BI Tahan Bunga Acuan Tetap Rendah 3,5% Demi Jaga Rupiah dan Ekonomi

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini mencapai 4,7% hingga 5,5%.
Penulis: Agustiyanti
10/2/2022, 14.44 WIB

Bank Indonesia memutuskan untuk kembali mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5% di tengah potensi percepatan tapering off dan kenaikan suku bunga The Federal Reserve. 

"Rapat Dewan Gubernur BI pada 9-10 Februari 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 days reverse repo rate sebesar 3,5%," Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers hasil Rapat Dewan Gubernur bulan Januari 2022, Kamis (10/1). 

Suku bunga fasilitas simpanan alias deposito facility tetap 2,75%. Demikian pula dengan bunga pinjaman atau lending facility tetap 4,25%. 

Perry mengatakan, keputusan ini sejalan dengan upaya menjaga nilai tukar rupiah dan menjaga pemulihan ekonomi di tengah inflasi yang terjaga. Inflasi pada Januari 2022 tercatat 0,56% secara bulanan atau 2,81% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan inflasi bulan sebelumnya.

Perry optimistis, inflasi pada tahun ini akan terjaga pada rentang kisaran BI sebesar 2% hingga 4%. Sementara itu, nilai tukar rupiah pada awal tahun ini masih terjaga di tengah ketidakpasitan global yang meningkat.

Nilai tukar rupiah pada 9 Februari 2022 menguat 0,17% secara poin to point meski melemah 0,27% secara rerata dibandingkan level Januari 2022. Perkembangan rupiah ditopang berlanjutnya aliran modal asing dan pasokan valas domestik, serta langkah-langkah stabilitas rupiah. 

"Dengan perkembangan ini, rupiah hingga 9 Februari 2022 mencatatkan depresiasi yang rendah yaitu 0,73% dibandingkan level akhir 2021. Ini sejalan dengan depresiasi sejumlah negara berkembang lainnya," kata dia

Perry mencatat, nilai tukar Filipina melemah terhadap dolar AS sebesar 0,71%, India 0,65%, dan  Korea Selatan 0,62%. Ia pun memperkirakan kurs rupiah akan tetap terjaga pada tahun ini.

Ia juga meramal pemulihan ekonomi global akan berlanjut seiring dengan percepatan vaksinasi dan berlanjutnya kebijakan fiskal yang ekspansi. Realisasi pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Eropa pada tahun lalu menunjukkan perbaikan yang berlanjut.

Menurut Perry,  pemulihan ekonomi global yang berlanjut juga dikonfirmasi oleh kinerja sejumlah indikator awal tahun ini, seperti purchasing managers index (PMI), keyakinan konsumen, dan penjualan ritel yang tetap kuat di tengah penyebaran kasus  varian Omicron. 

"Dengan perkembangan tersebut, perekonomian global tahun depan tetap sesuai dengan proyeksi kami sebelumnya 4,4%," kata dia. 

Namun demikian, ia menekankan perekonomian global masih menghadapi ketidakpastian di pasar keuangan yang meningkat seiring dengan percepatan kebijakan normalisasi negara maju, terutama Amerika Serikat dan Eropa. Normalisasi mulai ditempuh tahun ini merespons inflasi yang melonjak di negara-negara maju, terutama akibat gangguan suplai. 

Pemulihan ekonomi yang berlanjut tercermin dari data-data indikator perekonomian pada awal tahun ini, seperti data PMI, keyakinan konsumen, dan penjualan eceran. "Pertumbuhan ekonomi pada tahun ini diperkirakan mencapai 4,7% hingga 5,5% didukung percepatan vaksinasi dan stimulus kebijakan pemerintah, BI, dan otoritas terkait lainnya," ujar Perry.