Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional baru menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Menarik untuk dicermati urgensi dari perubahan bentuk sertifikat tanah dari model konvensional berupa buku tanah menjadi sertifikat elektronik. Sebelumnya, banyak instansi menerapkan model e-sertifikat ini, seperti sertifikat hak atas kekayaan intelektual.
Boedi Harsono (1999), menjelaskan bahwa sertifikat tanah adalah tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang telah didaftarkan pada negara. Lahirnya hak atas tanah dapat berasal dari permohonan maupun peralihan hak atas tanah secara keperdataan, misalnya jual beli dari pihak lain. Sedangkan sertifikat hak atas tanah merupakan bentuk administrasi oleh negara berdasarkan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Selanjutnya, secara khusus administrasi hak atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Secara hukum artinya Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2021 tadi merupakan aturan pelaksanaan dari peraturan pemerintah tersebut.
Jika saat ini sertifikat hak atas tanah diubah dalam bentuk elektronik, pertanyaan mendasarnya yaitu apakah urgensi perubahan model sertifikat tersebut. Meskipun sertifikat tanah konvensional berupa buku sertifikat fisik, namun BPN telah memiliki catatan riwayat bidang tanah yang tertera dalam buku sertifikat tersebut. Termasuk dalam hal ini yakni catatan menyangkut sanksi (seperti tanah terlantar), mutasi kepemilikan, pembebanan hak tanggungan, dan catatan administrasi lainnya.
Dalam hal ini, pertanyaan mendasarnya, lantas apa fungsi sertifikat elektronik yang berbeda sehingga memberi perbaikan layanan bagi masyarakat dibanding layanan yang sudah ada. Dapat dikatakan yang terjadi adalah perbedaan bentuk dari sertifikat fisik menjadi sertifikat elektronik.
Permasalahan dalam Pengurusan Hak atas Tanah
Sertifikat elektronik sebagaimana diluncurkan dalam peraturan menteri tadi tidaklah menjawab kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Masyarakat, juga investor, sebenarnya lebih membutuhkan kemudahan untuk mengurus sertifikat hak atas tanah itu sendiri. Misalnya, hingga saat ini tidak terdapat jangka waktu yang pasti pada pengurusan sertifikat tanah, adanya standar persyaratan yang berbeda pada masing-masing daerah.
Kondisi lain yang perlu mendapat fokus BPN daripada sekadar mengubah bentuk fisik buku sertifikat tanah yaitu mengurai persoalan mengenai tumpang tindih kepemilikan tanah. Idealnya, sertifikat elektronik terkait juga dengan kebijakan satu peta (one map policy) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta yang dipergunakan sebagai acuan penerbitan sertifikat tanah (terlepas berbentuk fisik atau elektronik).
Jika hanya berfungsi mengubah bentuk buku tanpa berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan masyarakat, sertifikat elektronik tidak akan banyak bermanfaat. Sebaliknya, justru akan rawan terjadi persoalan lain karena sertifikat hak atas tanah memiliki banyak fungsi dan kaitan dengan berbagai aspek. Jika tidak dapat menjawab apa yang dibutuhkan masyarakat, sertifikat elektronik ini akan menjadi seperti online single submission (OSS) yang hanya dapat dipergunakan untuk mengurus sebagian perizinan berusaha saja.
Padahal, banyak perizinan penting yang tidak dapat diurus melalui OSS, hal serupa juga akan terjadi pada fungsi sertifikat elektronik bila tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum dan kemudahan pengurusan hak atas tanah. Jika mengacu pada penjelasan tertulis BPN pada akhir Januari lalu, tujuan sertifikat elektronik guna memangkas birokrasi pengurusan hak atas tanah dan kepentingan terkait lainnya seperti fungsi jaminan, pemasangan hak tanggungan hingga fungsi pengawasan seperti tanah terlantar.
Jadi, menarik untuk mencermati korelasi antara perubahan bentuk sertifikat tanah menjadi sertifikat elektronik dan kemudahan pengurusan hak atas tanah dan fungsi lainnya. Logikanya, sertifikat tanah adalah bukti kepemilikan hak atas tanah, sedangkan memangkas birokrasi pengurusan (debirokrasi) mengacu pada syarat untuk memperoleh hak atas tanah.
Demikian juga jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, tidak terdapat korelasi positif -baik terkait kemudahan maupun pengawasan- pada fungsi penjaminan. Hal serupa terjadi pada fungsi pengawasan atas penggunaan hak atas tanah yang belum berubah signifikan atas perubahan model sertifikat dari bentuk konvensional dan elektronik.
Catatan terakhir terkait perubahan bentuk sertifikat adalah inventarisasi sertifikat fisik yang sudah ada guna dikonversi ke dalam bentuk elektronik pada masing masing bidang tanah. Termasuk mekanisme penyelesaian jika pada satu bidang tanah diketahui memiliki lebih dari satu sertifikat fisik. Perlu ada mekanisme yang menentukan pemilik sertifikat yang sah untuk dikonversi pada sertifikat elektronik.
Demikian pula perlu diatur mengenai pertanggung jawaban negara -dalam hal ini BPN- jika dikemudian hari terdapat kesalahan sistem (technical error) yang merugikan pemegang hak atas tanah. Dengan demikian dapatlah dikatakan untuk optimalnya Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 perlu dilengkapi dengan perangkat hukum lain.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.