Anomali Biaya Besar Pengentasan Kemiskinan

Arief Kamaludin|KATADATA
Aktivitas keseharian warga di pemukiman padat penduduk Kampung Dao, Jakarta. Berdasarkan laporan Poverty and Shared Prosperity Report, sekitar 800 juta orang bertahan hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 1,9 atau Rp 25 ribu per hari pada tahun 2013.
Penulis: Herry Gunawan
17/10/2019, 07.00 WIB

Berulang kali kita mendengar pemerintah menyematkan frase “pertama dalam sejarah” saat mengumumkan tingkat kemiskinan. Sebenarnya, itulah gimmick politik yang tak penting dalam kebijakan publik, karena sebenarnya, setiap terjadi penurunan maka angka baru tersebut selalu menjadi yang terendah sepanjang sejarah.

Pengulangan hanya menjanjikan inefisiensi, satu hal penting yang menjadi pertanyaan program pengentasan kemiskinan. Setiap tahun jumlah orang miskin turun. Namun, setiap tahun pula anggaran pengentasan kemiskinan menanjak.

Pemerintah menetapkan urusan penanganan kemiskinan dalam anggaran perlindungan sosial. Tujuannya, seperti termaktub dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah untuk pengentasan kemiskinan serta pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Beragam program digelar, seperti Program Keluarga Harapan, beras rakyat miskin, serta program lainnya.

Setiap tahun sejak 2015 hingga 2019, biaya perlindungan sosial naik rata-rata 10,3 persen, sementara jumlah orang miskin terus turun. Ironis, memang. Sebab penurunan tingkat kemiskinan itulah yang selalu didongengkan oleh pemerintah yang ingin mengatakan bahwa program dan pemanfaatan anggaran berhasil.

Sejatinya, pengumuman pemerintah tersebut masih koma. Pada saat yang bersamaan, justru orang miskin kian miskin. Hal ini disebut dengan kedalaman kemiskinan menurut bahasa Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Maret 2019, BPS mencatat indeks kedalaman kemiskinan mencapai 1,55 atau rata-rata sebesar 1,67 untuk rentang waktu 2015-2019. Angka ini lebih besar dibandingkan lima tahun sebelumnya (2010-2014), yaitu 1,40.

Indikator kedalaman ini menjelaskan satu hal. Rata-rata pengeluaran orang miskin di Indonesia semakin jauh di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinannya makin dalam, sehingga untuk keluar dari kelompok orang miskin kian sulit.

Lingkaran Setan Kemiskinan

Kelompok masyarakat yang mengalami tingkat kemiskinan kian dalam ini menunjukkan ketidakberdayaan menghadapi perubahan yang terjadi pada biaya barang maupun jasa. Pendapatannya tak mampu beradaptasi. Sehingga, mereka berpotensi terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan atau the vicious circle of poverty (Myrdal, 1968).

Tentu saja bagian kedalaman kemiskinan ini nyaris tidak pernah diumumkan oleh pemerintah, karena tidak nyaman secara politik. Sebab ini bukan prestasi, melainkan bencana bagi statistik kemiskinan dan kelompok masyarakat miskin.

Terkait dengan anggaran yang terus bertambah sementara jumlah orang miskin kian sedikit juga sungguh ironis. Perlu dipertanyakan ulang efisiensi pemanfaatannya. Untuk periode 2015-2018, rata-rata biaya pengentasan kemiskinan memiliki rasio bulanan 1:23,42 juta. Ini berarti, ongkos untuk menurunkan kemiskinan per bulan sebesar Rp 23,42 juta per orang.

Ambil contoh pada 2018. Ketika itu, pemerintah mengalokasikan belanja perlindungan sosial dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 173,77 triliun. Dengan dana sebesar itu, ternyata hanya mampu mengeluarkan 805 ribu orang dari kategori kelompok miskin. Dengan demikian, dalam hitungan sederhana, rasionya adalah 1:17,99 juta. Rasio termahal terjadi pada 2016, yaitu 1:49,02 juta.

Tentu saja biaya tambun ini cenderung berlebihan. Sebagai amsal, jika tidak ada program pengentasan kemiskinan, kemudian anggaran tersebut dibagikan kepada seluruh orang miskin, niscaya masih surplus untuk membuat seluruhnya keluar dari garis kemiskinan.

Penyebab Anggaran Pengentasan Kemiskinan Tak Efisien

Sungguh misterius alokasi anggaran kemiskinan yang meningkat di tengah jumlah orang miskin yang terus turun. Tidak tertutup kemungkinan ada yang keliru pada program yang dijalankan, sehingga biayanya tampak tidak efisien.

Kemungkinan lain yang masih terbuka adalah hadirnya mafia bantuan pangan non-tunai –penyangga untuk masyarakat miskin- seperti yang diributkan Perum Bulog belakangan ini. Atau, mungkin juga akibat melambungnya ongkos birokrasi seperti biaya rapat, perjalanan dinas, dan beraneka kajian. Satu hal yang pasti: belum pernah terdengar ada evaluasi terbuka terkait dengan efisiensi pengentasan kemiskinan.

Apalagi, lembaga yang menangani urusan pengentasan kemiskinan pun begitu banyak. Sebut di antaranya adalah Kementerian Sosial, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, bahkan ada juga terselip di Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Pendidikan.

Terseraknya panitia pengentasan kemiskinan ini membuat efisiensi penggunaan anggaran sulit dievaluasi. Bahkan jika ada yang keliru atau pun pemborosan anggaran, peluang yang terjadi adalah saling tuding.

Tidak berlebihan seandainya Presiden Joko Widodo mengonsolidasikan penanganan kemiskinan dalam satu atap. Evaluasi pencapaian serta pemanfaatan anggarannya menjadi lebih mudah dan terukur. Misalnya, menyerahkan semua anggaran pengentasan kemiskinan yang terserak dalam satu kantong Kementerian Sosial, sekaligus mengubah nomenklaturnya menjadi Kementerian Pengentasan Kemiskinan dan Penanggulangan Bencana.

Kebijakan seperti itu juga boleh diklaim oleh pemerintah dengan jargon “pertama dalam sejarah” dalam hal mengonsolidasikan pengentasan kemiskinan. Biarkan tetap menjadi gimmick asal masyarakat miskin terurus dengan baik karena berdaya, bukan yang lain.

Herry Gunawan
Direktur Data Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.