Seberapa ‘Hijau’ Bahan Bakar Nabati (Biofuel)?

123RF.com/Sergey Galushko
Penulis: Nur Maliki Arifiandi - Tim Publikasi Katadata
21/5/2021, 11.11 WIB

Program Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau BAPPENAS yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dengan tujuan beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, termasuk bahan bakar nabati (biofuel).

Perkembangan biofuel di Indonesia dimulai pada 2006 ketika pemerintah menerbitkan Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan bahwa biofuel harus meliputi sekurangnya 5 persen dari bauran energi nasional pada 2025. Pada 2008, kebijakan biofuel Indonesia mengalami perkembangan besar lainnya pada saat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan kewajiban penggunaan biofuel di sektor transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik, dengan target progresif untuk pencampuran biofuel selama periode 2008–2025.

Sejalan dengan tujuan untuk mendorong biofuel menjadi bahan bakar transportasi, biasanya biofuel ini dicampur dengan bahan bakar fosil dalam berbagai persentase kandungan bahan (konsentrasi). Campuran 5 persen biofuel dan 95 persen bahan bakar fosil biasanya disebut B5, sementara campuran 20 persen biofuel disebut B20, dan seterusnya. Pada 2020, Pemerintah Indonesia menargetkan pencampuran 30 persen biofuel ke dalam bahan bakar solar, atau yang biasa disebut sebagai program B30.

Meskipun konsumsi biodiesel diprediksi turun sekitar 13 persen dari alokasi produksi pada 2020 akibat perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia masih terus melanjutkan program B30 dan menargetkan peluncuran program B40 pada 2022. Sejalan dengan rencana ini, pemerintah juga melakukan uji pengembangan D100 (bahan bakar hijau 100 persen berbasis tanaman) yang diharapkan dapat mulai diproduksi pada 2023. Program ini diperkirakan akan mengonsumsi 30 juta ton Minyak Sawit Mentah (CPO) setiap tahunnya. 

Walaupun telah ada kesiapan untuk meningkatkan produksi biofuel, persoalan mengenai keberlangsungan biofuel tidak dapat dipisahkan dari tantangan yang terus melingkupi sektor kelapa sawit, salah satu penyebab hilangnya hutan di Indonesia. Sebagai komoditas pertanian, minyak sawit berperan penting dalam perkembangan ekonomi Indonesia, tetapi jika kemudian biodiesel berbahan dasar minyak sawit dijadikan sebagai alternatif ‘hijau’ untuk menggantikan bahan bakar fosil, maka keberlanjutannya harus benar-benar diperhatikan.

Meningkatkan perlindungan lingkungan untuk produksi minyak sawit 

Agar biofuel dapat dikategorikan sebagai sumber energi berkelanjutan, peraturan yang bertujuan mendorong peningkatan produksi minyak sawit harus disertai dengan perlindungan lingkungan yang signifikan. Integrasi aspek keberlanjutan dalam peraturan industri biofuel masih kurang dan perlu ditingkatkan. International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) merupakan salah satu standar yang dapat dijadikan acuan, tetapi serapannya masih rendah karena kewenangannya hanya untuk pasar Uni Eropa.

Ada beberapa skema sertifikasi keberlanjutan untuk produksi minyak sawit yang berlaku di Indonesia, misalnya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), standar global berbasis sukarela yang diberlakukan melalui tata kelola multipemangku  kepentingan, dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bersifat wajib. Tetapi, tidak ada peraturan spesifik mengenai kriteria keberlanjutan untuk konsumsi biodiesel dalam negeri. Sebaliknya, antara 2015 dan 2020, Kementerian Pertanian secara khusus membebaskan perkebunan sawit yang memasok minyak sawit untuk produksi biofuel dari kewajiban mematuhi ISPO.

Demi perkembangan yang positif, aturan pelaksanaan ISPO diubah pada 2020 dengan mewajibkan kembali sebagian besar perkebunan sawit di Indonesia (termasuk yang memproduksi biofuel), agar mematuhi ISPO. Meskipun ISPO telah ditetapkan sebagai standar wajib untuk bahan baku biodiesel, penerapannya harus dipantau dengan lebih baik. Hanya saja kebijakan ini (ISPO) masih kurang tegas dalam menetapkan batas waktu yang disepakati untuk pembukaan lahan kelapa sawit tidak hanya untuk stok biodiesel. Hal ini merupakan kesenjangan kebijakan yang harus diatasi guna mencegah konversi dari hutan menjadi perkebunan. 

Meningkatkan pengungkapan lingkungan perusahaan dan rantai pasok biodiesel

Transparansi mengenai aspek lingkungan dari produksi biodiesel juga merupakan salah satu tindakan yang diperlukan untuk mencapai rantai pasok biodiesel yang bebas deforestasi. Terdapat tanda-tanda positif yang menunjukkan peningkatan transparansi di sektor minyak sawit, dengan pertambahan 30 persen perusahaan yang memproduksi, memasok, atau menggunakan minyak sawit Indonesia yang melakukan pengungkapan melalui CDP pada 2020 dibandingkan pada 2019. Meski demikian, masih banyak hal yang harus ditingkatkan.

Sebagian besar pemasok program B20/B30 di Indonesia adalah anak perusahaan dari perusahaan besar, yang banyak di antaranya terdaftar sebagai pedagang atau pengolah terbesar di dunia, sebagaimana temuan dalam analisis situasi terkini yang dilakukan oleh CDP. Konsentrasi perusahaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh kebutuhan modal yang besar untuk kepemilikan fasilitas penyulingan. Dari 20 perusahaan pemasok biofuel yang melakukan pengungkapan kepada CDP pada 2019 dan 2020, hanya tiga yang mendapat nilai A atau B (baik). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perusahaan tertentu memiliki kinerja yang baik, terdapat peluang signifikan untuk meningkatkan pelaporan informasi terstandardisasi oleh sektor minyak sawit untuk mendukung minyak sawit yang dapat ditelusuri dan berkelanjutan.

Terlepas dari komitmen lingkungan perusahaan induk atau bahkan perusahaan yang memimpin tindakan keberlanjutan, kompleksitas struktur perusahaan dan rantai pasok biodiesel menghambat kemampuan perusahaan dalam memastikan penelusuran hingga tingkat perkebunan dan menjamin operasi yang bebas deforestasi. Ditegaskannya pelaksanaan pengungkapan persoalan lingkungan dapat membantu pemerintah untuk memahami peran perusahaan dalam rantai pasok biodiesel dan mengidentifikasi area intervensi kebijakan dengan lebih baik.

Meningkatkan dialog dan kerja sama antara sektor publik dan swasta

Peningkatan produktivitas perkebunan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menghasilkan lebih banyak kelapa sawit tanpa harus menambah luas areal tanam. Tetapi, produktivitas telah lama menjadi persoalan di Indonesia. Selain itu, ada kesenjangan produktivitas antara perusahaan swasta dan para petani. Rendahnya intensifikasi dan banyaknya praktik pertanian yang tidak berkelanjutan, serta kurangnya dukungan pemerintah terhadap petani, mengakibatkan produksi petani hanya mencapai rata-rata 2-3 ton/ha/tahun, sementara perusahaan swasta mencapai 4 ton/ha/tahun.

Untuk mengatasi persoalan rendahnya produktivitas ini, pemerintah meluncurkan program Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit pada 2017, tetapi pada 2020, hanya 11 persen dari total target program yang tercapai. Demi memenuhi kebutuhan biodiesel baru, pemerintah harus fokus dalam mendukung peningkatan hasil produksi petani, dengan memberikan target dan arahan yang jelas, serta mendukung inklusi/masuknya petani dalam rantai pasok biodiesel.

Selain itu, sejumlah besar perusahaan dalam rantai pasok minyak sawit telah melaksanakan komitmen dan kebijakan Tanpa Deforestasi, Tanpa Penanaman di Lahan Gambut, dan Tanpa Eksploitasi (NDPE) terkait produk minyak sawit lainnya. Peningkatan dialog dan kerja sama antara sektor publik dan swasta mampu membantu pengidentifikasian solusi yang saling menguntungkan dan pemahaman cara sektor swasta untuk dapat berkontribusi terhadap tujuan pemerintah sembari memenuhi komitmennya.

Mendukung Iktikad Baik dengan Kebijakan yang Baik

Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau BAPPENAS harus diapresiasi karena ambisinya untuk menyeimbangkan keberlanjutan dengan kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, Indonesia masih harus memastikan bahwa program biofuel sesuai dengan kredensial hijau.

Meskipun kebijakan mengenai biofuel menunjukkan adanya iktikad baik untuk mengurangi dampak lingkungan akibat peningkatan produksi yang ada, kebijakan ini sering kali tidak menguraikan cara penerapannya. Oleh karena itu, pembuat kebijakan harus mewaspadai adanya kontradiksi antara risiko lingkungan yang ditimbulkan oleh ekspansi biofuel dan target yang ditetapkan untuk mengurangi deforestasi dan emisi.

Biodiesel berkelanjutan membutuhkan pertimbangan kebijakan yang cermat atas berbagai persoalan ekonomi, sosial dan lingkungan. Kebijakan pemerintah dapat meningkatkan perlindungan lingkungan untuk produksi minyak sawit dengan berfokus pada hasil panen (bukan perluasan),  produktivitas petani, dan pengintegrasian standar keberlanjutan sebagai persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam produksi biodiesel. Dengan meningkatkan dialog antara sektor publik dan swasta, kebijakan yang ada dapat membantu menjalankan standar keberlanjutan yang lebih baik di seluruh industri biofuel sehingga lebih meningkatkan hasil panen, penggunaan sumber daya menjadi lebih efisien, dan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Untuk informasi lebih lanjut tentang CDP beserta penelitian yang dilakukannya mengenai dampak lingkungan secara global, kunjungi halaman website https://www.cdp.net/en atau unduh laporan penuh dan infografis terkait di sini.

Nur Maliki Arifiandi
Policy Engagement Manager- CDP

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.