Pemerintah Bayar Utang, Cadangan Devisa Maret Turun Jadi US$ 137,1 M
Bank Indonesia mencatat posisi cadangan devisa per akhir Maret 2021 sebesar US$ 137,1 miliar, turun dibandingkan bulan sebelumnya US$ 138,8 miliar. Penurunan cadangan devisa terutama dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah.
"Cadangan devisa dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah sesuai pola jatuh tempo pembayarannya," ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam siaran pers, Rabu (7/4).
Erwin memastikan, posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,1 bulan impor atau 9,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah,. Cadangan devisa juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," katanya.
Ke depan, menurut Erwin, cadangan devisa akan tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Angka cadangan devisa pada bulan lalu ini berada dibawah proyeksi analis. Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji memperkirakan cadangan devisa pada Maret 2021 dapat mencapai US$ 139 miliar atau kembali mencetak rekor. Cadangan devisa Indonesia mencetak rekor tertinggi secara berturut-turut dalam dua bulan pertama tahun ini.
Nafan sebelumnya menilai, cadangan devisa yang tinggi akan menjadi katalis positif terhadap pergerakan rupiah. Hal yang juga disampaikan oleh Analis Pasar Uang Bank Mandiri Reny Eka Putri. Menurut dia, angka cadangan devisa yang tinggi akan menjadi katalis tambahan bagi penguatan rupiah.
Nilai tukar rupiah pagi ini dibuka menguat di posisi Rp 14.470 per dolar AS. Namun, rupiah bergerak melemah tipis dari posisi pembukaan ke Rp 14.491 per dolar AS pada pukul 10.25 WIB.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan rupiah masih berpotensi menguat lantaran nilainya saat ini masih berada di bawah fundamental alias masih terlalu murah. Rupiah berpotensi menguat, antara lain ditopang oleh tingkat inflasi yang masih rendah.
Rendahnya inflasi di suatu negara seharusnya bisa menjadi fenomena pendorong nilai tukar," kata Dody dalam Webinar "Economic Policy in Dealing with COVID-19 Pandemic and Proper Exit Policy", Selasa (6/4).
Berdasarkan data BI, nilai tukar rupiah pada 17 Maret 2021 melemah 2,2% secara rerata dan 1,16% secara point to point dibandingkan dengan level Februari 2021. Pelemahan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan imbal hasil atau yield surat utang AS dan penguatan mata uang Negeri Paman Sam yang sempat menahan aliran masuk investasi portofolio asing ke pasar keuangan domestik.
Dengan perkembangan itu, rupiah sampai dengan 17 Maret 2021 mencatat depresiasi sekitar 2,62% dibandingkan dengan level akhir 2020. Namun, depresiasi tersebut relatif lebih rendah dari sejumlah negara emerging lain seperti Brazil, Meksiko, Korea Selatan, dan Thailand.