Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5% pada hasil rapat dewan gubernur hari ini, Selasa (20/4). Keputusan tersebut diambil meski bank sentral memangkas proyeksi ekonomi domestik pada tahun ini dari 4,3-5,3% menjadi 4,1-5,1%.
"Dengan berbagai asesmen serta perkiraan ekonomi global dan domestik, Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 April 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 days reverse repo rate sebesar 3,5%," Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers hasil Rapat Dewan Gubernur bulan April 2021, Selasa (20/4).
Suku bunga fasilitas simpanan alias deposito facility tetap 2,75%. Demikian pula dengan bunga pinjaman atau lending facility tetap 4,25%. BI telah menurunkan suku bunga acuan sejak akhir 2018 sebesar 2,5%. Pada tahun ini, BI 7-days reverse repo rate telah turun 0,25% ke level terendah sepanjang sejarah.
Perry menjelaskan, keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas rupiah seiring volitalitas yang terjadi di pasar keuangan global meski perkiraan inflasi tetap rendah.
Sepanjang bulan ini hingga 19 April 2021, rupiah terdepresiasi 1,16% secara rata-rata dan 0,15% secara point to point dibandingkan akhir maret 2021. Sementara dibandingkan akhir tahun lalu, rupiah telah terdepresiasi 3,42%. Meski demikian, Perry menjelaskan, pelemahan rupiah masih lebih baik dibandingkan negara berkembang lainnya.
"BI terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuditas di pasar," katanya.
Di sisi lain, menurut Perry, inflasi saat ini terjaga tetap rendah. Inflasi Maret tercatat 0,08% secara bulanan atau 1,37% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. "Inflasi yang masih rendah sejalan permintaan domestik yang belum kuat. Inflasi tahun ini akan berada pada kisaran target," katanya.
Perry menjelaskan, ekonomi global diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya tetapi tidak berlangsung merata. Perbaikan proyeksi ekonomi ditopang oleh ekonomi AS dan Tiongkok.
"BI merevisi proyeksi ekonomi global pada tahun ini dari sebelumnya 5,1% menjadi 5,7%," kata dia.
Ia mengatakan, perbaikan proyeksi ekonomi ini terkonfimasi dengan ndikator-indikator ekonomi sejumlah negara seperti PMI indeks, penjualan retail, dan keyakinan konsumen yang membaik. Sejalan dengan perbaikan ekonomi global, menurut Perry, volume perdagangan dan harga komoditas meningkat sehingga mendukung kinerja ekspor negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sementara itu, Perry menyebutkan, ketidakpastian pasar keuangan dan volatilitas yield us treasury masih berlangsung seiring perbaikan ekonomi AS dan persepsi pasar terhadap kebijakan The Fed. "Ini berdampak pada berkurangnya aliran modal asing dan tekanan pada mata uang sejumlah negara, termasuk Indonesia," kata dia.
Di sisi lain, menurut dia, perbaikan ekonomi domestik didukung membaiknya ekspor dan belanja fiskal. Ia menjelaskan, stimulus fiskal dalam bentuk belanja bansos meningkat lebih tinggi dari perkiraan sehingga menoipang perekonomian domestik.
Namun, konsumsi swasta hingga Maret 2021 cenderung lebih tertahan sejalan dengan masih terbatasnya mobilitas masyarakat. "Dengan akselserasi program vaksinasi nasional yang terus berjalan, pertumbuhan eknomi Indonesia pada tahun ini akan berada pada kisaran 4,1% hingga 5,1%," katanya.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Anthony Kevin sebelumnya mengatakan bank sentral akan memilih bermain aman dengan mempertahankan suku bunga acuan untuk meredakan tekanan jual terhadap rupiah. "Meskipun proyeksi kami untuk kinerja makroekonomi relatif suram di masa depan," kata Anthony dalam hasil kajiannya yang diterima Katadata.co.id, Senin (19/4).
Setelah menguat pada November 2020 hingga Januari 2021, kurs rupiah terdepresiasi sebesar 1,5% pada bulan Februari 2021. Selama bulan Maret dan April, tekanan jual terhadap rupiah pun terus terjadi.
Di sisi lain, IHS Markit mengumumkan PMI manufaktur RI periode Maret 2021 di level 53,2, menandai ekspansi selama 5 bulan beruntun. Namun begitu, Anthony memproyeksikan bahwa aktivitas manufaktur akan terkontraksi pada April seiring dengan masih lemahnya pemulihan daya beli masyarakat Indonesia.
Selain itu, dia berpendapat bahwa data terakhir menunjukkan indeks keyakinan konsumen dan penjualan barang-barang ritel masih lemah. "Hal tersebut kemudian terefleksikan ke dalam tingkat inflasi yang lemah juga," ujarnya.