Gotong Royong Sebagai Penggerak Kehidupan Sosial

Suku Tengger KATADATA | Donang Wahyu
Penulis:
Editor: Arsip
4/8/2014, 09.30 WIB

Seorang warga membawa plastik sepanjang 10 meter. Berjalan menuruni lembah dengan kondisi jalan setapak yang terjal dan curam. Sesekali melewati pohon bambu dan semak belukar. Di ujung sungai yang kering kerontang sudah menunggu beberapa warga lainnya. Mereka bahu membahu memasang pipa air di atas ketinggian 30 meter. 


Dengan peralatan sederhana; tangga bambu, seutas tali, paku dan palu. Sepanjang tahun, akses air bersih memang menjadi masalah utama di Gunung Bromo. Apalagi bagi masyarakat yang tinggal dekat kawasan puncak. Musim kemarau membuat air tak mengalir hingga ke dalam rumah. 


Bertahun-tahun warga terpaksa membeli air untuk memenuhi kebutuhan mereka. Persoalan semakin rumit ketika musibah letusan Gunung Bromo. Lahar dingin menyapu saluran pipa air. 
?Untung mata airnya masih ada. Tapi lokasinya sulit,? kata Sunoyo, warga Desa Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Pipanisasi air sepanjang lima kilometer ini bantuan dari PNPM Mandiri Perdesaan sebesar Rp 71 juta. Warga juga urun rembug memberikan sumbangan dan tenaga untuk pemasangan pipa air. Warga berharap agar pipanisasi air ini segera menyelesaikan krisis air selama tiga tahun terakhir ini. 
Di atas tebing itu, warga memasang pipa satu persatu. Modal tangga bambu menjadi penyangga utamanya. Pekerjaan pipanisasi air seperti ini beresiko tinggi. Kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Apalagi warga bekerja dengan apa adanya.?Beresiko kalau terjatuh. Tapi perjuangan ini untuk masyarakat,? katanya. 

Tak ada air memang tak ada kehidupan. Krisis air di Bromo berdampak pada ekonomi warga. Mereka kesulitan untuk menyiram kebunnya. Penginapan tempat wisatawan juga mengandalkan pasokan air dari daerah lainnya. Tak heran jika truk-truk pengangkut air hilir mudik sepanjang hari.?Sekarang pipanya sudah terpasang. Warga sudah menikmati aliran airnya,? kata Mahfud Effendi, pendamping PNPM Mandiri. Menurutnya, pengerjaan pipanisasi air ini tergolong cepat. Warga tak pernah mengeluh sekalipun pekerjaannya tergolong berat. 

Masyarakat Tengger memang terbiasa hidup bergotong royong. Mulai urusan bercocok tanam, memperbaiki rumah, berbagai persiapan upacara adat hingga urusan pembangunan. Warga selalu kompak dan mendahulukan urusan kepentingan bersama. Semangat turun tangan ini memang masih terjaga dan melekat dalam masyarakat Tengger. Mereka mengenalnya dengan istilah gugur gunung. ?Tak perlu perintah dari pemerintah. Warga sudah saling membantu,? kata salah satu pemimpin adat Tengger, Supoyo. 


Warga Tengger adalah pewaris Majapahit di Jawa. Mereka bertahan di Bromo sejak abad ke-13. Sejak lama, menurutnya, budaya gotong royong ini menjadi perekat dan penggerak kehidupan sosial masyarakat Tengger. Tak salah jika berbagai program pembangunan, baik dari pemerintah maupun inisiatif dari warga selalu berjalan lancar. Prinsip ini dikenal dalam catur guru bakti, dimana masyarakat dan pemimpin patuh pada prinsip kerukunan dan nilai guyub. ?Kebiasaan ini tak pernah saya temukan di daerah lain,? kata Buradi, koordinator PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Probolinggo.

Masyarakat Tengger telah menikmati berbagai hasil PNPM Mandiri Perdesaan. Mulai dari pembangunan sekolah, pipanisasi air, pembangunan puskesmas hingga dana bantuan simpan pinjam.  ?Pengembalian simpan pinjam juga sangat lancar hampir 98 persen,? kata Mahfud Effendi. Warga memanfaatkan dana ini untuk keperluan usaha dan pertanian. 

Masyarakat Tengger memang terkenal sebagai petani sayuran. Setiap bulannya mereka menghasilkan panen kentang, lombok hingga kol dan dipasarkan hingga ke Surabaya, Bali, Jakarta bahkan Kalimantan. 
Pada tahun 2013, Kementerian Dalam Negeri memberikan penghargaan gotong royong terbaik tingkat nasional kepada masyarakat Tengger. Pemerintah Indonesia kagum dengan semangat gotong royong yang masih terjaga hingga saat ini dan tidak pupus oleh zaman. Di atas tebing itu, semangat gotong royong membuahkan hasil. Air yang menetes dari tebing mulai mengalir. 

Sunoyo dan ratusan warga lainnya mulai menikmati kencangnya air segar. Mereka tak lagi kesulitan menyirami perkebunan sayurannya. Apalagi mesti mengeluarkan uang banyak demi setetes air. 

Foto & Teks: KATADATA | Donang Wahyu

Reporter: Donang Wahyu