Revisi UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 26 Maret 2025 masih menuai penolakan masyarakat sipil. Tak hanya lewat demonstrasi, penolakan juga dilakukan melalui uji formil dan materiil di Mahkamah Konstitusi. Revisi UU TNI dinilai sebagai upaya untuk melemahkan supremasi sipil.
Tim Advokasi untuk reformasi Sektor Keamanan, salah satu pemohon uji materiil, telah mengirimkan kesimpulan kepada MK. Dalam kesimpulannya, Tim Advokasi memberikan dukungan kepada MK agar tetap independen dan tegas dalam membuat keputusan.
Persidangan MK tidak dapat dilihat hanya sebagai mekanisme untuk menguji aspek formil dan materiil secara normatif. Ada semangat memperjuangkan supremasi sipil sebagai salah satu prinsip utama negara demokrasi untuk memastikan kontrol sipil obyektif atas militer (objective civilian control).
Persoalannya, proses penyusunan revisi UU tersebut dilakukan dengan cara melecehkan supremasi konstitusi dan hukum sebagai bingkai kedaulatan rakyat. Proses penyusunannya yang dilakukan secara tertutup berpotensi, seperti yang dikatakan Michael C. Desch (1999), akan menciptakan ketegangan atau memperburuk hubungan sipil-militer.
Ketegangan ini, terutama karena proses penyusunannya yang tidak melibatkan partisipasi publik. Padahal, UU 13 Tahun 2022 menyebutkan asas keterbukaan atau transparansi bagian yang tidak terpisahkan dalam penyusunan undang-undang.
Pemerintah dan DPR justru tidak mempublikasikan dokumen penyusunan yang diakui oleh legislator Dave Laksono untuk menghindari perdebatan. Fakta ini menunjukkan dokumen-dokumen tersebut memang sengaja disembunyikan.
Menurut Bivitri Susanti (2025), keterbukaan pembentukan peraturan-perundang merupakan salah-satu prasyarat penting dalam partisipasi. Menurutnya, siapapun yang ingin berpartisipasi pasti membutuhkan naskah RUU dan naskah akademik, agar dapat memberi masukan dan kritik dengan baik.
Bahkan hingga disetujui DPR pada 20 Maret 2025, publik tidak dapat mengakses RUU TNI yang final. Di sini menunjukkan, pemerintah dan DPR melanggar prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat dalam proses penyusunan perundang-undangan, sebagaimana Putusan MK Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan.
Klaim Wakil ketua DPR RI Sufmi Dasco yang menyatakan bahwa DPR sudah mencapai titik temu dengan koalisi masyarakat sipil mengenai RUU TNI pada 18 Maret 2025, tidak benar. Ini karena kedatangan masyarakat sipil tersebut untuk menyampaikan penolakannya. Apalagi, undangan baru disampaikan pada hari yang sama dengan pelaksanaan audiensi, dilakukan secara tertutup, dan masyarakat sipil tidak memperoleh dokumen resmi draft UU TNI.
Proses tersebut menunjukkan bentuk pelibatan palsu dan memperlakukan masyarakat sebagai objek bukan subjek, sehingga tidak ada partisipasi aktif yang diselenggarakan secara deliberatif. Kehadiran masyarakat sipil juga tidak mengubah keputusan, karena dua hari kemudian UU TNI disetujui oleh DPR tanpa ada perubahan dalam materi bermasalah.
Karena itu partisipasi dalam pembentukan UU TNI, jika mengacu pada perspektif Arnstein (1969) tentang “ladder of citizen participation” berada pada tangga manipulation dan therapy. Alhasil, dapat disimpulkan “pelibatan” masyarakat sipil tersebut sebagai non-participation. Lebih jauh, ini merupakan bentuk nyata pembangkangan konstitusi.
Selain keterbukaan, dua asas lainnya yang ditabrak DPR dan pemerintah adalah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta kejelasan tujuan. Hal ini karena materi muatan perubahan UU TNI tidak diorientasikan pada adaptasi, mitigasi, dan strategi menghadapi bentuk ancaman yang sedang dan akan dihadapi. Selain itu, tidak menambal permasalahan postur pertahanan.
Menurut Andi Widjajanto (2025), TNI melirik gugup pada militer tetangga, yang tampil dengan warna-warna (kamuflase) multispektral. Sementara prajurit kita melukis dengan semangat laskar, bukan teknologi. Perang modern; siber, tanpa awak, hipersonik, hibrida, zona abu-abu, asimetris, sudah mengetuk, tapi TNI masih mencari komposisi yang pas. Maka yang menjadi pertanyaan apakah UU TNI menjawab tantangan tersebut?.
Jawabannya tentu tidak, karena jika dicermati materi muatan UU TNI, yakni pertama, perluasan cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Kedua, dihapusnya keharusan adanya kebijakan dan keputusan politik negara dalam OMSP, kecuali untuk membantu Kepolisian dalam rangka Kamtibmas. Ketiga, penambahan instansi sipil yang dapat diduduki prajurit TNI aktif. Keempat, penambahan batas usia pensiun prajurit.
Semua perubahan tersebut menjauhkan TNI dari jati diri tentara profesional, melebarkan cakupan dan menghilangkan kontrol sipil obyektif atas militer dalam OMSP, membuka ruang ekspansi prajurit TNI aktif ke dalam instansi sipil, serta berpotensi mengulang masalah penumpukan perwira TNI non-job.
Artinya, perubahan UU TNI tidak didasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta kejelasan tujuan. UU TNI bahkan cenderung menyeret kembali TNI kedalam fungsi sosial-politik (Dwifungsi) seperti ketika TNI menjadi tulang punggung rezim orde baru.
Semua indikator asas keterbukaan, kejelasan tujuan, kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana UU Nomor 13/2022 serta prinsip partisipasi bermakna sebagaimana Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 harus dipenuhi secara kumulatif. Sedangkan dalam proses pembentukan UU TNI, semua diterabas.
Maka dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan UU TNI sebagai apa yang disebut oleh Lon L. Fuller (1964:33-39) sebagai kegagalan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Proses Pembentukan UU TNI menambah catatan lintasan praktik legislasi ugal-ugalan (abusive legislation) yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Semua gugatan di MK terkait dengan UU TNI layak mendapatkan dukungan karena merupakan bagian tidak terpisahkan dari agenda reformasi sektor keamanan, karena sejatinya yang sedang mereka perjuangkan adalah masa depan kita bersama, terkait dengan demokrasi, supremasi sipil, konstitusi dan hukum.
Kemunduran reformasi sektor keamanan ini tidak bisa hanya dialamatkan kepada TNI, melainkan juga dosa politik pemimpin sipil yang pasca-reformasi. Mereka selalu menggoda TNI masuk ke dalam ruang sipil dan tidak melanjutkan reformasi TNI secara persisten.
Oleh karena itu MK harus mengoreksinya dan tidak boleh ragu-ragu membatalkan UU TNI, karena demokrasi tidak akan bertumbuh menjadi baik, jika militer tidak profesional dan hilangnya kontrol sipil obyektif atas militer.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.