Sidang Paripurna DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undangan Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) menjadi RUU inisiatif DPR pada Selasa (20/9). RUU ini merupakan omnibus law yang mengamandemen ka sejumlah undang-undang lain di sektor keuangan.
Rencana pembentukan RUU ini sudah didengungkan sejak 2020 dan akhirnya disahkan sebagai RUU inisiatif DPR. Berdasarkan draf RUU PPSK yang diperoleh Katadata.co.id, RUU ini akan mengamandemen sejumlah pasal dalam Undang-undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Undang-undang Bank Indonesia, Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, dan Undang-undang Mata uang.
RUU ini pun memiliki 19 ruang lingkup. Ruang lingkup RUU ini, terdiri dari: kelembagaan, perbankan, pasar modal, pasar uang, dan pasar valuta asing, perasuransian, asuransi usaha bersama, program penjaminan polis, usaha jasa pembiayaan, usaha modal ventura, dana pensiun, kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi, lembaga keuangan mikro.
Ruang lingkup RUU ini juga mencakup konglomerasi keuangan, inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK), penerapan keuangan berkelanjutan, inklusi keuangan dan perlindungan konsumen, akses pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah, sumber daya manusia, stabilitas sistem keuangan, dan sanksi.
Berikut beberapa poin penting atau pengaturan krusial yang Katadata.co.id coba rangkumkan berdasarkan draf RUU tersebut:
- Menkeu Bisa Menentukan saat Rapat KSSK Buntu
Pasal 9 UU PPKSK telah mengatur, pengambilan keputusan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang harus dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. UU itu juga telah mengatur voting jika musyawarah tidak tercapai.
Adapun DPR dalam RUU PPSK menambahkan ketentuan bahwa menteri keuangan memiliki kewenangan untuk memutuskan jika voting menemui kebuntuan dalam pasal tersebut. Ini karena DPR dalam RUU PPSK juga memberikan hak suara kepada LPS dalam rapat KKSK sehingga jumlah pengambil keputusan menjadi genap.
- Melanjutkan Kewenangan BI Membeli SBN
RUU PPSK akan mengatur kewenangan BI untuk membeli SBN di pasar perdana dengan merevisi pasal 11 UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Ketentuan soal pembelian SBN oleh BI di pasar perdana tersebut sebetulnya sudah muncul dalam UU Nomor 2 tahun 2020 yang merupakan respons atas penanganan pandemi Covid-19. Melalui ketentuan pada beleid tersebut, lahir tiga Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kemenkeu dan BI yang berakhir tahun ini. Namun, kewenangan BI tersebut hanya berlaku selama pandemi.
Kewenangan BI membeli SBN ini juga memicu kritik dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perwakilan fraksi PKS Hidayatullah menyebut, pembelian SBN tanpa batasan bisa mempengaruhi persepsi publik terhadap kredibilitas bank sentral dan risiko kepercayaan terhadap sektor keuangan Indonesia.
- LPS Jamin Polis Asuransi
RUU PPSK menambahkan fungsi LPS dari semula hanya menjamin simpanan nasabah perbankan, menjadi lembaga penjamin polis. LPS, antara lain berhak menentukan iuran yang akan dipungut dari perusahaan asuransi, mengelola kekayaan dan kewajiban program penjaminan polis, hingga menetapkan batas nilai pertanggungan yang dijamin program penjaminan polis.
- Pembentukan Badan Supervisi OJK dan LPS
DPR melalui RUU PPSK meminta OJK dan LPS memiliki badan supervisi atau pengawas, seperti yang sudah dimiliki Bank Indonesia saat ini. Badan Supervisi OJK dan LPS diharapkan membantu DPR dalam melakukan evaluasi kinerja kelembagaan dan pengawasan. Tujuannya untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi dan kredibilitas kelembagaan kedua lembaga negara tersebut.
- Perluasan Kewenangan BPR
Dalam draf RUU PPSK, nama Bank Perkreditan Rakyat akan diubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat. Fungsi BPR juga akan diperluas, mencakup penyediaan layanan penukaran valuta asing hingga transfer dana.
- Penerbitan Rupiah Digital
RUU PPSK akan menfasilitasi Bank Indonesia untuk menerbitkan rupiah digital. RUU ini merevisi pasal 2 dalam UU Mata Uang yang hanya menyebutkan bahwa rupiah terdiri dari rupiah kertas dan rupiah logam, dengan menambahkan jenis lain yakni rupiah digital.
Dalam RUU PPSK diatur bahwa penerbitan rupiah digital akan dilakukan oleh BI berkoordinasi dengan pemerintah. Adapun penerbitannya memperhatikan aspek kondisi moneter, kepraktisan sebagai alat pembayaran, pengendalian likuiditas, pengendalian inflasi, keseimbangan jumlah uang yang beredar, keamanan sistem data dan informasi, mitigasi risiko fraud, perlindungan data masyarakat, dan kebutuhan masyarakat.