Sehari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia ke-74, kita digegerkan dengan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Peristiwa tersebut diawali oleh demonstrasi sebuah organisasi masyarakat yang menduga telah terjadi perusakan bendera Merah Putih oleh mahasiswa asal Papua.
Kalimat bernada rasial yang diteriakkan sejumlah demonstran kemudian memicu unjuk rasa di kota-kota besar di Papua dan Papua Barat. Mereka mengangkat perdebatan yang selama ini terpendam: masalah rasisme terselubung di antara masyarakat Indonesia.
Kita perlu mengakui bahwa selama ini sebagian masyarakat di Jawa masih memperlakukan penduduk asli Papua secara berbeda. Kurangnya pemahaman menyeluruh terhadap budaya masyarakat Papua kerap menghasilkan stereotip negatif yang merugikan posisi masyarakat asli Papua.
Permasalahan yang didasari oleh sentimen rasial ini tidak hanya menjadi ancaman yang dapat mencederai hak asasi manusia dan aspek kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks Papua, juga berpotensi mengancam persatuan dan keutuhan bangsa, sehubungan dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang masih berkembang di wilayah tersebut.
(Baca Juga: Kerusuhan hingga Tuntutan Referendum di Papua)
Secara tidak langsung, insiden di Surabaya memperkuat narasi OPM bahwa selama ini masyarakat asli Papua mengalami diskiriminasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di bawah pemerintahan Indonesia. Hal tersebut berpotensi dimanfaatkan OPM untuk menggalang dukungan dari masyarakat asli Papua dan dunia internasional, dan menawarkan sebuah pemerintahan alternatif bagi masyarakat asli Papua.
Memenangkan ‘Hati dan Pikiran’ Masyarakat Papua
Sejak OPM berdiri pada1963, hingga saat ini belum ditemukan solusi yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB) di Papua. Mayoritas masyarakat sipil berpendapat bahwa KKB merupakan permasalahan yang dapat diselesaikan melalui pendekatan militer saja.
Padahal, menurut ahli strategi militer David Killculen, isu separatisme merupakan sebuah varian dari peperangan kontra-insurgensi yang perlu ditangani melalui jalur militer dan non-militer secara berkesinambungan. Salah satu aspek non-militer yang paling penting tak lain adalah memenangkan simpati masyarakat setempat (neutral population) dan mengalihkan dukungan mereka dari OPM.
Di bidang militer, simpati masyarakat setempat terhadap Pemerintah akan melemahkan basis dukungan OPM, yang berdampak pada terbatasnya akses KKB untuk mendapatkan informasi intelijen, logistik, dan anggota baru. Selain itu dukungan masyarakat juga berperan besar dalam menghilangkan ruang bagi OPM untuk bersembunyi dengan membaur di tengah-tengah masyarakat sipil.
Di sisi lain, dari segi politik, bentuk perjuangan OPM telah bertransformasi ke arah yang berfokus kepada jalur diplomasi untuk mendapatkan legitimasi dari negara-negara lain. Dukungan masyarakat Papua juga akan sangat berguna untuk meraih dukungan dunia internasional terhadap posisi pemerintah Indonesia. Untuk itu, penting bagi Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa mayoritas masyarakat mendukung Papua dan Papua Barat untuk tetap menjadi bagian NKRI.
Pasca-Era Reformasi, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berusaha untuk mendiversifikasi pendekatannya terhadap Papua, sehingga kehadiran pemerintah di sana tidak didominasi oleh pendekatan militeristik. Pemerintah menyadari bahwa terulangnya isu pelanggaran HAM di masa lalu akan menjadi kelemahan yang menyudutkan posisi pemerintah di wilayah Papua.
Oleh karena itu, pemerintah mulai membatasi ruang gerak TNI di titik-titik rawan, serta melibatkan kepolisian setempat untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah perkotaan. Untuk menumbuhkan simpati masyarakat Papua, pemerintah juga melakukan berbagai upaya yang menggunakan pendekatan kesejahteraan dan sosial-budaya terhadap masyarakat asli Papua.
Meskipun masih jauh dari kata sempurna, pendekatan non-militer telah menjadi indikator pemerintah untuk meningkatkan hubungan negara dengan masyarakat Papua. Pada 2017, misalnya, Indikator Politik melakukan survei tingkat kepuasan masyarakat Papua terhadap program dan kinerja pemerintahan Joko Widodo.
Hasilnya menunjukkan bahwa hampir 90 persen responden puas dengan program-program pemerintah pusat di Papua, sementara 62 persen di antaranya menyatakan bahwa implementasi dari program-program tersebut berjalan dengan baik. Tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap program-program pemerintah menunjukkan bahwa masyarakat asli Papua sesungguhnya memiliki persepsi yang cukup positif terhadap pemerintah pusat.
(Baca Juga: Jokowi: Tak Ada Toleransi Bagi Perusuh dan Tindakan Anarkis di Papua)
Sayangnya, sampai sekarang upaya yang dilakukan pemerintah belum diiringi dengan pemahaman masyarakat di Jawa mengenai pentingnya inklusi masyarakat Papua dalam bingkai Indonesia. Hal tersebut terlihat dari bagaimana upaya merebut ‘hati dan pikiran’ masyarakat asli Papua masih didominasi dengan pendekatan institusional yang bersifat atas ke-bawah (top down approach) melalui program-program langsung pemerintah pusat di daerah Papua.
Akibatnya, kebutuhan untuk menggalang simpati masyarakat asli Papua hanya terinternalisasi di level pemerintah, namun tidak dipahami secara mendalam di level masyarakat di Pulau Jawa. Tindak diskriminasi rasial terhadap masyarakat asli Papua di Surabaya merupakan salah satu contoh nyata yang memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat belum memahami konsekuensi dari aksi mereka.
Peran Masyarakat Sipil dalam Merangkul Papua
Hingga saat ini, sebagian masyarakat di Indonesia masih memahami masalah OPM sebagai isu yang terisolir dari persoalan diskriminasi masyarakat asli Papua. Padahal, menciptakan kondisi sosial yang kondusif bagi masyarakat asli Papua dapat menjadi kunci untuk mempertahankan Papua di dalam NKRI. Terdapat tiga peran utama masyarakat sipil dalam mendukung upaya pemerintah di Papua:
Pertama, melalui rekonstruksi sosial di tingkat individu maupun tingkat kolektif yang melibatkan berbagai unsur masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh peneliti sosiologi asal Harvard, Matthew Clair, “ras” merupakan sebuah konsep yang dibentuk oleh konstruksi sosial. Konsep “ras” tidak tercipta secara alami berdasarkan kondisi biologis seseorang, tetapi terbentuk karena kecenderungan manusia untuk mengelompokkan suatu bagian masyarakat berdasarkan ciri-ciri fisik yang mereka miliki.
Sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang berasal dari Indonesia Bagian Barat, memiliki sedikit ruang interaksi dengan masyarakat asli Papua. Sehingga, mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kompleksitas budaya dan istiadat Papua.
Minimnya pengetahuan mengenai masyarakat dengan latar belakang berbeda dapat menyebabkan bias yang tak disadari (unconscious bias). Hal ini terbentuk dari interaksi sehari-hari individu sejak masih berada dalam masa kanak-kanak sehingga muncul kecenderungan memandang masyarakat asli Papua melalui kacamata budaya mereka sendiri.
Oleh karena itu, sebagai organisasi pertama yang dikenal oleh individu, keluarga memegang peranan penting dalam merekonstruksi persepsi generasi muda mengenai masyarakat asli Papua. Peran keluarga idealnya didampingi oleh pendidikan formal dan non-formal yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, sehingga nilai-nilai tersebut dapat terinternalisasi sejak dini di level individual.
Pada pendidikan tinggi, upaya untuk meningkatkan interaksi masyarakat di Pulau Jawa dengan masyarakat asli Papua telah dilakukan melalui pertukaran pelajar dari universitas-universitas di Papua dan Jawa. Salah satu contohnya yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Papua Universitas Indonesia dan Universitas Cenderawasih di tahun 2014. Program ini diikuti oleh hampir 50 mahasiswa dari kedua perguruan tinggi.
Melihat urgensi yang ditimbulkan oleh unjuk rasa di Papua dan Papua Barat, muncul kebutuhan untuk mengembangkan dan mereplikasi program-program ini di institusi pendidikan lain di Indonesia.
(Baca Juga: Pemerintah Tidak Akan Buka Opsi Referendum Papua)
Kedua, melalui peran advokasi dari organisasi sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Meskipun selama ini sudah banyak berjalan, fungsi advokasi dari organisasi sipil dan LSM mayoritas terpusat kepada hubungan vertikal antara pemerintah Indonesia dan masyarakat asli Papua.
Misalnya hal ini terkait kondisi HAM masyarakat asli Papua, kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah terpencil, kebebasan media di Provinsi Papua dan Papua Barat, dan banyak lagi yang lain. Dari isu-isu tersebut, sedikit dijumpai advokasi yang berfokus kepada masalah diskriminasi terhadap masyarakat asli Papua di luar tanah Papua.
Mengingat permasalahan diskriminasi rasial di luar Papua masih marak terjadi, organisasi sipil dan LSM sekiranya perlu mempertimbangkan untuk memperluas cakupan advokasinya ke level horizontal. Dalam hal ini seperti mencakup hubungan antara masyarakat asli Papua dan masyarakat non-Papua di Indonesia.
Ketiga, melalui penambahan keterwakilan masyarakat Papua di media masa. Hingga saat ini representasi masyarakat asli Papua di media masa masih jarang ditemui. Dalam jumlah representasi yang terbatas tersebut, banyak di antaranya yang melanggengkan stereotip negatif terhadap masyarakat asli Papua.
Media masa hingga saat ini masih menjadi sumber utama masyarakat umum dalam mendapatkan informasi. Karena itu, bagi masyarakat yang tidak memiliki gambaran mengenai masyarakat asli Papua, informasi yang ditampilkan oleh media masa dapat dipersepsikan sebagai realita.
Oleh karena itu, menambah representasi masyarakat asli Papua di media dalam bingkai yang positif tidak hanya mengubah persepsi masyarakat Indonesia di Jawa terhadap masyarakat asli Papua. Representasi ini juga merupakan sebuah bentuk pengakuan bahwa penduduk asli Papua merupakan bagian dari masyarakat Indonesia.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan masyarakat sipil tersebut mungkin merupakan sebuah proses panjang yang akan berlangsung selama beberapa generasi. Unjuk rasa yang kini tengah terjadi di Papua dan Papua Barat sepatutnya dilihat oleh masyarakat Indonesia sebagai sebuah momentum yang tepat untuk mulai mengubah kultur masyarakat di Pulau Jawa ke arah yang lebih egaliter.
Penutup
Rentetan peristiwa yang terjadi pasca-pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya sepatutnya menjadi sebuah pelajaran mengenai pentingnya inklusifitas masyarakat asli Papua di Pulau Jawa. Telah terbukti bahwa respons yang mengandung kekerasan -termasuk intimidasi dengan unsur rasial- bukan merupakan jawaban untuk mengatasi permasalahan separatisme di Papua. Sebaliknya, hal tersebut justru berpotensi memperkuat narasi propoganda OPM dan mengeksklusi masyarakat asli Papua dari narasi kebangsaan indonesia.
Diperlukan sebuah perubahan fundamental dari masyarakat mengenai anggapan bahwa menjaga Papua sebagai bagian dari NKRI merupakan tanggungjawab pemerintah semata. Setiap unsur negara memiliki peranan tersendiri dalam mempertahankan keutuhan bangsa, dan peran paling mendesak bagi masyarakat sipil saat ini adalah mendukung terciptanya kondisi sosial yang kondusif bagi masyarakat Papua.
Akan tetapi, sebelum kita dapat menciptakan perubahan tersebut, hal yang pertama-tama harus dilakukan oleh masyarakat Indonesia di luar Papua adalah mengakui bahwa permasalahan diskriminasi rasial merupakan masalah yang terletak pada masyarakat Indonesia di Pulau Jawa, bukan pada masyarakat asli Papua.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.