Tantangan Dekarbonisasi Industri Baja Nasional

Bakhrul Fikri
Oleh Bakhrul Fikri
5 Juni 2024, 13:46
Bakhrul Fikri
Katadata/Bintan Insani
Bakhrul Fikri, Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Industri baja merupakan tulang punggung perekonomian dengan kontribusi sebesar 41% terhadap total surplus neraca perdagangan tahun 2023. Selain itu industri baja juga mampu menyerap tenaga kerja yang terlibat langsung sebesar 100 ribu orang dan tenaga kerja tidak langsung sebanyak 350 ribu orang pada periode yang sama. Dalam beberapa tahun terakhir industri baja selain dituntut untuk mencatatkan pertumbuhan yang positif, juga perlu selaras dengan upaya menuju Net Zero Emission tahun 2060.

Mengutip data worldsteel, pada tahun 2023 capaian produksi baja Indonesia mencapai 16,8 juta ton dan kebutuhan konsumsi baja domestik mencapai 17,9 juta ton. Pada tahun 2024 proyeksi konsumsi baja nasional ditargetkan mencapai 18,3 juta ton. Hal ini didorong oleh meningkatnya pertumbuhan konsumsi baja global dari tahun ke tahun.

Namun perlu diperhatikan seiring bertambahnya kapasitas produksi baja, tentu emisi karbon yang dihasilkan dari industri baja juga akan meningkat. Dalam proyeksi sederhana, pertumbuhan permintaan dan produksi baja nasional dengan status quo saat ini, dengan tanpa adanya rencana dekarbonisasi, industri baja nasional akan menyumbang emisi karbon sebesar 24,9 juta ton pada tahun 2030.

Industri baja menjadi salah satu sektor utama penyumbang emisi gas rumah kaca secara global. Jika ditotal, emisi yang dihasilkan industri baja mencapai 7–9% atau setara dengan emisi yang dihasilkan negara India, yang masuk urutan ketiga penyumbang emisi gas rumah kaca dunia. Menurut World Steel Association, setiap ton baja yang diproduksi menghasilkan emisi sebanyak 1,8-2,3 ton CO2 atau dua kali lipat volume barang jadi.

IEA (International Energy Agency) sebelumnya merilis peta jalan dekarbonisasi baja dengan target penurunan emisi karbon di sektor industri baja pada tahun 2030, yang mencapai 24-37% dari proses produksi. Selain itu, perlu percepatan untuk mencapai penurunan emisi 49% dari dampak tidak langsung yang berasal dari penggunaan listrik dalam proses produksi.

Tantangan Dekarbonisasi Baja

Standar dalam proses produksi baja primer masih bergantung pada teknologi BF-BOF atau blast furnace-basic oxygen furnace dengan proses pembakaran menggunakan batu bara. Hal ini yang menyebabkan volume pemakaian batu bara terbesar salah satunya berasal dari industri baja. Artinya, industri baja memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap batu bara.

Global Energy Monitor (GEM) memperkirakan 57% produksi baja di seluruh dunia masih berbasis BF-BOF dan 43% sudah menggunakan teknologi EAF (Electric Arc Furnace). Perbandingan emisi yang dikeluarkan dari teknologi BF-BOF sekitar 86% dan EAF 15%.

Teknologi EAF biasanya digunakan untuk produksi baja sekunder dengan metode daur ulang scrap atau limbah produk besi dan baja. Sedangkan teknologi BF-BOF untuk proses produksi baja primer masih memakai bahan mentah primer dari bijih besi.

Sementara itu, tren permintaan baja dunia ke depan mengarah pada baja rendah karbon (green steel). Data menunjukkan sepanjang Juni 2022 hingga Oktober 2023 permintaan baja rendah karbon di sektor otomotif tumbuh sebesar 12% terhadap permintaan global.

Diperkirakan permintaan akan terus tumbuh mencapai 47% di tahun 2030, seiring dengan upaya para pemain utama otomotif dan produsen baja di negara-negara maju untuk meningkatkan kredibilitas perusahaan dalam mencapai target rendah karbon. Hal ini juga berlaku pada sektor properti dan infrastruktur yang merupakan konsumen terbesar produk baja. Pada tahun 2024, sektor ini diperkirakan memiliki permintaan sebesar 518 juta ton atau sekitar 57% dari total permintaan baja global.

Antara EAF dan CCS

Terdapat beberapa strategi untuk mendukung peta jalan dekarbonisasi baja terutama melalui inovasi teknologi rendah emisi atau bahkan netral emisi karbon. Beberapa industri baja melakukan investasi teknologi CCS/CCUS (carbon capture storage/carbon capture utilization storage).

Teknologi ini berbentuk alat pendukung untuk memerangkap emisi karbon yang dikeluarkan dari proses pembakaran. Namun sayangnya teknologi ini tidak dapat 100% menangkap emisi karbon yang dikeluarkan dan memiliki biaya sangat tinggi.

Kita daoat berkaca pada kasus pemanfaatan teknologi CCS Petra Nova di Amerika Serikat. Semenjak beroperasi dari tahun 2017 sampai kemudian ditutup pada tahun 2020, CCS ini digadang-gadang mampu menangkap 4,2 juta metrik ton CO2 dari hasil pembakaran salah satu boiler pembangkit listrik tenaga batu bara di Thompsons, Texas.

Tetapi realisasinya hanya mampu menangkap 3,54 juta metrik ton CO2, ditambah turbin gas yang digunakan untuk keperluan daya CCS justru menghasilkan 1,1 juta metrik ton CO2. Diperkirakan kerugian investor dalam proyek ini mencapai US$ 23 juta sehingga proyek dihentikan.

Opsi berikutnya adalah teknologi EAF yang langsung menyasar pada tahapan produksi baja, tetapi daya listriknya masih ditopang oleh pembangkit listrik tenaga batu bara. Dengan kata lain, walaupun pada proses produksi menghasilkan rendah emisi, tetapi dalam proses operasi teknologinya masih menimbulkan jejak emisi karbon yang tinggi.

Selanjutnya adalah teknologi yang memanfaatkan hidrogen hijau (green hydrogen). Teknologi ini dapat menjadi solusi ideal karena jenis hidrogen ini proses ekstraksinya netral karbon melalui elektrolisis air. Akan tetapi sama halnya dengan teknologi EAF, energi listrik yang digunakan untuk menghasilkan elektrolisis tersebut juga harus menggunakan energi terbarukan agar dapat dioptimalkan.

Di Indonesia teknologi EAF sudah mulai diadopsi oleh perusahaan BUMN yaitu PT. Krakatau Steel dalam fasilitas produksi baja terintegrasinya. Meskipun lebih baik, masih terdapat ruang untuk menuju pada EAF yang berasal dari listrik energi terbarukan.

Sebagai contoh SSAB, perusahaan baja terbesar asal Skandinavia, berhasil menerapkan teknologi green hydrogen yang diberi nama HYBRIT dalam produksi baja. Teknologi ini memanfaatkan hidrogen sebagai pengganti batu bara kokas dan gas alam dalam proses iron ore reduction. Sebagai gantinya by-product yang dihasilkan bukan lagi CO2 tetapi air.

Perusahaan lain seperti H2 Green Steel juga sudah membuktikan penggunaan green hydrogen yang dapat mereduksi emisi karbon hingga 90% dalam proses produksi baja. Bahkan perusahaan ini menargetkan mampu menghasilkan 5 juta ton baja hijau per tahun pada 2030. Walaupun belum dapat memenuhi kebutuhan permintaan baja global, capaian H2 Green Steel dan SSAB mampu melahirkan kontrak penjualan dengan perusahaan raksasa otomotif seperti Volvo, Porsche, Mercedez-Benz, Scania dan Purmo.

Industri baja nasional perlu segera melakukan pengembangan teknologi green hydrogen. Tentu hambatan utama dalam pengembangan teknologi ini adalah pembiayaan yang besar karena keperluan penggantian peralatan yang sebelumnya. Oleh karena itu urgensi peta jalan dekarbonisasi industri baja nasional sangat dibutuhkan.

Peta jalan dekarbonisasi industri baja sebaiknya memuat penentuan target penurunan emisi karbon dalam proses produksi baja jangka menengah hingga jangka panjang dengan nol emisi karbon. Selain itu, perlu terdapat tahapan penggunaan teknologi rendah emisi karbon yang harus digunakan oleh para pelaku industri, serta peran pemerintah untuk mendorong investasi hijau pada sektor industri baja.

Sektor keuangan juga memiliki peranan penting untuk mewujudkan industri baja rendah karbon. Terutama sektor perbankan domestik yang diharapkan mampu membantu mendorong kredit murah untuk transisi industri baja ke arah green steel. Dari sisi pemasok listrik, PLN disarankan memasok listrik ke industri baja dengan bauran energi terbarukan yang lebih besar untuk memaksimalkan teknologi EAF karena membutuhkan daya listrik yang besar.

 

Bakhrul Fikri
Bakhrul Fikri
Editor: Dini Pramita

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...