BI Ubah Arah Kebijakan: Lima Dinamika Global Berubah Cepat

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nym.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah), Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kiri), dan Deputi Gubernur Doni P. Joewono (kanan) memberikan keterangan dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Selasa (25/7/2023).
Penulis: Zahwa Madjid
Editor: Lavinda
19/10/2023, 16.58 WIB

Bank Indonesia (BI) mengubah arah kebijakan moneter dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18-19 Oktober 2023. Bank sentral menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 basispoin (bps) dari 5,75% ke level 6%.

Kebijakan ini bertolak belakang dengan keputusan bank sentral yang konsisten mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% sepanjang tahun, hingga September lalu, meski bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, terus menaikkan suku bunga.

Menanggapi perubahan yang terjadi, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan ekonomi global mengalami dinamika yang sangat cepat dan tak terprediksi, sehingga membuat bank sentral nasional mengubah arah kebijakan.

"RDG bulan lalu memang kami sampaikan hal yang kami lihat dari informasi terbaru saat itu. Tetapi, dua pekan setelahnya terjadi perubahan sangat cepat," ujar Perry dalam konferensi pers usai RDG BI, Kamis (19/10).

Menurut dia, dinamika global yang terjadi baru-baru ini telah terkonfirmasi dalam Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20. Hal itu juga diperjelas dari hasil pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Maroko yang dihadiri olehnya dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, beberapa hari lalu.

Berikut lima dinamika global yang terjadi:

  • Pertumbuhan Ekonomi Global Melambat

Pertumbuhan ekonomi global itu akan melambat dengan divergensi pertumbuhan antar negara yang melebar. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan berada di level 2,9% pada tahun ini, dan 2,8% pada tahun depan. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan masih kuat, tapi akan melambat pada tahun berikutnya, sedangkan ekonomi Cina sudah melambat dan akan melambat di masa mendatang. 

  • Ketegangan Geopolitik Meningkat

Tensi geopolitik yang tegang menyebabkan harga minyak dan harga pangan meningkat. Bank Indonesia menilai hal ini akan memperlambat penurunan inflasi global.

  • Suku Bunga Negara Maju di Level Tinggi untuk Waktu Lama

Suku bunga di negara maju, termasuk Fed Fund Rate (FFR) akan semakin lama berada di level tinggi. Bank Indonesia memperkirakan FFR pada Desember akan naik, dengan probabilitas hingga 40%. Namun, ketidakpastian akan tetap tinggi, dengan kecenderungan level FFR pada paruh pertama tahun depan masih akan tinggi, dan baru akan menurun pada paruh kedua tahun depan. 

  • Kenaikan Suku Bunga Tenor Jangka Panjanf

Bank Indonesia menilai kenaikan suku bunga global tidak hanya terjadi untuk utang dengan tenor jangka pendek, tetapi juga tenor jangka panjang.

Perry mencontohkan, imbal hasil obligasi pemerintah AS atau US Treasury yield untuk tenor jangka pendek berada di level tinggi, yakni 5,2%, tetapi untuk tenor 10 tahun berada di level rendah, hanya 4,6%. Namun, sekarang yield obligasi tenor jangka panjang juga cenderung meningkat. Alasannya, karena negara-negara maju memiliki kebutuhan utang yang relatif besar.

"Selama pandemi Covid 19, pemerintah di berbagai negara, khususnya negara maju, membutuhkan pembiayaan fiskal tinggi, utangnya tinggi. Sekarang pasar sudah mulai price-in (menyesuaikan dengan rerata harga pasar)," ujar Perry. 

  • Aliran Modal Kembali ke Negara Maju

Aliran modal yang dari negara-negara berkembang yang tadinya sudah mulai stabil, sekarang banyak berpindah ke negara maju dan memperkuat nilai tukar dolar AS. Pada akhirnya uang tunai adalah rajanya.

"Hal ini yang kemudian dinamika global yang sangat cepat dari RDG bulan lalu ke RDG bulan ini," ujar Perry.

Reporter: Zahwa Madjid