Konsistensi Kebijakan EBT, Kunci Keberhasilan Perdagangan Karbon

Katadata/Bintan Insani
Peneliti di Purnomo Yusgiantoro Center
Penulis: Felicia Grace dan Michael Suryaprawira
Editor: Dini Pramita
10/1/2024, 12.49 WIB

Perdagangan karbon merupakan salah satu strategi Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Melalui mekanisme ini, pelaku industri didorong untuk mengurangi emisi GRK pada aktivitas bisnisnya dan beralih ke sumber energi terbarukan dan berkelanjutan. 

Pada September 2023 lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan peraturan OJK No.14/2023 tentang perdagangan karbon. Bulan berikutnya, IDXCarbon atau bursa karbon Indonesia, diresmikan. Produk yang diperdagangkan dalam pasar karbon itu adalah kuota karbon atau Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) dan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK).

Dalam skema PTBAE-PU, perusahaan yang mengemisi melebihi batas yang ditetapkan, dapat membeli kredit karbon dari perusahaan yang mengemisi di bawah batas. Sedangkan dalam skema SPE-GRK, perusahaan yang mengemisi lebih banyak dapat membeli sertifikat pengurang emisi yang diterbitkan dari aktivitas atau proyek yang mengurangi emisi GRK.

Meski pemerintah berhasil meluncurkan bursa karbon, keberhasilan mekanisme perdagangan karbon di Indonesia akan bergantung pada kebijakan dan regulasi energi baru dan terbarukan (EBT) nasional. Tanpa kebijakan EBT yang jelas dan konsisten, perdagangan karbon hanya menjadi alat perdagangan emisi semata.

Update Regulasi EBT di Indonesia

Untuk mendukung pengembangan EBT, diperlukan kebijakan yang jelas, transparan dan konsisten. Namun, hingga saat ini belum ada regulasi komprehensif yang sepenuhnya mendukung pengembangan EBT dari sisi undang-undang. Indonesia memiliki Undang-Undang Energi Nomor 30/2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 79/2004 mengenai Kebijakan Energi Nasional, namun undang-undang tersebut tidak meregulasi lebih lanjut secara terperinci tentang pengembangan EBT.

Peraturan atau regulasi di level pemerintah dan menteri yang berlaku sering kali kurang memiliki kekuatan dan stabilitas hukum, kedalaman regulasi, serta koordinasi yang komprehensif dibanding undang-undang. Padahal, undang-undang dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum, mendorong investasi EBT, dan menciptakan kerangka kerja yang stabil untuk jangka panjang.

Apalagi Pemerintah Indonesia memiliki target bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada 2030. Namun capaiannya di tahun 2023 ini baru 12.5%, sehingga investasi di sektor EBT perlu didorong lebih masif. Sebaliknya, kebijakan energi terbarukan yang tidak jelas atau inkonsisten dapat mengurangi efektivitas mekanisme perdagangan karbon. 

Hingga saat ini, pembahasan mengenai Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) masih berlanjut antara pemerintah dan DPR. Masih terdapat empat poin usulan pemerintah yang harus diselesaikan, yang mana satu dari usulan tersebut adalah perdagangan karbon.

Implikasi Inkonsisten Regulasi terhadap Tujuan Perdagangan Karbon

Sejak diresmikan pada September 2023, aktivitas transaksi di bursa karbon masih minim. Hal ini karena kurangnya permintaan dari perusahaan sebagai pembeli di bursa. Permintaan yang rendah salah satunya karena saat ini perdagangan karbon masih bersifat ‘sukarela’ atau voluntary. Ke depan, ketika perdagangan karbon diberlakukan secara mandatori, kompetisi di pasar karbon akan sangat bergantung pada regulasi EBT di Indonesia. 

Kebijakan yang tidak konsisten dapat menyebabkan keraguan bagi para pelaku industri untuk berinvestasi untuk teknologi EBT. Pelaku industri pada akhirnya akan memilih untuk membeli kuota karbon atau membeli sertifikat pengurang emisi dan tetap menjalankan aktivitas industri seperti biasa (business as usual), daripada harus mengubah teknologi atau sumber bahan bakar mereka ke EBT. 

Bila hal ini terjadi, pelaku industri tidak berkontribusi secara langsung untuk mengurangi emisi GRK-nya, melainkan hanya mengkompensasinya dengan membayar aktivitas pengurangan emisi pihak lain. Dengan demikian, tujuan mendorong investasi EBT semakin sulit untuk tercapai.

Perdagangan karbon adalah satu dari banyak kebijakan iklim yang diterapkan untuk mengurangi emisi GRK. Namun demikian, kebijakan iklim perlu dirancang untuk sejalan dengan strategi transisi energi yang terkoordinasi dan komprehensif.

Integrasi Perdagangan Karbon dengan Kebijakan EBT

Untuk itu, beberapa rekomendasi berikut dapat menjadi masukan bagaimana perdagangan karbon dapat mendukung penetrasi EBT.

Pertama, segera menetapkan dasar hukum yang mendorong EBT. Sebelum pemerintah mewajibkan perdagangan karbon bagi seluruh entitas pengemisi, hal pertama yang perlu ditetapkan adalah UU EBET sebagai landasan hukum. UU EBET dapat menjadi landasan  terhadap hak, kewajiban, tarif, dan insentif yang terkait dengan investasi di sektor EBT. Dengan demikian dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif dan kepastian bagi investor.

Kedua, insentif kepada entitas yang mengurangi emisi GRK dengan EBT. Saat ini sudah ada mekanisme insentif pada perdagangan karbon yaitu penerbitan SPE-GRK yang dapat diperdagangkan kembali di pasar karbon. Namun, tidak semua sertifikat pengurang emisi berasal dari proyek EBT. Sebagai contoh, SPE-GRK dari PT PJB Muara Karang yang merupakan pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) combine cycle yang beroperasi dengan gas bumi. 

Untuk mendorong pembangunan infrastruktur EBT, pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang terhadap syarat dan kriteria sertifikasi, dengan memberikan prioritas kepada proyek-proyek EBT sebagai penerima SPE-GRK.

Ketiga, kebijakan realokasi pendapatan transaksi perdagangan karbon. Pemerintah perlu menetapkan kebijakan alokasi dana perdagangan karbon bagian pemerintah untuk pengembangan proyek EBT dan pengurangan emisi karbon, termasuk menunjuk otoritas yang akan ditugaskan. Sementara untuk pelaku industri, diperlukan skema pelaporan yang transparan kepada publik, sehingga publik dapat turut mengawal perdagangan karbon.

Tanpa adanya transparansi, sulit untuk mengevaluasi bagaimana keuntungan dari perdagangan karbon dialokasikan kembali ke proyek-proyek pengurangan emisi dan proyek EBT. Selain itu aspek pengawasan terhadap realokasi dana ini menjadi hal yang krusial.

Keterbukaan informasi ini penting untuk memastikan bahwa pasar karbon tidak menjadi alat pencucian hijau (greenwashing), namun sebagai mekanisme efektif untuk mendukung transisi menuju energi berkelanjutan.

Felicia Grace dan Michael Suryaprawira
Peneliti

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.