Peninjauan Kembali (PK) antara Kejaksaan Agung melawan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 130 PID/PRAP/2010/PT.DKI tanggal 3 Juni 2010.

Putusan Pengadilan Tinggi itu, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan Anggodo Widjojo dan membatalkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas kasus yang melibatkan kedua pimpinan KPK tersebut.

Dalam pandangan hukumnya, kelima akademisi itu meminta MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi karena menilai kasus yang menimpa dua pimpinan KPK sebagai rekayasa.

Keterangan tertulis Amicus Curiae itu dikirimkan pada 6 Oktober 2010, satu hari sebelum MA membuat putusan menolak permintaan peninjauan kembali (PK) dan menetapkan bahwa putusan Pengadilan Tinggi tetap berlaku.

Adapun kasus Bibit-Chandra akhirnya dihentikan setelah Kejaksaan Agung mengambil sikap menghentikan perkara demi kepentingan umum (deponering) pada 25 Oktober 2010. Sikap ini setelah melihat tekanan masyarakat.

Pada 10 Juli 2014 lalu, sebanyak 34 tokoh juga menyampaikan pdandangan hukum sebagai sahabat pengadilan dalam kasus ?Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Bailout Bank Century dengan terdakwa Budi Mulya?.

Ada delapan hal yang diminta ke-34 tokoh itu untuk dipertimbangkan Majelis Hakim sebelum memutuskan perkara tersebut. Pertama, fakta krisis perekonomian dan krisis perbankan pada 2008 di Indonesia. Kedua, penerbitan dan/atau penerapan perppu seharusnya tidak ditafsirkan secara sempit.

Ketiga, upaya pemidanaan terhadap kebijakan. Keempat, potensi ketidakpastian hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kelima, upaya-upaya pengembalian aset Bank Century di luar negeri terancam gagal.

Halaman:
Reporter: Aria W. Yudhistira