Kabar dugaan korupsi di Universitas Lampung pada Agustus lalu sejatinya tidak mengejutkan. Pasalnya, kasus rasuah di perguruan tinggi sudah kerap terjadi. Selain itu, publik kerap mempertanyakan transparansi penerimaan mahasiswa melalui jalur mendiri.
Pasca-perkara tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memperbaiki proses penerimaan mahasiswa baru dengan harapan lebih objektif, adil, dan mempermudah siswa di dalam prosesnya. Meski langkah ini patut diapresiasi, persoalan yang dihadapi jauh lebih mendasar karena menyangkut transparansi di ranah perguruan tinggi.
Kasus korupsi yang terjadi di Unila hanya satu sampel dari sekian malfungsi manajemen pendidikan lantaran ketiadaan transparansi. Dari gambaran berbagai kasus, yang lebih patut dipersoalkan adalah minimnya bukti pengelola perguruan tinggi untuk menunjukkan rasa tanggung jawab kepada publik dalam bekerja secara transparan.
Untuk memperkuat argumen tersebut, kita perlu melihat lagi beberapa contoh penyimpangan di lingkup perguruan tinggi negeri (PTN).
Contoh pertama yaitu perubahan statuta Universitas Indonesia yang hanya berselang sekian bulan setelah rektor menjabat komisaris alias rangkap jabatan. Alih-alih mengakui kesalahan, keteledoran tersebut justru dibenarkan dengan memperbaiki statuta yang dilanggengkan oleh pemerintah pusat.
Contoh kedua yang tidak diketahui penyelesaiannya hingga saat ini yaitu kasus yang menimpa Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada 2020 terjadi kasus pemberian setoran berupa THR oleh UNJ kepada oknum Kementerian Pendidikan tanpa diketahui tujuan dan latar belakangnya.
Selain itu, ICW telah menghimpun data antara 2016 dan 2021 yang menunjukkan bahwa dari 20 kasus korupsi di lingkup perguruan tinggi, negara merugi Rp 789,9 miliar. Nilai tersebut paling besar dibandingkan dengan korupsi di dinas pendidikan atau sekolah, meski jumlah kasusnya lebih sedikit.
Peran Rektorat Melaksanakan Good Governance
Berbagai kasus dan data korupsi di atas harus diletakkan dalam konteks relasi pemerintah pusat yang semakin berjarak dari pengelolaan perguruan tinggi. Pemerintah pusat memang telah memberikan otonomi lebih luas kepada berbagai PTN dengan status badan layanan umum (BLU) atau PTN berbadan hukum (PTN BH).
Pemberian otonomi dilandasi kepercayaan bahwa universitas mampu mengatur tata kelola internal dengan baik. Namun ini tidak bisa menjadi alasan bagi pemerintah pusat untuk lepas tangan.
Sebab, pemerintah pusat memiliki instrumen untuk melakukan pengawasan ketat. Salah satunya adalah dengan skema sanksi yang lebih tegas melalui Standar Nasional Dikti (SN Dikti), sebagai turunan dari standar pendidikan nasional.
SN Dikti bisa menjadi instrumen yang lebih tegas dalam mendorong penerapan good governance secara internal maupun eksternal jika terdapat sanksi yang lebih berat dan menyeluruh. Hal ini untuk benar-benar memastikan bahwa rektorat amanah dalam melaksanakan good governance.
Di dalam pemahaman para pengelola universitas, terutama yang berstatus BLU dan PTN-BH, transparansi dan akuntabilitas sudah tercapai jika syarat formal lembaga -seperti pembentukan Satuan Pengawas Intern (SPI)- sudah dipenuhi. Padahal, SPI tidak efektif jika tidak disertai pengawasan eksternal yang bersumber dari pemangku kepentingan utama seperti mahasiswa, komunitas pengajar atau alumni dan asosiasi. Mekanisme kontrol justru lemah karena independensi tidak disertai akuntabilitas.
Selain itu, good governance di lingkup perguruan tinggi (good university governance) PTN-BH hingga hari ini tidak konsisten penerapannya. Contohnya antara lain dalam kebijakan rekrutmen SDM yang tidak sepenuhnya terbuka, ataupun hasil audit independen (baik keuangan maupun kinerja organisasi) yang tidak dibuka kepada publik sebagaimana dilakukan institusi privat ataupun publik.
Sampai sekarang PTN BH tidak menerbitkan laporan tahunan (annual report) sebagaimana harusnya kepada civitas akademia dan para pemangku utamanya. Berbagai laporan kinerja perguruan tinggi bersifat terbatas dan hanya diketahui oleh BPK, BAN PT ataupun pemerintah pusat.
Dari sisi demokratisasi di universitas, meski terdapat mekanisme pertanggungjawaban rektor terhadap pemangku utama di internal (Majelis Wali Amanat), representasi pemangkunya seringkali patut dipertanyakan. MWA kerap hanya diisi oleh aktor yang tidak mewakili sektor pendidikan dan hanya merepresantasikan sektor swasta atau dunia usaha.
Transparansi di Pendidikan Tinggi Tetap Menjadi Kunci
Sementara itu, di tengah ketidaksanggupan perguruan tinggi untuk membangun tata kelola yang baik, terbuka, dan profesional dalam mengelola keuangan, pemerintah pusat kukuh dengan rencana untuk mempercepat transformasi perguruan tinggi menjadi PTN BH. Asumsi yang dikepedankan yakni bahwa perluasan otonomi ini akan meningkatkan kualitas dan performa perguruan tinggi negeri.
Sembari itu, pemerintah pusat berkomitmen untuk terus mendanai PTN BH dalam bentuk pendanaan kompetitif, block grant, dan skema lainnya seperti dana abadi.
Akan tetapi, kasus korupsi di Universitas Lampung telah membuka mata kita akan rendahnya kapasitas dan komitmen berbagai perguruan tinggi untuk mampu bekerja dan bersikap secara transparan. Jika PTN seperti Unila yang sedang mengajukan diri menjadi PTN BH saja bisa sedemikian lengah dan membiarkan korupsi terjadi, bagaimana kondisinya dengan universitas lain yang sudah dan akan menjadi PTN BH?
Melihat kasus tersebut, pemerintah pusat kemungkinan besar telah memikirkan berbagai kemungkinan untuk memperbaiki kondisi yang ada. Tetapi langkah pertama yang diperlukan yaitu mengatasi minimnya transparansi di pendidikan tinggi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.