Cukai Minuman Berpemanis Berpotensi Munculkan Pergeseran ke Produk Ilegal

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nz
Pengunjung memilih produk minuman berpemanis di minimarket kawasan Rasuna Said, Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Penulis: Rahayu Subekti
20/8/2024, 09.17 WIB

Pemerintah saat ini berencana untuk mengenakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK pada 2025. Kebijakan ini dinilai berpotensi memunculkan pergeseran ke produk ilegal.

“Ini lebih susah pengawasannya dibandingkan minuman alkohol dan rokok,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira dalam laporan Biweekly Brief, Senin (19/8).

Bhima menuturkan rokok yang sudah dikenakan cukainya tetap ada produk ilegalnya. Begitu juga dengan minuman berpemanis yang potensinya jauh lebih besar produk ilegalnya setelah dikenakan cukai.

Meski begitu, Bhima menekankan kebijakan cukai minuman berpemanis tetap penting untuk dilakukan.

“Di satu sisi memang penting untuk dikendalikan tapi banyak sekali minuman berpemanis produksi UMKM yang mungkin akan menghindari untuk dikenakan tarif cukai. Itu yang harus diperhatikan,” ujar Bhima.

Selain itu, Bhima mengatakan hal yang perlu diantisipasi lainnya yaitu upaya dari para produsen minuman kemasan berpemanis. Dia menilai, perusahaan produksi minuman juga bisa menurunkan ukuran berpemanisnya untuk menghindari cukai.

“Misalnya yang tadinya 250 ml menjadi 110 ml tapi dijual dengan volume lebih besar. Itu salah satu cara untuk menghindari tarif cukai berpemanis,” kata Bhima.

Di sisi lain, Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menyoroti permasalahan yang berlarut berkaitan dengan penerapan cukai MBDK. Menurut Media, kebijakan tersebut sudah lama disiapkan namun juga belum diterapkan.

“Ini sebenarnya sudah disiapkan satu sampai dua tahun terakhir tetapi masalahnya adalah tarik menarik antara perusahaan gula dan perusahaan produksi makanan dan minuman. Apakah yang dikenakan pajak gulanya atau makanan dan minumannya,” ujar Media.

Media menilai hingga saat ini masih ada tarik menarik antara Perusahaan produksi gula dan Perusahaan minuman. Hal itu yang menyebabkan kebijakan cukai MBDK masih belum diterapkan hingga masa pemerintahan Presiden Joko Widodo hampir berakhir.

Belum lagi juga pertimbangan terhadap dampak daya beli konsumen. Media menyebut konsumsi minuman di Indonesia sangat besar sekali sehingga ada risiko terhadap daya beli Ketika cukai MBDK dikenakan.

Kebijakan cukai MBDK disusun salah satunya untuk mengerek penerimaan negara dari cukai. Tak hanya itu, cukai tersebut dilakukan juga untuk mengendalikan dampak buruk bagi Kesehatan dari konsumsi minuman berpemanis.

Mendongkrak Pendapatan Negara hingga Jaga Kesehatan

Dalam dokumen Buku II Nota Keuangan Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah membidik penerimaan cukai pada tahun depan sebesar Rp 244,19 triliun atau tumbuh 5,9% dari outlook 2024 sebesar Rp 230,5 triliun.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan mengoptimalkan penerimaan melalui ekstensifikasi cukai dalam rangka mendukung implementasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.

Pada dasarnya, pemerintah sudah menetapkan kebijakan untuk mendukung penerimaan negara melalui sejumlah hal. Salah satunya berupa kebijakan ekstensifikasi cukai secara terbatas pada MBDK untuk menjaga kesehatan masyarakat.

“Pengenaan cukai terhadap MBDK tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi gula dan atau pemanis yang berlebihan,” tulis Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 dikutip Senin (19/8).

Pengenaan cukai tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong industri reformulasi produk MBDK yang rendah gula. Dengan begitu, diharapkan dapat mengurangi eksternalitas negatif bagi kesehatan masyarakat bagi kesehatan masyarakat yaitu dengan menurunnya prevalensi penyakit tidak menular atau PTM pada masyarakat.

Pemerintah mengakui implementasi atas pengenaan cukai MBDK tersebut juga memiliki risiko, namun dinilai sangat minim terhadap inflasi dan daya beli masyarakat.

Reporter: Rahayu Subekti