Presiden Joko Widodo membantah kritik ekonom senior Faisal Basri yang menyebut kebijakan hilirisasi pemerintah lebih menguntungkan Cina. Faisal Basri pun menjawab bantahan Jokowi dengan membeberkan sejumlah data pendukung yang memperkuat kritiknya terhadap kebijakan hilirisasi.
Faisal Basri memaparkan sejumlah data yang membantah sanggahan Jokowi atas kritik terhadap kebijakan hilirisasi. Menurut dia, angka-angka yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.
"Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh Cina," ujar Faisal Basri dalam situs resminya, dikutip Sabtu (12/8).
Presiden Joko Widodo sempat menyebut hilirisasi mendongkrak setoran komoditas nikel ke kas negara dari Rp 17 triliun sebelum adanya kebijakan tersebut menjadi Rp 510 triliun pada 2022.
Menjawab pernyataan Jokowi, Faisal Basri mengutip data ekspor BPS pada 2014 dan 2022. Ia menyebut, ekspor nikel memang melonjak dengan capaian yang fantastis. Ekspor nikel pada 2014 hanya mencapai Rp 1 triliun yang didapat dari perhitungan ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per US$. Sementara pada 2022, nilai ekspornya mencapai Rp 413,9 triliun dengan nilai ekspor mencapai US$27,8 miliar dan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar AS.
Namun, ia mempertanyakan uang hasil ekspor tersebut, apakah benar mengalir ke Indonesia?
Menurut dia, hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100% dimiliki oleh Cina dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Dengan demikian, adalah hak perusahaan Cina untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Faisal menjelaskan, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Ini berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. "Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," kata Faisal.
Menurut Faisal, pajak dari keuntungan perusahaan smelter nikel pun saat ini masih nihil, berbeda dengan perusahaan pengolahan sawit. Ini karena perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.
"Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional," kata dia.
Lantas bagaimana dengan royalti?
Menurut Fiasal, perusahaan-perusahaan smelter Cina tersebut tidak membayar royalti. Royalti dibayarkan oleh perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. "Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor," kata Faisal.
Faisal menekankan bahwa ia mendukung sepenuhnya industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel yang ada saat ini. Ia menyebut kebijakan hilirisasi diterapkan ugal-ugalan dan sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi saat ini hampir seluruhnya justru dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia.
"Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21.1% pada 2014 menjadi hanya 18,3% tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir," kata dia.
Keberadaan smelter nikel, menurut dia, jugg tidak memperdalam struktur industri nasional. "Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun," ujarnya.
Untung Besar Hilirisasi Diraup Cina
Menurut Faisal, tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Namun, keuntungan paling besar diraup Cina. Menurut Faisal, nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10%.
Berikut hitung-hitungan dan penjabaran Faisal:
Nilai tambah smelter = produk smelter – bijih nikel.
Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa.
Hampir semua smelter nikel milik pengusaha Cina. Lantaran mendapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.
Hampir seratus persen modal berasal dari perbankan Cina, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke Cina. Banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir. Kebanyakan tenaga kerja Cina menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan.
Banyak tenaga kerja Cina di smelter. Salah satu perusahaan smelter Cina membayar gaji antara Rp 17 juta hingga Rp 54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. "Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja Cina tidak membayar pajak penghasilan," kata dia.
"Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan tetapi nilainya sangat kecil. Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan Cina," kata Faisal.
Selain itu, menurut dia, nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter Cina semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.
Bantahan Kantor Luhut
Data-data yang disampaikan Faisal Basri ditanggapi oleh Deputi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto. Seto menyebut banyak data yang disampaikan Faisal Basri tidak update dan salah.
Faisal Basri sempat mengkritik angka keuntungkan hilirisasi Nikel yang disebutkan Presiden Joko Widodo sebesar Rp 510 triliun tak jelas. Ia mengutip data ekspor nikel tahun lalu yang nilainya hanya mencapai Rp 413,9 triliun. Namun, Seto memberikan data berbeda.
Menurut Seto, kesalahan utama Faisal Basri di sini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia, sehingga ia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai US$ 27,8 miliar atau Rp 413,9 triliun. Padahal, menurut Seto, hilirisasi nikel juga memproduksi bahan lithium baterai seperti nickel matte dan Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75 dengan nilai US$3,8 miliar dan US$ 2,1 miliar. Selain itu masih ada beberapa turunan nikel lainnya sehingga jika dijumlah mencapai US$ 34,3 miliar atau Rp 510,1 triliun.
Ia juga menyoroti klaim Faisal Basri bahwa negara menerima pendapatan negara yang kecil akibat pelarangan ekspor bijih nikel, karena para smelter tersebut mendapatkan tax holiday selama 20 tahun. Menurut dia, Faisal Basri tak memahami ketentuan tax holiday sehingga mencapai kesimpulan yang salah.
Menurut dia, tax holiday selama 20 tahun hanya diberikan untuk investasi sebesar Rp 30 triliun atau lebih. Jika kurang dari itu maka akan menyesuaikan periodenya, antara 5-15 tahun. Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar," kata Seto.
Ia menyebutkan, rata-rata perusahaan smelter memperoleh tax holiday 7-10 tahun berdasarkan data 2018-2020. Hanya ada 2 yang memperoleh 20 tahun, di mana saat ini hanya satu yang beroperasi. Masih ada banyak juga smelter yang tidak memperoleh tax holiday karena tidak memenuhi persyaratan selain nilai investasi. Selain itu, mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan setelat tax holiday berakhir.
Untuk smelter-smelter yang dibangun periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama 7 tahun, saat ini sudah memulai membayar PPh Badan," kata dia.
Seto menyebut, penerimaan perpajakan tahun 2022 dari sektor hilirisasi nikel adalah Rp 17.96 triliun, atau naik sebesar 10.8 kali dibandingkan 2016 sebesar Rp 1.66 triliun. Pendapatan PPh Badan pada tahun lalu dari sektor tersebut juga naik berkali lipat dari Rp 0,34 triliun pada 2016 menjadi Rp 7,36 triliun pada 2022.
Adapun jika kebijakan ekspor bijih nikel tetap dilakukan dengan menggunakan data 2019, menurut dia, pendapatan pajak ekspor hanya US$ 0.11 miliar atau Rp 1,55 triliun. Jmlah ini hanya 10% dari nilai ekspor bijih nikel sebesar US$ 1.1 miliar. Angka tersebut juga tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan pajak dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp 3.99 triliun pada 2019.
Ia pun memberikan analisis secara keseluruhan terkait nilai tambah hilirisasi nikel. Menurut dia, dari 100% nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40%, 12% laba operasi yang bisa dinikmati investor (asumsi mendapatkan tax holiday), dan 48% adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut.
Dari 48% angka tersebut, menurut dia, 32% dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batu bara untuk listrik, tenaga kerja, dan bahan baku lain. Hanya 16% yang dinikmati oleh pihak supplier dari luar negeri. Berdasarkan hitungan tersebut, nilai tambah yang dinikmati oleh pihak LN (investor dan supplier) adalah 16% ditambah komponen laba operasi 12%, sehingga menjadi 28%.
"Dengan demikian, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32% atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53% (32% dibagi 32%+12%+16) dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel," kata dia.