Badan Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) menilai peran Indonesia sebagai Ketua G20 memiliki peran penting mengatasi krisis pangan. Indonesia dinilai dapat memanfaatkan posisi untuk mendorong negara-negara anggota G20 dalam mengatasi masalah krisis pangan, serta kelaparan yang terus meningkat di dunia.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, posisi Indonesia dalam presidensi G20 memiliki peran yang bisa diharapkan signifikan dan menonjol dalam mengatasi permasalahan pangan.
"Kalau diikuti dari berbagai rangkaian pertemuan G20, termasuk pertemuan di Washington minggu lalu, Indonesia selalu mendorong adanya kolaborasi semua pihak untuk atasi krisis pangan," ujar Khudori kepada Katadata.co.id, pada Selasa (18/10).
Khudori mengungkapkan, FAO dalam berbagai kesempatan juga mengakui resiliensi Indonesia, terutama pada sektor pertanian-pangan, dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan krisis pangan. Ia menyebutkan pengakuan ini sebagai modal bagi Indonesia untuk mempelopori kolaborasi mengatasi krisis pangan.
Khudori juga menjelaskan, meskipun Indonesia dapat mengajak negara-negara G20 dalam mengatasi permasalahan pangan, bukan berarti kondisi pangan Indonesia baik-baik saja. Namun, dirinya meyakini dengan adanya solidaritas dan kolaborasi bersama, Indonesia dapat mengatasi hal ini dengan baik.
Sementara itu, Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal menyampaikan bahwa harga pangan telah melonjak ke rekor tertinggi tahun ini. Pupuk menjadi terlalu mahal bagi banyak petani, dan jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan terus meningkat. Berkaca dari kejadian sebelumnya, kondisi tersebut akan memberikan dampak terbesar kepada mereka yang mengalami kemiskinan.
“Kenaikan harga pangan mempengaruhi kita semua, tetapi dampaknya paling dirasakan oleh mereka yang rentan dan oleh negara-negara yang sudah mengalami krisis pangan," ujar Rajendra, pada Jumat (14/10).
Untuk mengatasi krisis pangan, FAO berupaya menyerukan kepada semua orang untuk mengambil tindakan dan menumbuhkan solidaritas global dalam melakukan transformasi pada sistem pertanian-pangan. FAO juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, mengatasi ketidaksetaraan, meningkatkan ketangguhan, dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Data FAO menyebutkan, saat ini terdapat 3,1 miliar orang di seluruh dunia yang tidak mampu membeli makanan sehat. Selain itu, angka kelaparan terus meningkat dan berdampak pada 828 juta orang pada 2021. Adapun dalam dua tahun terakhir, jumlah orang yang masuk dalam kategori rawan pangan meningkat dari 135 juta (2019) menjadi 193 juta (2021 dan 2022).
FAO juga memprediksi kemungkinan yang lebih buruk, di mana sekitar 970 ribu orang diperkirakan akan hidup dalam kondisi kelaparan di lima negara. Negara tersebut seperti Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan dan Yaman. Angka tersebut sepuluh kali lebih banyak dari enam tahun lalu, ketika hanya dua negara yang masyarakatnya menghadapi kondisi serupa.
Lembaga pangan di bawah naungan PBB tersebut juga menyatakan ada banyak biaya yang diperlukan untuk memastikan tidak ada negara yang tertinggal. Untuk itu, Rajendra menyebut negara-negara anggota G20 perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pembiayaan internasional. Hal itu untuk meningkatkan likuiditas dan ruang fiskal, sehingga mampu memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat termiskin.
"Kita membutuhkan lebih banyak koordinasi antara dukungan darurat dan bantuan pembangunan, serta inisiatif untuk mempromosikan perdamaian di daerah yang terkena dampak konflik," ujarnya.
Dia juga menambahkan, kalau semua orang perlu bekerja sama untuk mendukung negara-negara yang terkena dampak krisis pangan. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan lokal dan memperkuat ketahanan populasi yang paling rentan.