Kementerian Keuangan mencatatkan realisasi pembiayaan melalui penerbitan utang mencapai Rp 72 triliun per 15 Maret 2024. Jumlah tersebut mengalami penurunan 60,3% dibanding periode sama pada tahun sebelumnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan pembiayaan utang itu merupakan 11,1% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
“Angka ini jika dibandingkan tahun lalu turun tajam, tahun lalu pembiayaan utang mencapai Rp 181,4 triliun atau sekitar 43,1% terhadap APBN 2023,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (25/3).
Secara rinci, pembiayaan utang untuk surat berharga negara (neto) Rp 70,2 triliun atau turun 58,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 169,5 triliun.
Adapun pinjaman (neto) Rp 1,9 triliun atau turun 84,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 11,9 triliun.
Kendati demikian, Sri Mulyani mengatakan jumlah tersebut masih dalam rencana atau on-track. Bendahara negara tersebut mengatakan pembiayaan utang dalam UU APBN 2024 dianggarkan Rp 648 triliun.
“Jadi realisasi relatif dalam posisi baik kita akan terus menjaga untuk pelaksanaan pembiayaan ini berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar obligasi yang sangat dipengaruhi ekonomi global,” ujar Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan juga akan menjaga strategi pembiayaan utang agar tetap dilakukan secara fleksibel dan oportunistik, meliputi aspek timing, sizing, tenor, instrument mix, dan currency mix.
Sebagai informasi, hingga 15 Maret 2024 posisi APBN masih surplus Rp 22,8 triliun atau sekitar 0,10% terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan keseimbangan primer Rp 132,1 triliun.
Kendati demikian, jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan pada 15 Maret 2023 lalu sebesar Rp 213 triliun.
Keseimbangan primer merupakan total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Apabila total pendapatan negara lebih besar daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang maka keseimbangan primer akan positif.