Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kebutuhan pendanaan infrastruktur di kawasan ASEAN mencapai US$ 280 miliar setiap tahunnya. Namun, masih terdapat kesejangan antara kebutuhan dana dengan pendanaan yang tersedia sekitar US$ 19 miliar atau setara Rp 290 triliun (asumsi kurs Rp 15.300/US$) setiap tahunnya.
Untuk memenuhi kesenjangan tersebut, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral ASEAN sepakat, transition financing dapat menjadi salah satu solusinya. Maka dari itu, dibutuhkan ASEAN taxonomy untuk memfokuskan pembahasan transition financing.
ASEAN Taxonomy, atau Taksonomi ASEAN dibentuk dengan tujuan untuk menarik investasi global ke ASEAN untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di kawasan.
“Karena dengan itu ada definisi jelas dan kredibel mengenai apa yang disebut transition economy,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting, Jakarta, Jumat (25/8).
Selain itu dengan adanya ASEAN Taxonomy juga memberikan kepastian mengenai green washing.
" Jadi ini mendefinisikan secara jelas dan kredibel mengenai apa yang disebut transition economy. Proyek-proyek apa yang bisa diklasifikasikan green atau masih konsisten transition yang menuju just, affordable dan ordery, sehingga tidak timbulkan disrupsi," katanya.
Taksonomi ASEAN juga dinilai menjadi acuan bagi negara-negara ASEAN untuk menciptakan daya tarik investasi yang lebih memberikan kepercayaan kepada para investor global dan meminimalisir keberadaan green washing.
Menurut Sri Mulyani, likuiditas secara global untuk memenuhi kebutuhan pendanaan tersebut sebenarnya ada, walaupun masih tertahan.
"Peranan ADB, World Bank mereka juga bisa offer banyak hal pertama sempurnakan blended finance dan mereka posisi kan sebagai institusi yang bisa kurangi risiko, kalau proyek tinggi riskonya mereka biasanya minta charge interest tinggi saat sekarang interest rate dunia juga tinggi," katanya.