Masa-masa sulit melahirkan kebijakan yang baik. Itulah harapan kita terhadap Pemerintah Prabowo Subianto yang akan menentukan arah transisi energi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Beragam tantangan berat menanti pemerintahan baru ini.
Pertama, tekanan fiskal pada tahun 2025 berhadapan dengan kebutuhan anggaran yang besar untuk mewujudkan janji kampanye seperti makan bergizi gratis dan pertumbuhan ekonomi delapan persen. Pemerintah Prabowo, misalnya, harus mengalokasikan Rp 1.353 triliun atau sekitar 37 persen total belanja negara untuk pembayaran pokok dan bunga utang di tahun 2025.
Tantangan kedua adalah menurunnya pendapatan riil dan banyaknya pemutusan hubungan kerja yang telah menurunkan kualitas hidup kelas menengah. Lebih dari itu, hal tersebut bakal mengganggu konsumsi yang selama beberapa tahun terakhir menjadi penopang perekonomian. Pemerintah Prabowo pun akan kesulitan menaikkan tarif atau menerapkan pajak baru bagi kelas menengah, termasuk kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Ketiga, ancaman inflasi, terutama dari inflasi bahan bakar fosil (fossilflation) dan inflasi iklim (climateflation). Fossilflation akan terus menghantui Indonesia dalam bentuk kenaikan dan volatilitas harga bahan bakar fosil di pasar internasional. Pengalaman subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang sangat besar untuk menekan inflasi merupakan contoh nyata.
Adapun inflasi iklim merupakan inflasi yang disebabkan krisis iklim, misalnya kenaikan harga pangan dan ongkos air bersih. Krisis iklim menyebabkan kenaikan harga beras seperti yang pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo. Masyarakat juga harus membeli air bersih karena krisis iklim mengurangi ketersediaan air secara global.
Secara singkat, inflasi energi fosil dan inflasi iklim merupakan inflasi yang disebabkan oleh ekonomi-politik global tetapi berdampak langsung kepada warga pesisir dan pegunungan, penghuni gang sempit di kota-kota dan semua tanpa kecuali.
Faktor keempat, adalah transisi energi yang mandek dalam lima tahun terakhir. Dari target 23 persen, saat ini bauran energi terbarukan hanya 13-14 persen. Di sektor kelistrikan, misalnya, sekitar 58 persen energi masih berasal dari batu bara. Pemerintah Prabowo, dengan demikian, mewarisi pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo yang jauh dari tuntas.
Tersedianya Solusi Konkret
Dengan berbagai tantangan tersebut, Pemerintah Prabowo memiliki ruang terbatas untuk mempercepat transisi energi. Namun terdapat beberapa solusi konkret yang bisa dilaksanakan dengan komitmen politik yang kuat.
Hal pertama adalah menerapkan pajak produksi (production tax) batu bara. Pajak produksi merupakan istilah akademik. Secara praktis agar bisa dilaksanakan dengan cepat, kebijakan ini bisa diterapkan dalam bentuk peningkatan royalti batu bara. Dengan skenario moderat, Prabowo harus menerapkan pajak produksi 30 persen atau kenaikan royalti 30 persen. Kebijakan ini dapat menjawab beberapa tantangan.
Pertama, kebijakan pajak produksi akan melonggarkan tekanan fiskal secara signifikan. Dengan skenario harga batu bara per metrik ton sebesar US$ 120 dan produksi 400 juta ton, pemerintah bisa mendapatkan tambahan penerimaan sebesar US$ 14,5 atau setara Rp 225 triliun per tahun. Ini hampir 10 persen dari penerimaan pajak di dalam RAPBN 2025 sebesar Rp 2.490 triliun.
Diperlukan penghitungan yang lebih rinci -misalnya terkait penerapan tarif secara progresif seiring kenaikan harga- namun angka tersebut memberikan gambaran tambahan pendapatan negara dalam kondisi “normal”.
Pemerintah Prabowo akan memiliki penerimaan tambahan untuk membiayai beberapa program unggulan dan pengembangan energi terbarukan. Dari sisi keadilan, pemerintah tidak perlu mengejar lagi kelas menengah yang sedang tertekan dengan menaikkan tarif PPN dan berbagai pungutan yang sangat memberatkan. Kebijakan ini juga prinsipnya menarik kembali keuntungan berlebih (super normal profit) yang selama ini diperoleh sekelompok kecil pengusaha dari sektor ekstraktif.
Selanjutnya, kebijakan yang juga merupakan disinsentif ini akan menggeser alokasi sumber daya dari sektor pencemar seperti batu bara ke sektor energi bersih dan terbarukan. Dengan super normal profit dari sektor batu bara, pengusaha dan investor enggan beralih ke energi terbarukan. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, kebijakan pajak produksi akan berkontribusi dalam mengatasi inflasi iklim dan inflasi bahan bakar fosil serta mempercepat transisi energi.
Kebijakan kedua adalah Pemerintah Prabowo harus memberikan dukungan penuh pada investasi untuk pengembangan energi terbarukan, baik penelitian, dan pengembangan, industri manufaktur, maupun pembangkit energi terbarukan yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang berarti. Kebijakan praktis yang harus segera ditempuh adalah mendorong investasi pusat data yang menggunakan energi terbarukan, penggunaan panel surya atap secara masif, dan pengembangan energi terbarukan oleh komunitas.
Hal ketiga adalah diplomasi Indonesia di forum internasional untuk mendorong penerapan “polluter pays principle”. Di sini, Indonesia harus memimpin negara-negara selatan untuk menuntut tanggung jawab negara-negara maju membiayai adaptasi serta kerugian dan kerusakan yang disebabkan krisis iklim.
Terakhir, Pemerintah Prabowo hanya bisa mewujudkan kebijakan kunci di atas dalam -mengutip Acemoglu dan Robinson (2019)- interaksi negara dan masyarakat yang sama-sama kuat. Dengan kata lain, Prabowo Subianto harus membuktikan komitmennya untuk menyehatkan ruang demokrasi di Indonesia.
Tiga hal kunci yang yang harus menjadi prinsip dalam mengelola kebijakan adalah kesejahteraan, keadilan, dan kelestarian lingkungan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.