Indonesia Terancam Kehilangan Devisa Rp493 T Imbas Larangan Ekspor CPO
Pemerintah resmi melarang ekspor produk olahan minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) dan olahannya yang dikenal dengan kategori refined, bleached, deodorized (RBD Palm Olein) mulai Kamis (28/4) hingga batas waktu yang belum ditentukan. Ekonom menilai keputusan dapat memengaruhi daya beli masyarakat dan berpotensi menghilangkan devisa negara cukup besar.
Kepala ekonom BCA David Sumual menghitung Indonesia akan kehilangan devisa senilai US$ 34 miliar atau sekitar Rp493 triliun gara-gara kebijakan tersebut. Angka ini diperoleh David dari data ekspor Indonesia pada 2021 yang menunjukkan kontribusi CPO mencapai 15% dari total ekspor sebesar US$ 231 miliar.
Kinerja APBN juga akan ikut terpengaharuh larangan ini. Pemerintah selama ini juga memperileh penerimaan negara dari CPO dalam bentuk pajak hingga bea keluar. Dalam perhitungan konservatif, 30 juta ton sawit yang dikirim eksportir bisa menambah APBN kira-kira senilai Rp 80 triliun.
“Jadi sebenarnya dampak yang paling dikuatirkan itu ke APBN, karena dapat memukul balik negara. Saya lihat mudharatnya banyak sekali kalau berlangsung lama,” ujar David, Jumat (29/4).
Larangan ekspor juga dapat mengganggu daya beli petani sawit. Berdasarkan data hingga 2019, jumlah mencapai 2,7 juta.
Senada dengan David, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan menyesalkan kebijakan ini. Kenaikan harga CPO yang mulai terjadi sejak 2021 tidak bisa diserap oleh negara karena pembatasan ekspor.
Dalam catatan Katadata, nilai ekspor CPO Indonesia pada 2021 adalah yang tertinggi dalam lima tahun terakhir, mencapai angka US$ 35 miliar. Terjadi kenaikan 52,8% dari nilai ekspor CPO 2020 senilai US$ 22,9 miliar. Seiring dengan itu, harga rata-rata CPO pun sudah naik 67% pada 2021 menjadi US$ 1194 per ton, dari sebelumnya US$ 715 per ton pada 2020.
Berikut grafik nilai ekspor CPO Indonesia sejak 2017 hingga 2021 yang dirangkum oleh Databoks:
Fajar menilai, pemerintah lebih baik menetapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) atau pengaturan harga ekspor dibandingkan dengan melarang sepenuhnya ekspor CPO. Dengan pengaturan harga ekspor bagi pengusaha kelapa sawit (PKS) yang dinaikkan, maka PKS tetap melakukan ekspor dengan nilai yang lebih kecil dan bisa juga menyalurkan produknya ke dalam negeri.
“Karena kalau ketakutannya adalah mafia distribusi, larangan ekspor itu bukan solusinya,” jelas Fajar kepada Katadata melalui sambungan telepon, Jumat (29/4).