BI Ungkap Dampak Penempatan Dana Pemerintah Rp 200 Triliun di Bank Himbara
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa kebijakan moneter longgar dan penempatan dana saldo anggaran lebih (SAL) pemerintah di perbankan telah mendorong kenaikan jumlah uang beredar di perekonomian.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan uang negara Rp200 triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Bank Himbara) untuk memperkuat likuiditas dan mendukung pemulihan ekonomi.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, pertumbuhan uang primer adjusted yakni uang primer yang telah memperhitungkan dampak penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) akibat pemberian kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) mencapai 18,58% secara tahunan (year on year/yoy) pada September 2025.
“Ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan M0 atau tanpa memperhitungkan dampak KLM yang sebesar 13,16% yoy,” kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI, Rabu (22/10).
Menurut Perry, kenaikan M0 Adjusted tersebut dipengaruhi oleh ekspansi keuangan pemerintah pada Tagihan Bersih kepada Pemerintah Pusat (Net Claims on Government/NCG).
Sementara itu, pelonggaran kebijakan moneter berdampak pada pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) yang meningkat dari 5,46% yoy pada Juli menjadi 7,59% yoy pada Agustus 2025.
Dari sisi komponen, kenaikan pertumbuhan M2 ditopang oleh peningkatan uang beredar dalam arti sempit (M1) dari 7,25% yoy pada Januari menjadi 10,51% yoy pada Agustus 2025.
Hal ini sejalan dengan naiknya pertumbuhan uang kartal dari 10,30% yoy pada Januari menjadi 13,41% yoy pada Agustus 2025.
“Ke depan, jumlah uang yang beredar diprakirakan meningkat sejalan dengan ekspansi kebijakan fiskal pemerintah,” ujar Perry.
Pertumbuhan Kredit Masih Belum Kuat
Meski pemerintah telah menempatkan dana besar di perbankan, pertumbuhan kredit perbankan masih belum menunjukkan penguatan signifikan. Perry menilai, penyaluran kredit perlu terus ditingkatkan untuk memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kredit perbankan pada September 2025 masih tercatat 7,70% yoy, meskipun sedikit meningkat dari 7,56% yoy pada Agustus 2025,” ujarnya.
Menurut Perry, lemahnya pertumbuhan kredit disebabkan oleh sikap pelaku usaha yang masih wait and see, serta masih tingginya suku bunga kredit. Selain itu, sejumlah korporasi masih mengandalkan pembiayaan internal ketimbang menarik kredit dari perbankan.
Kondisi tersebut tercermin dari fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada September 2025 yang masih tinggi, mencapai Rp2.374,8 triliun atau 22,54% dari total plafon kredit yang tersedia.
“Hal ini terutama terjadi pada segmen korporasi dengan kontribusi utama dari sektor perdagangan, industri, dan pertambangan, serta dengan jenis kredit modal kerja,” kata Perry.
Sebelumnya, pemerintah menempatkan Rp55 triliun di masing-masing Bank Mandiri, BRI, dan BNI, serta Rp25 triliun di BTN. Penempatan juga dilakukan di Bank Syariah Indonesia (BSI) sebesar Rp10 triliun sebagai bagian dari upaya memperluas saluran likuiditas ke sektor perbankan.