Sebentar lagi masyarakat tak akan menemukan odong-odong berlalu-lalang di jalan Ibu Kota Jakarta. Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat, misalnya, mengimbau odong-odong tak lagi beroperasi di jalan raya karena merupakan kendaraan modifikasi. Demikian pula Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur mengintensifkan sosialisasi larangan operasional angkutan darma wisata berupa kereta mini itu.
Dengan sosialisasi ini, pemerintah berharap pemilik dan penumpang mengenal risiko kecelakaan menggunakan kendaraan yang tidak sesuai persyaratan laik jalan: Sertifikat Uji Tipe (SUT) dan Sertifikat Registrasi Uji Tipe Kendaraan (SRUT). SRUT merupakan syarat untuk pendaftaran kendaraan bermotor untuk mendapat STNK dan BPKB. Begitu juga untuk uji berkala. SUT dan SRUT merupakan syarat wajib untuk mengubah atau memodifikasi kendaraan. Tanpa dua sertifikat tersebut, kendaraan dianggap melanggar aturan.
Asep Kohar, 50, menanggapi dingin rencana palarangan tersebut. Dia merasa ketika kebijakan tersebut diterapkan tak berpengaruh ke bengkel motor modifikasinya. Sebab, dia mengerjakan modifikasi odong-odong tidak hanya di Ibu Kota, juga untuk pesanan dari luar daerah.
Terkait aspek keselamatan, Asep mengklaim dalam pembuatan odong-odong tidak asal memodifikasi. “Bengkel ini tidak mengurangi salah satu bagian motor. Odong-odong yang menggunakan sepeda motor hanya menambahkan untuk rangka,” kata Asep beberapa hari lalu.
Untuk membuat satu paket odong-odong, Asep memberikan harga Rp 30 juta, yang meliputi motor dan full set perlengkapan odong-odong. Bengkel juga menambahkan suspensi yang lebih baik untuk menghindari kecelakaan. “Kami membuat dengan aturan dan hati-hati. Lampu rem dan sein juga saya pasang di body sehingga aman untuk pengendara lain,” ujarnya.
Sebagai penduduk Jakarta, lain yang dirasakan Kahfi, 47. Sopir odong-odong di Muara Angke, Jakarta Utara ini menganggap kebijakan pemerintah tidak masuk. Sebab, odong-odong menjadi alat transportasi umum hingga mengangkut barang di pasar bagi warga Muara Angke.
Dia berharap pemerintah menilik kebijakan tersebut dengan matang. “Kami pun tidak bisa berhenti begitu saja. Dengan Rp 5 ribu, odong-odong tidak cuma menjadi hiburan anak-anak, kerap dimanfaatkan menjadi alat transportasi alternatif bagi warga,” kata Kahfi.