Bank Indonesia memperkirakan rupiah menguat dan kembali ke level fundamentalnya pada tahun depan seiring meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global. Neraca transaksi berjalan diperkirakan seimbang, sedangkan transaksi modal dan finansial akan terbantu masuknya investasi langsung dan portofolio.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pelemahan rupiah dalam beberapa bulan terakhir terjadi karena indeks dolar AS menguat signifikan. Hal ini tersulut oleh kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve yang agresif.
Perry melihat, suku bunga The Fed masih akan naik setidaknya hingga kuartal pertama tahun depan. "Tapi ketidakpastian global akan menurun. Kalau ketidakpastian ini turun, rupiah akan cenderung ke arah fundamentalnya," kata Perry dalam acara Outlook Ekonomi Indoensia 2023, Rabu (21/12).
Ia menjelaskan, fundamental ekonomi domestik masih cukup baik sehingga berpengaruh positif terhadap nilai tukar. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada dalam rentang 4,5%-5,3%, sedangkan inflasi akan terkendali di bawah 4% pada tahun depan. Perry bahkan memperkirakan inflasi inti sudah turun di bawah 4% pada paruh pertama tahun depan.
Perry juga memperkirakan, neraca transaksi berjalan akan seimbang atau nol pada tahun depan, seiring impor yang meningkat terdorong oleh aktivitas ekonomi dalam negeri. Di sisi lain, neraca finansial berpotensi surplus didorong oleh kembali masuknya investasi portofolio dan langsung.
"Kami yakin tahun depan begitu kondisi global akan mereda, faktor fundamental akan lebih dominan dan rupiah akan menguat kembali ke fundamentalnya," kata Perry.
Neraca pembayaran Indonesia pada kuartal ketiga 2022 mencatat defisit US$ 1,3 miliar, berbalik signifikan dari kuartal sebelumnya yang masih surplus US$ 2,4 miliar. Neraca pembayaran ini terdiri dari transaksi berjalan dan transaksi modal dan transaksi finansial.
Transaksi berjalan melanjutkan kinerja perbaikan dengan surplus yang semakin besar yakni US$ 4,4 miliar atau 1,3% dari produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, neraca transaksi modal dan finansial mencatatn defisit mencapai US$ 6,1 miliar atau 1,8% dari PDB , dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan defisit US$ 1,2 miliar atau 0,3% dari PDB pada kuartal II-2022.