Pertumbuhan ekonomi Indonesia kian membaik pada 2021, meskipun masih dilanda pandemi hampir dua tahun. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, perbaikan ekonomi mulai terlihat pada kuartal-IV 2021.
Kasus pandemi yang dapat dikendalikan dan berjalan baiknya program vaksinasi Covid-19 berperan penting dalam membaiknya tingkat ekonomi.
“Ini sejalan dengan meningkatnya langkah-langkah penanganan yang ditempuh pemerintah dalam pengendalian Covid-19 varian delta,” ujar Perry dalam konferensi video (16/12/21).
Adapun faktor lainnya adalah meningkatnya tingkat mobilitas masyarakat, penjualan sektor retail, keyakinan konsumen, dan ekspansi kinerja manufaktur.
Prospek pertumbuhan juga didorong oleh kinerja konsumsi swasta, investasi, terjaganya kinerja ekspor, dan konsumsi pemerintah yang terus meningkat.
Ekonom Senior Bank DBS Radhika Rao dalam riset berjudul “DBS Focus Indonesia 2022 Outlook: Taxiing for take-off”, juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2021 di atas 4 persen.
“Dengan asumsi situasi pandemi yang tetap terkendali, diprediksi 2022 akan terjadi normalisasi pada sejumlah aspek seperti pengeluaran diskresioner, peningkatan lapangan pekerjaan, produksi, dan pertumbuhan investasi,” katanya.
Bank DBS memprediksi Produk Domestik Bruto (PDB) 2022 akan naik sebesar 4,8 persen dari perkiraan 3,6 persen tahun ini. Namun, pertumbuhan yang meningkat juga akan jadi pemicu menguatnya inflasi.
Radhika dan ekonom Bank DBS lainnya memperkirakan inflasi 2022 rata-rata 3 persen, masih dalam target BI sebesar 2-4 persen.
Hal tersebut dipengaruhi oleh reformasi subsidi dari penyesuaian tarif bahan bakar dan utilitas, penerapan perubahan pajak, produsen melewati kenaikan biaya, hingga menyempitnya kesenjangan output karena aktivitas mulai normal yang terjadi pada 2021.
Dalam kebijakan moneter, Ekonom Bank DBS melihat Indonesia akan memantau perkembangan dan mempertahankan aset domestik sebagai implikasi dari perubahan kebijakan global.
Berbeda dengan likuiditas global dan kebijakan yang longgar pada 2020 dan 2021, pasar harus bersaing dengan prospek awal yang lebih cepat terkait pengetatan kebijakan The Fed hingga 2022.
Bank Indonesia mengisyaratkan bahwa sikap kebijakan akan berubah menjadi ‘pro-stabilitas’ pada 2022, yang mencakup stabilitas harga, rupiah, serta pasar keuangan. Setiap pergeseran menuju normalisasi kebijakan, diprediksi akan condong ke langkah-langkah manajemen likuiditas pada 2022 sebagai pendahulu dari kenaikan suku bunga langsung.
Bank DBS memperkirakan kenaikan bertahap pada 7-day policy rate pada 2022. “Diprediksi terjadi kenaikan 75 bps pada 2022 dengan menjaga kenaikan mata uang dan memastikan stabilitas keuangan,” ungkap Radhika dalam laporan tersebut.
Radhika dan timnya juga memperkirakan konsolidasi fiskal akan tetap pada jalurnya. Hal ini terlihat dari saldo fiskal membaik berkat pengumpulan pendapatan nonpajak, pajak, dan laju pengeluaran yang bertahap.
Berdasarkan sejumlah perhitungan, terdapat potensi kenaikan untuk perkiraan defisit selama setahun penuh sebesar 5 persen dari PDB.
Lembaga pemeringkat pun optimistis pada kesehatan fiskal Tanah Air, berdasarkan pada rekam jejaknya yang positif.
Hal ini didasari oleh sumber kekuatan pendapatan yang lebih tahan lama, sehingga akan menjadi pendukung kesehatan fiskal melalui rasio pendapatan terhadap PDB yang lebih tinggi, pengurangan utang publik yang melampaui 40 persen dari PDB, dan beban suku bunga yang lebih rendah dibanding pendapatan pajak.
Selain itu, penyangga eksternal akan terus diperkuat berkat tiga aspek. Pertama, posisi transaksi membaik karena membaiknya performa komoditas sektor perdagangan.
Bank DBS memperkirakan transaksi berjalan pada 2021 mengalami surplus 0,2 persen dari PDB, sebelum kembali defisit minus 1,0 persen pada 2022. Itu dengan asumsi impor barang modal dan bahan baku yang lebih tinggi akibat normalisasi aktivitas sektor swasta.
Kedua, cadangan devisa berada pada rekor tertinggi, meninggalkan cakupan impor lebih tinggi dari yang dibutuhkan tiga kali lipat, melebihi utang luar negeri jangka pendek, dan memadainya peringkat yang pada metrik Assessing Reserve Adequacy (ARA) milik IMF.
Ketiga, terjadinya tren pergeseran kepemilikan obligasi pemerintah, dari yang awalnya banyak dimiliki investor asing hingga saat ini kepemilikannya didominasi oleh investor lokal, sudah seharusnya diappresiasi.
Untuk mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi Tanah Air, Bank DBS memberikan dua rekomendasi bidang yang dapat menjadi fokus ke depannya.
Pertama, perluasan sektor komoditas hilir. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah meningkatkan rantai nilai dengan memperluas industri hilir dalam sektor produksi minyak sawit dan mineral seperti nikel, timah, tembaga, dan emas.
Komoditas ini akan meningkatkan persentase pertumbuhan pangsa manufaktur, peningkatan lapangan kerja, dan perputaran yang tahan lama dalam neraca perdagangan eksternal.
Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur yang masih menjadi prioritas pemerintah Indonesia hingga saat ini. Untuk lebih banyak riset dan artikel, silakan berlangganan DBS BusinessClass di https://go.dbs.com/id-katadata-bizclass2022