Merekonstruksi Kerangka Digitalisasi Universitas di Indonesia

ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/aww.
Dosen menyampaikan materi Tata Hidang kepada mahasiswa saat perkuliahan secara daring di Jaya Wisata International Hotel School, Denpasar, Bali, Kamis (16/4/2020). Lembaga pendidikan pariwisata tersebut menerapkan perkuliahan secara daring yang memanfaatkan sejumlah aplikasi selama kegiatan perkuliahan di lingkungan kampus ditiadakan sementara untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19.
Penulis: Meuthia Ganie-Rochman
Editor: Sorta Tobing
6/11/2021, 11.20 WIB

Meskipun inovasi atau pengetahuan bukan hanya dihasilkan oleh universitas, tapi ia adalah lembaga utama. Mengapa? Karena pengetahuan yang bermanfaat harus dihasilkan oleh suatu lembaga yang dipenuhi nilai dan norma yang menjaga “kebenaran” seperti rasionalitas, progresifitas, reflektif, metodologis, keharusan peer review, di samping nilai nilai kejujuran dan keadilan.

Antara pengetahuan dengan nilai-nilai tadi sangat terikat erat. Inilah yang membedakan universitas dengan lembaga lain. Mahasiswa belajar tentang nilai-nilai tersebut dengan semua alat sensorinya pada saat perkuliahan di kampus. Apabila keunikan ini mau dipertahankan jika perspektifnya hanya tentang “koneksi” (mengikuti?) dengan kebutuhan dunia industri dan kebijakan pemerintah, universitaslah yang harus merumuskan arahnya, meskipun caranya adalah dengan koneksi dan keterlibatan (engaging) bersama lembaga-lembaga lain.

Lalu, bagaimana menjaga keunikan peran di atas dalam kerangka penggunaan digitalisasi universitas? Artinya, penggunaan digital harus diletakan dalam kerangka kemajuan pengetahuan sekaligus pengembangan moralitas masyarakat.

Dengan situasi tidak lepas dari pandemi, universitas harus mencari dengan sistematis model-model yang tetap menghasilkan pengetahuan yang baik, sekaligus mengembangkan identitas suatu komunitas yang dipenuhi kewajiban moral. Good online learning creates a sense of community (Elizabeth Johnson, The Conversation). Terdapat dua persoalan: dapatkah kuliah online menciptakan perasaan sebagai “komunitas” dengan kesadaran kolektif ; kedua, persoalan merekonstruksi suatu ekosistem perkuliahan yang memanfaatkan pengetahuan dari luar.

Ilustrasi wisuda perguruan tinggi di kala pandemi. (ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/rwa.)

Digitalisasi baru mengenai memudahkan koneksi dan memang memudahkan akses ke berbagai sumber informasi dan pengetahuan. Aktor individu maupun organisasi dinilai dari kemampuannya merekonstruksi segala itu lalu menawarkan yang baru.

Namun, koneksi yang lebih banyak tidak serta merta menghasilkan pengetahuan yang baik. Anak sekolah, mahasiswa dan akademisi hanya bisa menghasilkan “sesuatu”. Seringkali itupun tidak substansial. Jika ada yang menonjol, jumlahnya amat sedikit, tapi di-blow-up oleh media digital.

Dalam dunia pendidikan, dalam hal ini universitas, cara merekonstruksi ini bukan pekerjaan mudah. Begitu banyak yang harus dipikirkan aspeknya. Misalnya, bagaimana skema dan governansi riset untuk pendalaman pengetahuan; bagaimana bentuk pelibatan bersama dunia bisnis, pemerintah dan masyarakat agar dapat ditentukan arah kemajuan yang diinginkan; bagaimana skema hybrid menyatukan kemampuan rekonstruksi tadi sekaligus mempertahankan identitas dan prinsip dunia akademis?

Jika pemerintah memang ingin menjadikan universitas sebagai garda depan menuju kesejahteraan, seperti di negara negara lain, maka governansi riset dalam universitas harus diperkuat. Ini lebih utama daripada melontarkan insan kampus keluar dalam jaringan lebih luas tapi kehilangan identitas institusionalnya. Apalagi sekarang ini terjadi banyak perubahan dalam masyarakat diakibatkan pandemi seperti perubahan institusi dan pengorganisasian dalam masyarakat, struktur sosial dan ekonomi, tata kelola dan manajemen publik baru, dan sebagainya.

Di tengah tantangan baru ini, persoalan lama belum terselesaikan terkait dukungan sumber daya riset dan skema riset bertujuan pendalaman. Pengetahuan yang dihasilkan banyak riset masih terfragmentasi, karena skema pendanaan dan seluruh tata kelola fungsi akademisi membuat amat sukar menghasilkan riset mendalam dan multidimensional.

Jika karena pandemi riset lalu banyak menggunakan sumber dan komunikasi digital, ini akan membawa banyak konsekuensi. Universitas harus mampu mempunyai fasilitas akses dan pengolahan data, selain buku dan referensi jurnal internasional. Lebih penting lagi adalah mengembangkan metodologi baru yang mengkombinasikan data digital dengan data kualitatif atau primer. Ini adalah bagian dari memperkuat governansi riset yang dibutuhkan.