Tiga Cara Depolarisasi dalam Ketegangan Politik atau Krisis Pandemi

ANTARA FOTO/Mosista Pambudi/aww.
FOTO ARSIP - Tiga petugas kepolisian berjaga-jaga di dekat sebuah mobil yang terbakar dalam kerusuhan di kawasan pertokoan Bendungan Hilir, Jakarta, (13/5/1998). Aksi kerusuhan dan penjarahan mulai terjadi di beberapa wilayah Ibu Kota menyusul tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti.
Penulis: Abdul Rohman
3/10/2021, 07.00 WIB

Polarisasi pandangan bukan hal baru di Indonesia. Namun polarisasi kian menajam, terutama dalam situasi kritis seperti pemilihan umum, kekerasan komunal, atau saat pandemi seperti sekarang ini.

Vaxxers (pro-vaksinasi) vs anti-vaxxers (anti-vaksinasi), yang taat vs yang melanggar protokol kesehatan, dan pendukung vs penentang kebijakan kesehatan publik, misalnya. Setiap kubu percaya bahwa mereka memiliki dasar valid untuk mengekspresikan pandangan hidupnya.

Polarisasi penting untuk menjaga keberagaman pendapat. Akan tetapi yang banyak terjadi adalah sebaliknya. Polarisasi menjadi bahan bakar yang kerap provokator gunakan untuk membelah masyarakat, daring (online) maupun luring (offline). Oleh karena itu, upaya-upaya depolarisasi penting untuk ditanamkan.

Depolarisasi mencerminkan upaya untuk memahami pendapat atau pandangan berbeda. Jika berkelanjutan, depolarisasi dapat membantu menciptakan komunikasi konstruktif antara kubu yang berbeda.

Depolarisasi, secara sederhana, muncul sebagai hasil polarisasi yang acap kali menjadi sumber konflik. Depolarisasi biasanya secara perlahan muncul saat polarisasi memuncak atau kelompok yang berbeda menyadari dampak negatif akibat hidup dalam polarisasi akut.

Saya meneliti tentang peran pertukaran informasi dalam memfasilitasi depolarisasi di dalam kehidupan sehari-hari di Ambon, Maluku, sebuah kota yang menyaksikan bagaimana perbedaan agama memecah masyarakat setelah kekerasan komunal terlepas dari upaya perdamaian dan penyatuan kembali. Kekerasan di Ambon melibatkan komunitas Kristen dan Islam, terjadi dari 1999 hingga 2004 dan kemudian mencuat kembali pada 2011 hingga 2012.

Berdasarkan penelitian itu, saya mengidentifikasi tiga cara yang bisa kita lakukan untuk depolarisasi dalam konteks keseharian di Indonesia.

1. Dekonstruksi Masa Lalu

Membongkar warisan masa lalu menjadi hal penting untuk mencari tahu dari mana akar polarisasi berasal. Di Indonesia, atau Ambon secara khusus, warisan kolonialisme seperti segregasi kelas, agama, dan etnis adalah beberapa titik yang perlu dikunjungi kembali, dipugar, dan dibangun ulang.

Penting bagi kita untuk memahami bahwa dalam setiap upaya memecah belah, titik rentan yang berakar dari warisan kolonialisme akan dieksploitasi oleh mereka yang ingin menjadi lebih berkuasa, menutupi kesalahan, dan menindas kelompok lemah.

Dalam konteks masyarakat pascakekerasan, hal tersebut muncul dalam bentuk kesadaran bahwa ketika kekerasan besar muncul kembali maka yang rugi adalah masyarakat dan yang untung biasanya pihak-pihak luar.

Oleh karenanya, memugar pengalaman masa lalu dan membentuk pemahaman yang mengarah pada pandangan konstruktif tentang kebersamaan dan perpecahan menjadi titik referensi saat pembicaraan tentang topik sulit, kontroversial, dan sensitif muncul.

Contohnya Usi (nama disamarkan), salah satu warga Ambon yang saya wawancara, yang sadar bahwa dirinya masih punya amarah dan prasangka terhadap kelompok agama lain. Akan tetapi, dia percaya bahwa untuk bisa berdamai dengan pengalaman kekerasan perlu waktu.

Setiap orang memiliki proses yang tidak sama. Yang paling penting, menurut Usi, adalah tidak menggunakan amarah dan prasangka sebagai landasan untuk melihat kelompok lain. Ini terutama untuk mereka yang ada di sektor pendidikan dan informasi.

Dalam konteks Ambon, guru harus bisa menyajikan cerita kekerasan dari masa lalu dari perspektif semua kelompok yang terlibat, dan siapa yang diuntungkan dan dirugikan jika sejarah pahit itu terulang.

Jurnalis perlu menghindari mengaitkan kekerasan dengan agama yang dianut oleh pelaku dan korbannya. Narasi-narasi polarisasi tidak seharusnya menjadi sajian utama dalam berita.

Ini bisa juga kita lakukan di dalam masa pandemi. Media, misalnya, sebaiknya lebih memfokuskan pada praktik-praktik yang membawa masyarakat untuk bersatu dan melek protokol kesehatan alih-alih terbawa dalam agenda politik yang memecah fokus pada penanggulangan pandemi.

Warga negara dapat berkonsentrasi pada apa yang mereka bisa lakukan untuk mengurangi persebaran virus ketimbang mencerca mereka yang tidak patuh protokol kesehatan. Ada banyak sebab dan alasan seseorang tidak mematuhi protokol kesehatan, bisa jadi karena kondisi kesehatan, ekonomi, atau hal lain yang tidak tampak.

2. Cita-cita yang Sama

Fokus pada tujuan masa depan bersama dapat menjadi tameng untuk menangkal pecah-belah. Pendapat, pandangan hidup, nilai dan ideologi bisa jadi berbeda; tetapi, dengan tujuan kolektif masa depan, maka ada potensi untuk menegosiasikan perbedaan.

Di Ambon hal itu tampak pada fokus untuk membangun kembali dan memperbaiki citra kota. Musik menjadi titik berangkat. Musik sempat menjadi salah satu alat untuk mempromosikan perdamaian saat kekerasan berlangsung pada akhir 1990-an dan awal 2000-an.

Pada 2019, kota Ambon ditetapkan sebagai salah satu Kota Kreatif Dunia oleh UNESCO. Ambon masuk dalam kategori Kota Kreatif Musik (Creative City of Music), dan merupakan Kota Musik UNESCO pertama di kawasan Asia Tenggara. Ambon Music Office menjadi salah satu pemeran kunci dalam mengarustamakan kreativitas dan musik untuk kalangan muda.

Adanya tujuan bersama dapat memitigasi risiko yang muncul dari narasi polarisasi. Tujuan itu membuka peluang untuk memberikan rasa kebersamaan dan mengalahkan “musuh”, seperti kesenjangan sosial, pendidikan, dan informasi.

Hal tersebut dapat menjadi panduan untuk berinteraksi dengan orang lain; warga dapat menegosiasikan apa yang bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat tempat dia hidup.

3. Ruang Bersama

Berbagi informasi di ruang publik dengan kelompok yang berbeda dapat menumbuhkan kemampuan untuk mengekpresikan perbedaan di zona aman. Ini tentunya terjadi setelah kemampuan untuk mendekonstruksi masa lalu dan fokus pada tujuan kolektif masa depan muncul.

Warung kopi di Ambon -sebelum pandemi- menjadi salah satu ruang untuk mengasah keberanian bertemu dengan kelompok berbeda.

Melalui interaksi di warung kopi, potensi kolaborasi muncul di antara kelompok muda dari beragam minat dan latar belakang. Tidak menutup kemungkinan hal ini akan berlanjut saat situasi pandemi mereda.

Pada masa pandemi, media digital dan sosial dapat menjadi “warung kopi”; kita dapat mencoba untuk bergabung dengan grup atau mengikuti berita yang tidak sama dengan pandangan hidup kita.

Ini dapat menunjukkan pada kita sumber-sumber polarisasi dan kemudian berusaha memahaminya, bukan dari kacamata kita, tapi dari kacamata “mereka”. Kadang kala menjadi pengamat pasif terhadap apa yang mereka bicarakan dapat memberikan pemahaman organik tentang tindakan, perilaku, dan pikiran mereka.

Wawasan dari Ambon bisa berguna untuk menyikapi polarisasi yang mewarnai situasi pandemi di Indonesia. Pandemi dan warisannya akan memperlebar jurang pemisah dalam masyarakat, terutama yang muncul dari polarisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Jika virus Covid-19, masalah lama yang memburuk selama pandemi, dan masalah baru muncul karenanya adalah “musuh-musuh”, maka mendepolarisasi hal-hal yang memecah belah struktur sosial bisa menjadi bahan untuk bertahan dan terus melangkah ke depan.

Abdul Rohman
Lecturer, School of Communication and Design, RMIT University Vietnam

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.