Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas saat ini tengah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 guna mendukung pelaksanaan Visi Indonesia Emas 2045, yaitu mewujudkan Indonesia sebagai "Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan". Cita-cita besar ini sekaligus menandai 100 tahun berdirinya Indonesia sebagai negara merdeka.
Dalam visi Indonesia Emas 2045 ada delapan agenda transformasi atau misi yang akan dicapai. Dari delapan agenda tersebut, agenda pertama adalah mewujudkan transformasi sosial yaitu meningkatkan kualitas kehidupan manusia pada seluruh siklus kehidupan dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, adil dan kohesif. Misi pertama ini berkaitan erat dengan pembangunan sumber daya manusia atau penduduk Indonesia.
Penduduk Indonesia diperkirakan sebanyak 278,69 juta jiwa (BPS, 2023) dan diproyeksikan akan meningkat 1,15 lipat menjadi lebih dari 320 juta jiwa pada saat mencapai Indonesia Emas 2045. Saat ini Indonesia menjadi negara ke-4 dengan jumlah penduduk terbesar di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia telah mengalami bonus demografi sejak tahun 2015 dengan angka ketergantungan (dependency ratio) sebesar 48,6% dan periode puncaknya diperkirakan terjadi pada periode 2020-2035 dengan angka dependency ratio sebesar 45,5&. Dengan jumlah penduduk yang besar saat ini dan transisi bonus demografi yang tengah dialami, dimana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari penduduk usia non-produktif, Indonesia berpeluang besar untuk menjadi negara maju berpendapatan tinggi.
Momentum mengoptimalkan bonus demografi dalam 21 tahun ke depan menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana penduduk usia produktif ini menjemput Indonesia Emas 2045?
Postur SDM dan Ketenagakerjaan Indonesia
Faktor utama penentu keberhasilan memanfaatkan momentum bonus demografi ada pada kualitas sumber daya manusia (SDM). Indonesia harus mempersiapkan SDM berkualitas sebagai sumber tenaga kerja bagi pertumbuhan ekonomi. Pencapaian kualitas SDM ini dapat dilihat melalui angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks yang menggambarkan derajat kualitas pendidikan, kesehatan dan hidup masyarakat.
Dalam lima tahun terakhir, angka IPM Indonesia terus meningkat. IPM Indonesia tahun 2023 mencapai 74,39 dari 71,39 pada tahun 2018. Angka IPM ini tergolong sebagai status tinggi. Di level ASEAN, angka IPM Indonesia menduduki peringkat ke-6, lebih baik dari 5 negara ASEAN lainnya yaitu Filipina, Laos, Myanmar, Kamboja dan Timor Leste. Tetapi IPM Indonesia yang berstatus tinggi ini masih kalah dari Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Pada level yang lain, meskipun mengalami peningkatan secara nasional dan bersatus tinggi, masih terdapat deviasi yang lebar antara angka IPM level nasional dengan IPM di level provinsi, terlebih bila membandingkan dengan posisi yang terendah (Papua: 62,25) dan tertinggi (DKI Jakarta: 82,46). Keadaan ini menggambarkan ketimpangan kualitas SDM pada berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan gambaran sebaran IPM, kesenjangan IPM masih menjadi PR bagi Indonesia di masa akan datang.
Selain Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Bank Dunia juga menyusun Human Capital Index (HCI) yang diperkenalkan pada tahun 2018. HCI adalah indeks yang menggambarkan kualitas kondisi kesehatan dan pendidikan dari generasi anak saat ini untuk dapat mendukung produktivitas masa yang akan datang.
Capaian HCI ini berpengaruh terhadap produktivitas anak saat dewasa. HCI Indonesia tahun 2020 sebesar 0,54, menempati posisi 96 dari 174 negara dan menempati posisi ke-6 di ASEAN (World Bank, 2020). Angka HCI sebesar 0,54 dapat dimaknai bahwa produktivitas dari setiap anak yang lahir mencapai 54% dari kapasitas idealnya.
Jumlah penduduk usia produktif yang besar dan berkualitas serta berperan sebagai tenaga kerja dan pelaku ekonomi menjadi syarat agar peluang momentum bonus demografi tidak lewat begitu saja. Tetapi bila melihat profil ketenagkerjaan di Indonesia Agustus 2023, ada sekitar 35,78% angkatan kerja Indonesia dengan pendidikan tamat SD dan tidak tamat SD.
Kelompok ini menduduki peringkat pertama sumber tenaga kerja Indonesia yang kemudian diikuti dengan tamatan SMA/SMK sebanyak 33,82%. Sedangkan kelompok berikutnya adalah tamatan SMP (17,67%), tamatan D1/D2/D3/Akademi (2,42%), dan tamatan S1/S2/S3 (10,31%).
Dalam hal tingkat penyelesaian pendidikan menurut jenjang pendidikan, tingkat penyelesaian pendidikan terbanyak ada di jenjang SD yaitu 97,83%, diikuti jenjang SMP (90,44%), dan jenjang SMA/ Sederajat (66,79%). Profil penyelesaian pendidikan menurut jenjang pendidikan ini bisa menjelaskan mengapa tenaga kerja Indonesia masih didominasi tamat SD dan tidak tamat SD.
Dinamika Sektor Informal dan Kompleksitas Pengangguran di Indonesia
Saat ini ada lebih dari 139,85 juta jiwa penduduk Indonesia yang bekerja (BPS, Agustus 2023). Dari total jumlah penduduk yang bekerja tersebut, terdapat 40,89% yang bekerja di sektor formal dan sisanya 59,11% bekerja di sektor informal. Proporsi penduduk yang bekerja di sektor formal ini terus mengalami penurunan sejak 2019 (44,27%), tetapi sebaliknya bagi pekerja sektor informal yaitu terus mengalami peningkatan sejak 2019 (55,73%).
Sektor informal merupakan sektor penyelamat bagi masyarakat sebagai sumber pencaharian hidup. Sektor informal berperan sebagai jaring pengaman ekonomi terutama saat kondisi ekonomi sedang kurang baik, semisal pada saat krisis ekonomi 1998 atau semasa pandemi COVID-19.
Tetapi dalam jangka panjang sektor informal terbatas dalam pembentukan tabungan dan investasi nasional, sehingga potensi peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja baru yang lebih luas menjadi terbatas.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia per Agustus 2023 sebesar 5,32% atau setara dengan 7,86 juta orang yang menganggur. Menurut jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan, TPT tamatan SMK (9,31%) dan SMA (8,15%) adalah kelompok penyumbang pengangguran terbuka terbanyak di Indonesia, bahkan lebih tinggi dari angka TPT nasional.
Persoalan ketidaksesuaian keterampilan dan kualitas pendidikan, informasi dan akses pasar kerja yang lemah, ekpektasi upah dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai bagi pencari kerja tamatan SMA/SMK serta faktor sosial budaya adalah beberapa penyebab tingginya pengangguran terbuka di kelompok ini.
Tren Distribusi Penduduk Indonesia
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia, banyaknya jumlah penduduk menjadi tantangan terutama berkaitan dengan upaya distribusi sebarannya di masa depan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Distribusi penduduk Indonesia pada 10 tahun terakhir masih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa (56,10%), diikuti dengan Pulau Sumatera (21,67%) dan Pulau Sulawesi (7,36%).
Sisanya tersebar di Pulau Kalimatan, Bali-Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Meskipun demikian, ada tren pergeseran distribusi penduduk di beberapa pulau besar di Indonesia.
Distribusi penduduk Pulau Jawa terhadap keseluruhan penduduk Indonesia terus berkurang. Sedangkan di Pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimatan, Bali-Nusra, Maluku dan Papua distribusinya terus meningkat. Pergeseran ini menjadi salah satu indikasi mulai berkurangnya migrasi ke Pulau Jawa.
Ketidakmerataan sebaran penduduk di berbagai pulau di Indonesia, ditunjukkan pula dengan komposisi distribusinya dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) menurut pulau. Pulau Jawa dan Sumatera masih merupakan dua pulau penyumbang terbesar pembentukan PDB (80,11%).
Pada sisi lain, fakta mengenai distribusi penduduk Pulau Jawa yang terus berkurang, ternyata justru berkebalikan dengan kontribusinya dalam pembentukan PDB menurut pulau. Pulau Jawa masih dominan kontribusinya dalam pembentukan PDB.
Meskipun Pulau Jawa berkontribusi besar dalam pembentukan PDB menurut pulau, tetapi hal ini tidak diikuti dengan penurunan tingkat pengangguran terbuka. Sepuluh provinsi penyumbang pengangguran terbuka tertinggi di Indonesia, empat provinsi diantaranya ada di Pulau Jawa yaitu Banten, Jawa Barat, Jakarta dan Jawa Tengah (BPS, Agustus 2023).
Belajar dari Mereka yang Berhasil dan yang Gagal
Beberapa negara di dunia ada yang telah berhasil memanfaatkan momentum bonus demografi sehingga bertumbuh menjadi negara maju dan berpendapatan tinggi, tetapi adapula yang gagal. Di antara mereka yang berhasil adalah Jepang (1950-1980), Korea Selatan (1960-1990) dan Singapura (1970-2000).
Tiga negara di Asia ini telah berhasil memanfaatkan bonus demografinya melalui fokus pada investasi bidang pendidikan dan kesehatan serta peningkatan dan pengembangan pelatihan sumber daya manusia. Selain itu juga investasi yang masif yang dilakukan di bidang infrastruktur dan teknologi telah menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat dan penciptaan lapangan kerja baru yang memadai bagi penduduk usia produktif yang bertambah pada tiga negara tersebut.
Negara lainnya, di antaranya yaitu Brasil (1980-2000) dan Afrika Selatan (1990-2010) adalah contoh baik mengapa suatu negara gagal memanfaatkan momentum bonus demografi. Dua negara ini telah kehilangan momentum memanfaatkan bonus demografinya disebabkan oleh angka penganggurannya yang tinggi serta minimnya investasi di bidang pendidikan dan infrastruktur sehingga penduduk usia produktifnya tidak bisa memiliki keterampilan dan kesempatan kerja yang layak.
Persoalan angka kemiskinan yang tinggi, ketimpangan distribusi pendapatan yang lebar, kriminalitas dan korupsi, juga telah menjadi persoalan struktural yang ikut menghambat penciptaan sumber daya manusia berkualitas dan pertumbuhan ekonomi yang cukup untuk menyediakan kesempatan kerja bagi penduduk usia produktifnya yang meningkat.
Bagi Indonesia, pengalaman negara-negara yang berhasil maupun gagal, adalah pelajaran terbaik bagaimana Indonesia bisa menjemput momentum bonus demografinya menuju Indonesia Emas 2045. Pentingnya meningkatkan investasi dalam bidang pendidikan dan kesehatan, meningkatkan dan memperluas partisipasi kerja khususnya di sektor formal, kontrol terhadap angka pertumbuhan penduduk dan antisipasi penuaan populasi, serta upaya pemerataan persebaran penduduk adalah beberapa hal strategis yang perlu direncanakan dan dieksekusi secara kritis dari sekarang ini.
Bonus demografi adalah peluang besar bagi Indonesia untuk bisa naik kelas. Namun demikian bonus ini tidaklah datang dengan sendirinya dan menjamin Indonesia menjadi lebih sejahtera, bilamana limpahan SDM usia produktif ini menjadi "beban demografi" di masa datang sebab gagal dalam mengelola dan mempersiapkannya. Semoga tidak.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.