Pembentukan kabinet Prabowo yang banyak ditunggu tidak hanya membawa harapan baru bagi masa depan politik Indonesia, tetapi juga menghadirkan tantangan berat dalam menegakkan integritas di tengah krisis sosial yang semakin kompleks. Di tengah ekspektasi publik akan pembaruan, kabinet Prabowo dihadapkan pada ujian besar, mampukah ia menyeimbangkan kepentingan politik dan kebutuhan rakyat yang semakin mendesak, atau akan terjebak dalam politik transaksional dan oligarki yang telah lama membayangi sistem pemerintahan Indonesia
Integritas, dalam konteks pemerintahan, bukan hanya soal kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga tentang keselarasan antara ucapan dan tindakan, serta keberanian untuk menegakkan prinsip moral di tengah godaan kekuasaan. Menurut filsuf Immanuel Kant, integritas adalah fondasi moral yang harus dipertahankan oleh setiap individu, termasuk para pemimpin. Kant berpendapat bahwa manusia harus bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral yang universal, bukan berdasarkan kepentingan pribadi atau keuntungan sesaat. Dalam konteks kabinet Prabowo, prinsip ini berarti bahwa setiap keputusan dan kebijakan harus didasarkan pada nilai-nilai moral yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, bukan hanya demi memperkuat kekuasaan atau memuaskan para elite politik.
Namun, realitas politik sering kali menuntut kompromi yang sulit. Niccolò Machiavelli, dalam karyanya The Prince, mengakui bahwa politik adalah arena di mana moralitas kadang terdistorsi oleh kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan. Machiavelli berpendapat bahwa seorang pemimpin harus pragmatis dan bersedia menggunakan cara apa pun—termasuk manipulasi dan tipu daya—untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam konteks kabinet Prabowo, ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Prabowo akan mempertahankan integritas moral dalam menghadapi tekanan politik, ataukah ia akan mengikuti jalan pragmatis Machiavelli demi stabilitas kekuasaannya?.
Krisis Sosial dan Tuntutan Rakyat
Krisis sosial di Indonesia, seperti meningkatnya ketimpangan ekonomi, pengangguran, dan kerusakan lingkungan, demokrasi dan pers dalam tekanan telah menciptakan rasa frustrasi yang meluas di kalangan masyarakat. Harapan besar yang dibebankan kepada kabinet Prabowo adalah kemampuannya untuk merespons krisis ini dengan kebijakan yang adil dan merata. Namun, sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa kabinet-kabinet sebelumnya sering kali gagal menghadirkan perubahan signifikan karena terjebak dalam pusaran politik oligarki, di mana kebijakan sering kali ditentukan oleh kepentingan segelintir elite.
John Rawls (1921-2002), seorang filsuf politik Amerika, dalam teorinya tentang Justice as Fairness, menekankan pentingnya kebijakan yang memastikan distribusi keadilan sosial yang merata. Menurut Rawls, suatu masyarakat yang adil adalah masyarakat yang memastikan bahwa kesenjangan sosial-ekonomi yang ada tidak mengorbankan mereka yang berada di posisi paling lemah. Dalam konteks kabinet Prabowo, ini berarti kebijakan yang dihasilkan harus fokus pada pengurangan kesenjangan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan akses yang adil terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.
Namun, mencapai hal ini di tengah krisis sosial membutuhkan lebih dari sekadar retorika politik. Prabowo dan kabinetnya dihadapkan pada kebutuhan untuk mendobrak kebiasaan lama, di mana kekuasaan sering kali digunakan untuk memperkaya elite, sementara rakyat dibiarkan menghadapi krisis sosial tanpa perlindungan yang memadai.
Jika kabinet Prabowo ingin membuktikan bahwa mereka berbeda, kebijakan pro-rakyat harus menjadi prioritas utama, bukan hanya slogan kosong. Reformasi kebijakan sosial, penciptaan lapangan kerja, peningkatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan harus menjadi fokus utama dalam menjawab tantangan krisis sosial ini.
Politik Oligarki: Tantangan Besar Bagi Integritas
Indonesia telah lama berada di bawah bayang-bayang politik oligarki, di mana segelintir kelompok berkuasa memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan negara. Prabowo sendiri tidak bisa dilepaskan dari jaringan politik elite ini. Di satu sisi, ia diharapkan dapat menjadi sosok yang mampu memecah dominasi oligarki; di sisi lain, hubungannya dengan berbagai kelompok kekuasaan menimbulkan kekhawatiran bahwa kabinetnya mungkin hanya melanjutkan pola-pola lama.
Filsuf Antonio Gramsci (1891-1937), melalui konsep hegemoni, menjelaskan bagaimana kelompok dominan di masyarakat menggunakan berbagai cara, termasuk politik, ekonomi, dan budaya, untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Gramsci berpendapat bahwa perubahan sejati hanya dapat terjadi jika hegemoni ini dilawan dengan pembentukan counter-hegemony—yakni kekuatan sosial yang menantang kekuasaan elite. Dalam konteks Indonesia, kabinet Prabowo harus memutuskan apakah mereka akan menantang hegemoni oligarki ini atau justru berkolaborasi dengan mereka demi mempertahankan stabilitas politik.
Jika kabinet ini tidak mampu melawan kekuatan oligarki, maka upaya reformasi sosial dan hukum yang dijanjikan Prabowo bisa jadi hanya akan menjadi wacana kosong. Akibatnya, integritas politik yang diharapkan publik akan pudar, dan kabinet ini akan dikenang sebagai bagian dari masalah, bukan solusinya.
Salah satu ujian integritas terbesar bagi kabinet Prabowo adalah reformasi hukum. Sistem hukum Indonesia masih diwarnai oleh korupsi, inefisiensi, dan ketidakadilan. Banyak kasus besar, terutama yang melibatkan elite politik dan bisnis, tampaknya hilang tanpa penyelesaian yang jelas. Masyarakat telah lama menunggu pemimpin yang berani mereformasi institusi hukum demi keadilan yang merata.
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dalam The Social Contract, menyatakan bahwa hukum seharusnya menjadi ekspresi dari volonté générale atau kehendak umum, yang merefleksikan kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir orang. Rousseau berpendapat bahwa hukum yang adil adalah hukum yang dibuat untuk melayani kepentingan publik secara keseluruhan. Jika kabinet Prabowo ingin memperbaiki sistem hukum, maka langkah pertama adalah memastikan bahwa institusi hukum beroperasi secara independen dan tidak tunduk pada tekanan politik maupun ekonomi dari kelompok-kelompok tertentu.
Namun, tantangan ini tidak mudah. Pengaruh oligarki, korupsi struktural, dan lemahnya sistem penegakan hukum merupakan hambatan besar yang harus dihadapi Prabowo dan kabinetnya. Tanpa komitmen yang kuat untuk menegakkan integritas hukum, reformasi hukum yang diinginkan hanya akan menjadi wacana tanpa tindakan nyata.
Kabinet Prabowo berada di persimpangan penting dalam sejarah politik Indonesia. Di satu sisi, ada harapan besar bahwa Prabowo akan membawa perubahan yang nyata, terutama dalam hal penegakan hukum dan keadilan sosial. Di sisi lain, ada keraguan mendalam bahwa kabinet ini mungkin hanya melanjutkan pola lama politik transaksional dan kekuasaan oligarki.
Pilihan yang diambil Prabowo dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi penentu apakah kabinet ini akan dikenang sebagai kabinet reformasi atau justru kabinet kompromi. Ujian integritas di tengah krisis sosial ini bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang prinsip moral yang mendasari setiap keputusan. Seperti yang diajarkan oleh Kant, seorang pemimpin sejati adalah yang bertindak sesuai dengan prinsip moral yang universal, bukan hanya demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Prabowo dan kabinetnya harus membuktikan bahwa mereka tidak hanya bisa memegang kendali kekuasaan, tetapi juga mampu menegakkan keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.