Ekonomi Cina menunjukkan tanda-tanda pelambatan dengan ekspor lesu, inflasi rendah hingga kontraksi manufaktur berbulan-bulan. Pemerintah memantau terus dampak negatif dari pelambatan ekonomi Cina terhadap ekonomi domestik.
"Kemenko Bidang Perekonomian selalu memantau perkembangan ekonomi global dan mengidentifikasi bagaimana implikasinya terhadap ekonomi domestik, khususnya Cina yang memiliki pengaruh besar atas ekonomi global," kata Plt Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan kepada Katadata.co.id, Kamis (10/8).
Pelambatan di Cina akan berimplikasi terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia. Transmisinya ke dalam negeri melalui kinerja perdagangan internasional atau ekspor-impor.
Ferry mengatakan pemerintah telah mengantisipasi risiko tersebut melalui diversifikasi pasar ekspor dan penguatan daya saing komoditas ekspor Indonesia.
Resiliensi ekonomi domestik pun menurutnya masih solid sekalipun dinamika global terus berlangsung termasuk pelambatan di Cina. Hal ini salah satunya tercermin dari indeks PMI Manufaktur Indonesia yang masih berada di zona ekspansi dan terus naik saat Cina justru terus turun dan terkontraksi.
Ketahanan ekonomi itu menurut dia tidak sepenuhnya murni karena mekanisme pasar, melainkan ada andil berbagai kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah. Karena itu, beberapa kebijakan akan dilanjutkan untuk mendorong ekonomi antara lain hilirisasi, penguatan skill SDM, peningkatan kualitas logistik dan infrastruktur dan menjaga inflasi.
"Untuk kebijakan ekonomi luar negeri, Indonesia terus menguatkan kerja sama ekonominya, baik secara bilateral dan multilateral, serta meningkatkan daya saing dan diversifikasi komoditasnya ke pasar-pasar yang potensial," kata Ferry.
Sejumlah rilis data terbaru memperkuat bukti bahwa ekonomi Cina melambat. Ekspor Cina pada Juli anjlok 14,5% dibandingkan tahun lalu, penurunan terdalam sejak Februari 2020. Impor juga anjlok 12,4% yang merupakan penurunan terdalam sejak Mei 2020.
Harga-harga di tingkat konsumen pada Juli yang turun atau deflasi 0,3% dibandingkan tahun lalu. Ini merupakan penurunan harga pertama kalinya selama lebih dari dua tahun terakhir. Deflasi ini dapat menjadi sinyal konsumsi domestik Cina yang melemah. Selain itu, kinerja manufaktur Negeri Panda itu pun konsisten terkontraksi selama empat kuartal terakhir.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat dampak perlambatan di Cina ke ekonomi Indonesia sudah mulai terlihat, terutama melalui neraca transaksi berjalan. Ia mencatat, impor Cina dari Indonesia cenderung turun dalam empat bulan terakhir.
Kenaikan ekspor Indonesia ke Cina selama lima bulan pertama tahun ini juga tidak setinggi kenaikan tahun lalu, hanya mencapai 12,2%. Josua menyebut, penurunan ekspor ke Cina menjadi penyebab surplus dagang kuartal kedua ini lebih rendah. Surplus kuartal dua sebesar US$ 7,83 miliar, lebih rendah dari kuartal pertama US$ 12,27 miliar maupun dibandingkan kuartal kedua tahun lalu US$ 15,55 miliar.
Di sisi lain, pelemahan ekonomi Cina bisa membuat masyarakatnya menahan diri untuk berlibur ke Indonesia. Dengan demikian, neraca jasa di yang merupakan komponen dalam neraca transaksi berjalan juga akan tertahan.
"Kedua dampak tersebut berakibat pada potensi penurunan transaksi berjalan pada paruh kedua 2023," kata Josua, Rabu (9/8).