Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengantongi restu Komisi XI DPR untuk menjabat perode ke-2. Perry dinilai masih memiliki banyak tugas yang belum rampung di periode ini.
Anggota Komisi XI DPR Eriko Sotarduga menilai Perry selama ini belum menghasilkan trobosan terkait pengembangan sumber daya manusia atau SDM yang baru masuk di Bank Indonesia. Padahal, menurut dia, program tersebut penting lantaran SDM merupakan modal terpenting bank sentral.
"SDM ini penting sekali. Menurut saya, kelebihan dari Bank Indonesia yang bapak pimpin, kader-kader SDM di sana sangat merata, orang-orang pintar, cerdas, dan terpilih," kata Eriko dalam uji kelayakan dan kepatutan Calon Gubernur Bank Indonesia periode 2023-2028, Senin (20/3).
Eriko membandingkan pengembangan SDM yang ada di perbankan swasta maupun milik negara dengan yang dilakukan di Bank Indonesia. Menurut dia, Bank Indonesia belum melakukan pengembangan SDM yang setara dengna bank konvensional.
"Generasi muda bisa jadi kader-kader terbaik di Bank Indonesia maupun di luar Bank Indonesia. Bank Indonesia tidak mengisi peluang yang diisi pada generasi muda untuk berprestasi di Bank Indonesia," ujar Eriko.
Eriko mengatakan Perry belum menggunakan teknologi keuangan terkini walau Undang-Undang No. 4-2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan telah terbit. Teknologi yang dimaksud adalah distribusi pencatatan transaksi uang secara digital dan transparan atau blockchain.
Pada saat yang sama, Eriko mengingatkan Perry agar tidak melupakan kelompok masyarakat yang masih menggunakan uang kartal dalam bertransaksi jika teknologi blockchain diterapkan. Menurutnya, transisi penerapan teknologi blockchain harus disesuaikan dengna kemampuan masyarakat.
"Termasuk soal transaksi kripto. Kami berharap Pak Perry dalam periode kedua, tiga hal ini bisa ditampilkan dan bisa jadi legasi bapak. Harus ada yang istimewa," kata Eriko.
Anggota Komisi XI DPR Marwan Cik Asan menyoroti kebijakan burden sharing pada 2020 hingga 2022 yang mencapai Rp 1.104 triliun. Marwan mengakui kebijakan ini menyelamatkan perekonomian nasional, tetapi akan berdampak pada 2025-2028.
Adapun burden sharing memungkinkan Bank Indonesia membiayai negara dengan membeli surat utang negara. Kebijakan ini diatur dalam UU No. 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Marwan menilai burden sharing dapat berdampak pada internal Bank Indonesia jika tidak dikelola dengan baik. Menurutnya, burden sharing berpotensi menggerus modal milik Bank Indonesia secara perlahan.
Marwan berpendapat kebijakan burden sharing tak hanya menggerus modal tetapi dapat memicu inflasi pada masa depan. Pasalnya, burden sharing membuat Bank Indonesia berkali-kali menaikkan suku bunga acuan.
Bank Indonesia telah memangkas suku bunga acuan sepanjang 2020 sebanyak tiga kali dari 5% pada awal 2020 menjadi 3,75%. Suku bunga acuan kembali diturunkan pada 2021 menjadi 3,5 % tetapi mulai naik bertaap sejak tahun lalu dan kini berada di level 5,75%
Marwan menyampaikan, rendahnya suku bunga acuan membuat peredaran uang di pasar meningkat. Hal tersebut dinilai akan mempengaruhi tingkat inflasi dalam negeri. Berdasarkan data Bank Indonesia, inflasi pada Desember 2022 mencapai 5,51%.
Ia menilai kondisi tersebut dapat terulang kembali lantaran Undang-Undang No. 4-2023 tentang Pengembagnan dan Penguatan Sektor Keuangan mengizinkan hal tersebut. Oleh karena itu, Marwan mempertanyakan strategi Perry untuk keluar dari ancaman burden sharing.
"Bagaimana kalau ini terjadi lagi? Pagar-pagar apa yang dibuat Bank Indonesia supaya burden sharing yang kita lakukan tidak jadi hantu inflasi untuk republik ini?" kata Marwan.