Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menembus level Rp 16.000/US$ pada Google Finance dalam beberapa hari belakangan ini. Menurut pantauan Katadata.co.id, pada Sabtu pukul 13.47 WIB, nilai tukar rupiah sudah mencapai Rp 16.117 per dolarnya.
Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto mengatakan bahwa sebenarnya nilai tukar rupiah belum mencapai Rp 16 ribu. Tembusnya nilai Rp 16 ribu di Google Finance dipengaruhi oleh masa libur pasar valuta asing atau forex domestik.
“Itu karena pasar forex kita masih libur. Nah, pelemahan rupiah kita terhadap US$ yang sudah menembus Rp 16.000 bisa jadi dikarenakan mekanisme transaksi yang terjadi di pasar luar negeri, seperti di pasar non delivarble forward (NDF) Singapura,” kata Myrdal, dalam keterangannya yang dikutip pada Sabtu (13/4).
Lebih lanjut, Myrdal mengatakan nilai rupiah terlihat melemah karena posisi dolar Amerika Serikat yang tengah menguat secara global maupun regional Asia. Hal tersebut tercermin dari posisi variabel indeks Dollar DXY yang posisinya terus menanjak dan merupakan gambaran dari perpindahan arus dana di pasar keuangan internasional yang mengarah pada pergerakan pelaku pasar global.
"Baik di pasar saham maupun obligasi, yang ingin memindahkan aset investasinya ke pasar AS, terutama pasar obligasi AS yang terlihat lebih menarik saat yield dari surat utangnya terus meningkat dan terlihat meningkat saat ekspektasi penurunan bunga the Fed semakin uncertain,” ujarnya.
Myrdal menyebut, pergerakan rupiah di pasar FX lokal baru akan dibuka pada Selasa (16/4). Namun ia mengakui bahwa secara fundamental, permintaan dolar AS di dalam negeri memang dalam tren yang meningkat untuk impor BBM maupun bahan pangan. Terlebih, dalam suasana Idulfitri serta realitas yang ada bahwa harga komoditas global untuk energi maupun pangan saat ini tengah menanjak.
Hal ini, menurutnya dinilai wajar mengingat neraca dagang Indonesia pada Februari 2024 anjlok ke level di bawah US$ 1 miliar. Sementara, kebutuhan lain US$ di dalam negeri untuk aksi investor asing yang ingin melakukan outflow dengan melakukan profit taking maupun pemberian distribusi dividen juga tengah berlangsung saat ini.
"Jadi wajar kalau di pasar FX luar negeri, posisi USDIDR saat ini sudah break ke level di atas Rp 16.000,” ucapnya.
Oleh sebab itu, pada Selasa mendatang Myrdal memproyeksikan bahwa rupiah kemungkinan akan bergerak menyesuaikan dengan tren penguatan dolar AS secara global, di mana investor global akan melakukan aksi outflow dengan profit taking di pasar obligasi domestik.
Bagi obligasi seri benchmark, seperti FR0100 maupun FR0101, beserta yang seri tenor pendek menurutnya akan menjadi seri favorit yang akan dijual oleh investor global, baik dari sisi investor fund manager maupun dari pihak Central Bank negara lain yang menaruh uangnya di pasar obligasi Indonesia.
Terlebih untuk investor fund manager tentu mereka akan melakukan aksi safe haven measures maupun arbitrage investment. Sementara untuk investor bank sentral negara lain, maka mereka akan berusaha menarik dolarnya di Indonesia untuk mengisi suplai US$ bagi kebutuhan intervensi nilai tukarnya.
Lalu di sisi lain, pelaku pasar seperti importir BBM maupun pangan, serta importir korporat untuk pemenuhan bahan baku produksi juga akan langsung tancap gas meminta US$ bagi kebutuhan rutinnya pada hari pertama pembukaan perdagangan selepas libur panjang.
“Dengan kondisi tersebut, maka Bank Indonesia kemungkinan akan melakukan aksi intervensi agar sebisa mungkin menahan volatilitas drastis dari pergerakan USDIDR. Pelemahan Rupiah terhadap US$ kelihatannya akan ditahan untuk tidak melemah ke level psikologis di atas 16,000 pada Selasa nanti,” kata dia.
Intervensi Bank Indonesia
Guna melancarkan hal tersebut, Myrdal memproyeksi bahwa BI akan kembali mengandalkan cadangan devisanya untuk melakukan intervensi di pasar spot Rupiah, DNDF, maupun pasar sekunder obligasi domestik.
“Secara realita, posisi suplai US$ di dalam negeri saat ini juga tengah menurun seiring surplus neraca dagang yang menurun dengan nilai current account defisit yang berangsur melebar dan tren outflow pasar obligasi yang terus terjadi,” ujar Myrdal.
Senada dengan Myrdal, Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong juga mengatakan bahwa posisi dolar AS sangat kuat pada minggu ini. Terlebih setelah data inflasi AS yang secara mengejutkan naik dan di atas perkiraan.
“Peluang the Fed untuk memangkas suku bunga malah sudah mundur hingga September yang dari semula Juni. Dolar AS juga didukung oleh permintaan safe haven oleh kekuatiran penyerangan Iran terhadap Israel,” kata Lukman dalam keterangannya.
Oleh karena, menurut Lukman sejauh ini hampir tidak ada sentimen positif yang dapat mendukung rupiah. Sementara data dari China minggu ini yaitu inflasi yang lebih rendah dari perkiraan serta data perdagangan yang dimana surplus, ekspor dan impor juga lebih rendah dari perkiraan semakin menekan rupiah.
“Rupiah diperkirakan masih akan tertekan, kecuali apabila BI kembali mengintervensi, apabila tidak, rupiah masih akan terus melemah di atas 16 ribu. Kisaran 16.000-16.200,” kata dia