Mereka yang Tidak Tercatat di Monumen

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Muhammad Iqbal
10/11/2025, 06.05 WIB

Pagi itu, 10 November 1945, Surabaya terbakar oleh teriakan dan peluru. Udara dipenuhi bau mesiu dan arang. Di antara reruntuhan, bendera merah putih tetap berkibar, robek tapi tegak. Orang-orang berlari, berteriak, berdoa, dan sebagian diam, menatap tanah yang bergetar. Hari itu, ribuan manusia kehilangan nyawa, rumah, dan masa depan. Namun, dari kehilangan itu, lahirlah sesuatu yang kita sebut hari pahlawan.

Setiap tahun, tanggal itu diperingati dengan pidato dan bunga. Kita mengenang keberanian, tapi jarang merenungi kehilangan. Padahal seperti ditulis Marnie Hughes-Warrington dan Daniel Woolf (2023), sejarah selalu berangkat dari kehilangan. “Loss is a significant force in history-making,” tulis mereka dalam History from Loss: A Global Introduction to Histories Written from Defeat, Colonization, Exile, and Imprisonment. Kehilangan bukan sekadar akhir, melainkan sumber energi yang membuat manusia menulis, mengingat, dan bertahan.

Hughes-Warrington dan Woolf menantang gagasan klasik bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang. Mereka menulis, “Pandangan bahwa sejarah selalu ditulis dari sudut pandang pihak yang menang adalah salah... bahkan orang yang sudah meninggal pun dapat mencatat, menceritakan, dan bersaksi tentang nasib mereka”. Pernyataan ini membuka ruang bagi sejarah yang lebih manusiawi, yang tidak hanya bercerita tentang kemenangan, tetapi juga tentang penderitaan.

Dalam kerangka ini, Hari Pahlawan tidak hanya memperingati perlawanan rakyat terhadap kolonialisme, tetapi juga menjadi momen memahami penderitaan kolektif. Kota Surabaya adalah contoh nyata dari “history from loss.” Kota itu bersetai-setai. Ribuan orang tewas tanpa nama. Akan tetapi, dari reruntuhan itulah lahir sebuah kesadaran: bahwa keberanian sejati muncul ketika segalanya telah hilang.

Menulis sejarah dari kekalahan bukan berarti menyanjung penderitaan. Ini adalah cara untuk mengembalikan kemanusiaan pada sejarah. Dalam konteks Indonesia, ini berarti mengakui bahwa revolusi bukan hanya milik para jenderal, tetapi juga milik ibu-ibu yang kehilangan anak, para pengungsi, dan mereka yang terhapus dari arsip.

Narasi Kekalahan dalam Sejarah Nasional

Sejarah resmi Indonesia sering dirangkai seperti kisah epik. Pahlawan muncul sebagai tokoh sempurna yang berani mati demi bangsa. Namun, di balik retorika itu, ada ribuan cerita kecil yang tidak tertulis. Hughes-Warrington menyinggung bahwa bahkan dalam peradaban kuno, “the winners not the losers write history”. Sejarah yang kita warisi sering menyingkirkan mereka yang kalah atau dibungkam.

Dalam peristiwa 10 November, misalnya, tidak banyak arsip yang mencatat kehidupan perempuan Surabaya, anak-anak pengungsi, atau para pemuda yang mati tanpa nama. Mereka tidak pernah diabadikan di monumen, tetapi mereka adalah denyut dari revolusi itu sendiri. Seperti ujar Daniel Woolf, “Penakluk dan yang ditaklukkan mungkin tidak memiliki konsep kerugian yang sama”. Bagi yang berkuasa, kekalahan adalah pelajaran. Bagi yang tertindas, kekalahan adalah kehidupan sehari-hari.

Sejarah dari kekalahan membantu kita melihat ulang bagaimana bangsa ini dibangun. Ia mengingatkan bahwa kemenangan Indonesia bukan hasil dari strategi besar semata, melainkan juga hasil dari kehilangan kolektif yang tak terhitung.

Dialektika Kemenangan dan Kekalahan

Logika sejarah dibentuk oleh dialektika antara ide dan kehilangan. Mereka menelusuri akar filsafatnya sejak Plato hingga Hegel, bahwa setiap kemajuan lahir dari kontradiksi, dari sesuatu yang hilang. Dalam konteks Hari Pahlawan, kemenangan kemerdekaan tidak bisa dipisahkan dari penderitaan yang melahirkannya.

Thucydides, sejarawan Yunani kuno yang menulis tentang kekalahan Athena, menjadi contoh penting. Ia menulis bukan dari posisi pemenang, tetapi dari reruntuhan peradaban. Menurut Woolf, “Thucydides menulis dari pihak yang kalah”. Ia mengajarkan bahwa sejarah sejati adalah ketika seseorang berani menulis dari puing, bukan dari istana.

Begitu juga dengan sejarah Indonesia. William H. Frederick dalam Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia. Surabaya, 1926-1946 (1989) meneroka bahwa Bung Tomo, para pemuda, dan rakyat Surabaya mungkin kalah secara militer, tetapi mereka menang secara moral. Mereka laksana martir. Mereka menjadi saksi, bukan pemenang. Dan tugas kita sebagai bangsa adalah terus mendengarkan kesaksian itu.

Ingatan Kolektif dan Etika Kemanusiaan

Mengapa penting menulis sejarah dari kekalahan? Karena di sanalah etika ditemukan. Penulisan sejarah bukan sekadar upaya merekam peristiwa, melainkan bentuk tanggung jawab moral terhadap mereka yang telah tiada. Sejarah dari kekalahan adalah cara untuk memberi ruang bagi suara yang hilang.

Hari Pahlawan seharusnya tidak berhenti pada upacara. Ia seharusnya menjadi perenungan tentang makna kehilangan. Tentang bagaimana bangsa ini dibangun dari duka yang panjang. Dalam pandangan Hughes-Warrington, kehilangan bukan hanya tragedi, tetapi juga energi penciptaan. “Rasa rindu akan dunia yang telah kita hilangkan mendorong kita untuk menulis tentang masa silam”. Dalam kehilangan, manusia menemukan alasan untuk menulis dan mengingat.

Etika ini mengajak kita untuk melihat pahlawan bukan sebagai simbol kekuasaan, melainkan sebagai manusia biasa yang melawan lupa. Pahlawan sejati bukan hanya yang mengangkat senjata, tetapi juga yang menulis, menangis, dan bertahan dalam diam.

Membaca Ulang Hari Pahlawan

Jika mengikuti logika history from loss, maka Hari Pahlawan bukanlah perayaan kemenangan, tetapi perenungan atas kehilangan. Ia adalah ritual pengingat bahwa setiap kemenangan menyimpan duka yang tak terhitung. Mungkin inilah yang dimaksud Filsuf Walter Benjamin tatkala mengatakan bahwa di balik setiap dokumen peradaban, selalu ada dokumen barbarisme.

Peringatan 10 November seharusnya menjadi ruang untuk mengingat bukan hanya pahlawan nasional yang diangkat negara, tetapi juga mereka yang tanpa nama. Para ibu yang kehilangan anak, para pengungsi yang menulis dengan air mata, para guru dan jurnalis yang menyimpan kisah di tengah perang. Mereka adalah “witnesses of loss,” saksi dari sejarah yang hilang.

Dalam konteks kiwari, ketika sejarah sering dipelintir oleh kepentingan politik, refleksi ini menjadi penting. Menulis sejarah dari kekalahan berarti menolak lupa. Ia adalah tindakan etis untuk menjaga agar bangsa tidak terjebak dalam euforia kemenangan yang kosong.

Dari Kekalahan Menuju Kemanusiaan

Pada akhirnya, Hari Pahlawan mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa yang menang, tetapi tentang siapa yang bertahan untuk menceritakan. Tanpa kehilangan, tidak ada alasan bagi manusia untuk mengingat. Tanpa duka, tidak ada alasan bagi kita untuk belajar dari masa lalu.

Pahlawan adalah mereka yang menanggung luka sejarah, yang tetap berdiri di tengah kehancuran. Mereka tidak menulis dengan tinta, tetapi dengan darah, air mata, dan keheningan. Dalam makna inilah, menulis sejarah dari kekalahan menjadi bentuk penghormatan tertinggi bagi mereka. Ia bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi juga soal menjaga kemanusiaan.

Hari Pahlawan bukanlah tentang siapa yang mengalahkan siapa, tetapi tentang keberanian untuk tetap manusia di tengah kehancuran. Dalam reruntuhan Surabaya, kita melihat wajah bangsa: terluka, tapi masih ingin hidup. Sejarah yang sejati bukanlah sejarah ihwal kemenangan, tetapi sejarah tentang bagaimana manusia berjuang mempertahankan martabat di tengah kehilangan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Muhammad Iqbal
Sejarawan UIN Palangka Raya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.