Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,05% ke level Rp 14.215 per dolar AS pada perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah diperkirakan masih akan melanjutkan pelemahan di tengah tren kenaikan harga energi global yang dapat menganggu pemulihan ekonomi.
Mengutip Bloomberg, rupiah sempat berbalik menguat tipis ke level Rp 14.214 pada pukul 09.20 WIB. Kendati demikian, ini belum mencapai level penutupan kemarin di posisi Rp 14.208 per dolar AS.
Mayoritas mata uang Asia lainnya juga melemah. Yen Jepang melemah 0,03%, dolar Hong Kong, peso Filipina dan dolar Singapura kompak melemah 0,02%, dolar Taiwan 0,10%, won Korea Selatan 0,31%. Selanjutnya ringgit Malaysia dan yuan Cina melemah 0,04%, dan rupee India 0,49%. Sedangkan bath Thailand satu-satunya yang menguat 0,71%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan nilai tukar rupiah akan melanjutkan pelemahan ke kisaran Rp 14.240-Rp 14.250 per dolar AS, dengan potensi support di level Rp 14.200. Rupiah berpotensi tertekan di tengah kekhawatiran pasar terhadap kenaikan harga energi.
"Kenaikan harga energi ini bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi global," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Selasa (12/10).
Sementara itu, harga gas pagi ini terpantau menguat 1,01% bersama dengan harga minyak mentah (Tokyo) 0,71%. Harga minyak mentah WTI melemah 0,40% bersama minyak mentah Brent 0,37%.
Ariston juga menyebut kenaikan harga energi juga dapat memicu kenaikan inflasi di AS yang saat ini masih tertahan di level tinggi. Karena itu, ia juga menyebut kenaikan harga energi yang mendorong inflasi juga dapat memicu The Fed mempercepat tapering off alias pengetatan stimulus.
The Fed mempertimbangkan dua indikator utama sebelum menarik gas tapering, yakni pasar tenaga kerja dan inflasi. Anggota rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bulan lalu melihat inflasi yang tinggi memungkinkan rencana kenaikan suku bunga bisa dilakukan lebih cepat dari perkiraan awal pada 2023. Pasar mengantisipasi kenaikan suku bunga akan dilakukan pada paruh kedua tahun 2022.
Sentimen tapering off kembali menguat dua pekan terakhir yang ditunjukkan dengan kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS sejak akhir bulan lalu. Tingkat yield US Treasury pada perdagangan kemarin di level 1,61%, ini merupakan yang tertinggi sejak 3 Juni lalu di level 1,63%.
Kendati berpotensi memerah, Ariston menyebut pelemahan mungkin akan sedikit tertahan berkat sentimen positif dalam negeri. Ia menyebut perkembangan pandemi yang semakin baik mendorong ekspektasi positif terhadap ekonomi dan akhirnya membantu penguatan rupiah.
Berbeda dengan Ariston, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto optimistis rupiah akan menguat hari ini. Ia meramal rupiah akan bergerak di kisaran Rp 14.172-Rp 14.255 per dolar AS. Penguatan rupiah akan ditopang tren kenaikan harga komoditas yang masih berlangsung.
"Perkembangan harga komoditas kemungkinan berdampak positif kepada neraca perdagangan," kata Rully kepada Katadata.co.id.
Kenaikan harga-harga terjadi terutama di komoditas tambang. Harga alumunium naik 3,30% pada penutupan perdagangan semalam, tembaga juga naik 1,94%, zinc 2,51% dan timah 0,63%.
Kenaikan harga-harga komoditas sudah berlangsung beberapa bulan terakhir dan telah memicu surplus neraca dagang RI bulan Agustus tembus US$ 4,7 miliar. Ini merupakan rekor tertingginya sepanjang sejarah.
Kenaikan surplus didorong oleh pertumbuhan nilai ekspor yang lebih tinggi daripada impor. Nilai ekspor Indonesia tercatat sebesar US$ 21,40 miliar pada Agustus 2021, naik 20,95% dibandingkan pada bulan sebelumnya. Sementara itu, nilai impor Indonesia tercatat sebesar US$ 16,68 miliar pada Agustus 2021, naik 10,35% dari Juli 2021.