Ekonom Proyeksi Surplus Neraca Perdagangan Berlanjut Meski Ekspor Melambat
Kepala ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan surplus neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2024 akan meningkat menjadi US$ 2,29 miliar. Peningkatan tersebut jika dibandingkan dengan surplus bulan sebelumnya yang tercatat US$ 472 juta.
“Peningkatan surplus neraca perdagangan dipengaruhi oleh kinerja ekspor bulanan yang meningkat dan diikuti oleh pelemahan kinerja impor,” kata Josua kepada Katadata.co.id, Selasa (17/8).
Dia mengatakan kinerja ekspor pada Agustus 2024 diperkirakan tumbuh 3,08% secara bulanan yang didorong oleh peningkatan harga komoditas, terutama batubara dan minyak swait mentah (CPO). Total impor batubara Cina naik 3% pada Agustus 2024 karena permintaan yang masih solid.
Secara tahunan, kinerja ekspor diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,20% secara tahunan. Meskipun begitu ekspor RI pada Agustus 2024 tersebut melambat dari 6,46% secara tahunan dibandingkan bulan sebelumnya.
“Perlambatan ekspor ini mencerminkan normalisasi harga komoditas yang sedang berlangsung dan pelemahan pertumbuhan ekonomi global,” ujar Josua.
Sementara kinerja impor diperkirakan akan terguncang minus 5,07% secara bulanan pada Agustus 2024. Sementara secara tahunan, aktivitas impor diperkirakan akan meningkat 9,30% namun melambat dari 11,07% pada bulan sebelumnya.
“Kontraksi bulanan terutama disebabkan oleh kinerja yang lebih lemah di sektor manufaktur,” kata Josua.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga memproyeksikan neraca perdagangan Agustus 2024 masih surplus. Tapi angka surplus neraca perdagangan pada Agustus 2024 tipis.
“Impor juga mengalami perlambatan sejalan dengan melemahnya permintan domestik baik untuk barang impor untuk konsumsi maupun juga untuk produksi seperti bahan baku penolong yang cenderung mengalami perlmabtan pertumbuhan,” kata Faisal.
Terlebih, Faisal mengatakan pertumbuhan ekspor Indonesia tertahan karena kondisi global dari sisi negara mitra. Cina dan Amerika Serikat saat ini kondisi ekonominya mempengaruhi permintaan barang impor, termasuk dari Indonesia.
Harga komoditas juga meski tidak menurun tajam tapi relatif mendatar atau stagnan yang artinya tidak mengalami peningkatan. “Tidak bisa diharapkan pendorong surplus,” ujar Faisal.