Jokowi Ingatkan Ancaman Gig Economy, Bagaimana Nasib Pekerja Kontrak?

Arief Kamaludin|KATADATA
Aktifitas pekerja Pabrik Sepatu dilokasi pabrik PT Adis Dimension Footwear di Balaraja Barat, Tangerang, Provinsi Banten, Senin (5/10).
25/9/2024, 13.04 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti fenomena gig economy yang berpotensi menjadi tren perekonomian ke depan, di mana perusahaan lebih memilih merekrut pekerja lepas atau independen.

Hal ini disampaikan Jokowi dalam pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII dan Seminar Nasional 2024 di Jakarta, Kamis (19/9) lalu.

Jokowi menilai fenomena gig economy membuat perusahaan saat ini lebih memilih pekerja lepas. Sehingga, membuat banyak perusahaan lebih memilih pekerja dengan kontrak jangka pendek, seperti freelancer demi mengurangi risiko ketidakpastian global yang sedang terjadi.

Selain itu, Jokowi juga menyoroti fenomena gig economy yang membuat perusahaan bisa memperkerjakan seseorang dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan begitu, kesempatan kerja menjadi semakin sempit dan berkurang.

Tidak Memiliki Akses Jaminan Sosial

Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, fenomena gig economy umumnya mengandalkan pekerja lepas, kontrak jangka pendek, dan minim jaminan, yang berdampak langsung bagi pekerja, perusahaan dan ekonomi secara keseluruhan.

Bahkan, pekerja di sektor gig economy seringkali tidak memiliki akses jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, tunjangan pensiun, cuti berbayar, membuat mereka lebih rentan terhadap ketidakpastian ekonomi. Biasanya, perusahaan mempekerjakan pekerja lepas atau kontrak jangka pendek, demi mengurangi biaya seperti gaji tetap, asuransi, dan tunjangan lainnya.

Hal ini memungkinkan perusahaan untuk lebih efisien dari sisi biaya, terutama dalam menghadapi fluktuasi pasar atau kebutuhan bisnis musiman. "Ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi," kata Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (25/9).

Namun pekerja gig economy sering kali tidak memiliki ikatan jangka panjang dengan perusahaan, tingkat loyalitas dan keterlibatan mereka mungkin lebih rendah dibandingkan dengan pekerja tetap.

Sementara dalam perspektif ekonomi makro, gig economy cenderung menciptakan dua kelompok pekerja yaitu mereka yang tetap dengan akses penuh terhadap jaminan sosial, dan pekerja yang menghadapi ketidakpastian pendapatan dan minimnya perlindungan sosial.

"Ini bisa memperburuk ketimpangan pendapatan di masyarakat, khususnya bagi pekerja yang lebih rentan," ujarnya.

Di sisi lain, gig economy menawarkan fleksibilitas dan peluang baru baik bagi pekerja maupun perusahaan, namun menghadirkan tantangan berupa ketidakpastian pendapatan, kurangnya perlindungan sosial, dan potensi ketimpangan yang lebih besar.

Untuk itu, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan yang dapat mendukung model ekonomi in secara paralel demi memastikan pekerja mendapatkan jaminan dasar dan stabilitas.

Apalagi, pekerja gig economy cenderung lebih berisiko karena minimnya jaminan stabilitas kerja, pendapatan yang tidak konsisten, dan kurangnya perlindungan hukum. Risiko-risiko ini dapat menyebabkan ketidakpastian ekonomi dan keterbatasan akses terhadap jaminan sosial.

"Untuk mengurangi risiko ini, regulasi pemerintah diperlukan untuk memperluas akses pekerja ke tunjangan dasar, perlindungan sosial, dan memastikan mereka diperlakukan secara adil oleh perusahaan," kata Josua.

Untuk Mendorong Produktivitas

Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) Banjaran Surya Indrastomo menilai, perlu adanya penyesuaian pola tenaga kerja dengan industri.  Sehingga hal ini menjadi pekerja rumah (PR) di industri ekonomi digital di tengah kurangnya SDM di bidang IT.

Di sisi lain, memang ada adopsi aturan dari pekerja yang lebih fleksibel ke industri lain. Terutama yang memiliki keterampilan rendah, pekerja administrasi yang masuk kategori baru sebagai pekerja jangka pendek.

"Selalu ada pola-pola perusahaan yang memberikan beberapa pekerjaan atau multitasking dengan gaji dobel, di mana pola stabilitas dan keamanan diarahkan untuk produktivitas," ujarnya.

Dengan begitu, kata Banjaran, kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk mendorong produktivitas di layer yang berbeda untuk meraih stabilitas, termasuk isu kemananan yang sudah dihandel negara seperti jaminan kesehatan.

Pekerja Tetap Masih Ada, Tapi Berpotensi Berkurang

Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky melihat jumlah pekerja tetap masih ada, walaupun ada potensi bakal berkurang.

"Saya tidak melihat pekerjaan tetap akan minim, mungkin akan turun. Karena masih sektor-sektor yang butuh pekerja tetap seperti manufaktur, pelayanan, pertanian yang tetap tinggi jumlahnya," ujarnya.

Riefky justru melihat perkembangan pekerja lepas atau pekerja kontrak lebih terjamin. Dia justru mempermalahkan, jika mereka masuk dalam kategori pekerja informal.

"Pekerja informal tidak punya stabilitas tenaga kerja, keamanan dan jaminan. Ini sebetulnya, masalahnya lebih di sektor informal," ujarnya.

Menurut Riefky, adanyanya pekerja lepas atau kontrak adalah pilihan mereka sendiri. Karena saat ini banyak tenaga kerja menginginkan pekerjaan yang lebih fleksibel baik secara waktu maupun tempat.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari