Uang digital sedang tren dan makin banyak digunakan di dunia. Bank sentral Jepang (BoJ) memulai percobaan tahap awal untuk melihat kelayakan penerbitan mata uang digital pada Senin (5/4), menyusul upaya yang juga tengah dilakukan oleh bank sentral di berbagai belahan dunia.
Mengutip Reuters, Bank of Japan dalam pernyataannya menyebutkan bahwa tahap pertama percobaan yang berlangsung hingga Maret 2022 akan fokus pada pengujian kelayakan teknis penerbitan, pendistribusian dan penukaran mata uang digital bank sentral (CBDC).
BOJ kemudian akan beralih ke eksperimen fase kedua yang akan meneliti fungsi lebih perinci, seperti apakah akan menetapkan batas jumlah CBDC yang dapat dimiliki setiap entitas.
Direktur Eksekutif BOJ Shinichi Uchida pada bulan lalu mengatakan akan meluncurkan program percontohan yang melibatkan penyedia layanan pembayaran dan pengguna akhir jika diperlukan.
"Meskipun tidak ada perubahan dalam sikap BOJ yakni tidak ada rencana untuk menerbitkan CBDC saat ini, kami yakin memulai eksperimen pada tahap ini adalah langkah yang diperlukan," kata Uchida kepada komite pembuat kebijakan dan lobi bank yang fokus pada CBDC.
Bank sentral global sedang mengembangkan mata uang digital untuk memodernisasi sistem keuangan mereka, menangkal ancaman dari cryptocurrency dan mempercepat pembayaran domestik dan internasional.
Saat Tiongkok memimpin implementasinya, BOJ berupaya mengejar ketinggalan dalam pengembangan mata uang digital. Negara Sakura ini mengumumkan rencana untuk mulai bereksperimen tentang cara mengoperasikan mata uang digital pada Oktober 2020.
Mengutip CNBC.com, survei yang digelar Bank of International Settlements menemukan 86% dari 65 bank sentral berbagai negara tengah mengkaji hingga mengembangkan konsep mata uang digital bank sentral atau CBDC. Hampir 15% di antaranya telah mulai membuat proyek percontohan.
Deputi Gubernur Bank Italia Piero Cipollone mengatakan bahwa pengembangan CBDC dilakukan untuk memfasilitasi ekosistem keuangan yang bergeser ke arah digitalisasi. Bank Sentral ingin mengganti fungsionalitas uang ke arah digital, tetapi memiliki konsep sedekat mungkin dengan uang tunai.
Benoit Coeure, mantan anggota Bank Sentral Eropa yang saat ini menjadi Kepala BIS Innovation Hub mengatakan bahwa CBDC harus dianggap sebagai uang kertas. CBDC hanya sarana membawa uang yang dikeluarkan oleh bank sentral ke infrastruktur modern baru. Namun, berkurangnya pengguaan uang tunai bukan satu-satunya alasan banyak bank sentral mengembangkan CBDC.
Kepala Asia-Pasifik di firma strategi Exante Data Grant Wilson mengatakan bahwa kajian penyusunan CBDC oleh berbagai bank sentral kian marak saat Facebook mulai terlibat dalam proyek uang digital yang disebut Libra (sekarang dikenal sebagai Diem). Criptocurrency ini dikhawatirkan memiliki implikasi sistemik yang potensial untuk sistem keuangan.
"Pada saat Libra dikembangkan, para pejabat bank sentral mulai menyadari bahwa mereka berada di bawah ancaman. Jadi pertanyaannya menjadi, jika kita tidak bisa mengalahkan mereka maka bergabunglah dengan mereka. Itu sangat jelas setelah Libra diumumkan," ujarnya.
Bank Indonesia saat ini juga tengah mengkaji penerbitan mata uang digital. Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, pihaknya tengah merumuskan dan akan menerbitkan mata uang digital bank sentral atau central bank digital currency (CBDC). Mata uang ini akan diedarkan melalui perbankan hingga fintech.
"Ini akan diedarkan secara retail atau wholesale. Dalam konteks ini juga, kami bekerja sama erat dengan bank-bank sentral lain dalam menyusun dan mengeluarkan central bank digital currency ini," kata Perry, akhir Februari lalu.
Ia menegaskan, alat pembayaran yang sah sesuai dengan Undang-Undang 1945 saat ini hanya rupiah. Dengan demikian, seluruh metode pembayaran di Indonesia tetap harus menggunakan rupiah termasuk mata uang digital nantinya. "Masalah digital curency, itu kewenangannya ada di BI. Kami sudah menegaskan sejak awal, Bitcoin tidak dapat menjadi alat pembayaran yang sah. Demikian juga dengan mata uang lainnya," katanya.