Gelombang PHK yang Mulai Mengintai Industri Padat Modal

Arief Kamaludin|KATADATA
Perakitan kendaraan di sebuah pabrik otomotif di kawasan industri Karawang, Jawa Barat.
Penulis: Yura Syahrul
9/2/2016, 14.24 WIB

KATADATA - Belakangan ini, ramai kabar berseliweran mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menimpa banyak pekerja di berbagai perusahaan. Setelah perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan, seperti minyak dan gas bumi (migas) dan batubara, kabar tak sedap tersebut juga menghinggapi sejumlah perusahaan di bidang elektronik dan otomotif. Bahkan, beredar pula daftar beberapa bank yang telah dan akan mengirim “surat cerai” ke para karyawannya.

Adalah Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang secara terbuka membeberkan nama beberapa perusahaan yang melakukan PHK. Pekan lalu, dia menyebutkan sejumlah perusahaan kelas besar dan menengah yang pasti melakukan PHK ribuan buruh selama kuartal pertama tahun ini. Mulai dari perusahaan elektronik seperti PT Panasonic Indonesia, PT Toshiba, perusahaan tekstil PT Jaba Garmindo, PT Starlink,  hingga perusahaan otomotif seperti PT Ford Indonesia, PT Yamaha, PT Astra Honda Motor, dan PT Hino. Termasuk juga perusahaan komponen otomotif, semisal PT Aishin, PT Mushashi, dan PT Sunstar.

Dari daftar panjang tersebut, sampai saat ini baru manajemen Panasonic yang telah angkat bicara. Perusahaan elektronik asal Jepang ini mengaku menutup satu dari tiga pabriknya yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat, dengan alasan strategi perusahaan menghadapi persaingan ketat dan melambatnya permintaan. Alhasil, sekitar 425 pekerja terkena dampak kebijakan itu yang bisa berujung pada pengunduran diri para karyawannya.

(Baca: Isu PHK, Panasonic Akui 425 Karyawan Terdampak Restrukturisasi)

Meski begitu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan, pihaknya hingga kini baru menerima satu laporan resmi rencana PHK dari Chevron Indonesia. Seperti diketahui, perusahaan migas asal Amerika Serikat (AS) ini memang santer diberitakan tengah membesut program pensiun dini terhadap ribuan karyawannya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan SKK Migas juga mengaku telah mendapat laporan perihal rencana tersebut.

Bisa jadi, Chevron bukan satu-satunya perusahaan migas di Indonesia yang berencana membonsai para karyawannya. Di tengah semakin rendahnya harga minyak dunia, mayoritas perusahaan migas multinasional, termasuk jasa penunjang migas, melakukan efisiensi operasional yang salah satu opsinya adalah PHK. Selain Chevron, kebijakan serupa secara global tengah dilakoni BP dan Royal Dutch Shell serta banyak perusahaan migas lainnya.

Said Iqbal mengklaim, para pekerja di sektor industri barang elektronik, migas, pertambangan, dan komponen kendaraan roda dua saat ini rentan mengalami PHK. Pasalnya, selain rendahnya harga komoditas, daya beli masyarakat yang melemah sehingga menurunkan permintaan, berdampak pada tergerusnya pendapatan perusahaan. Alhasil, perusahaan harus melakukan efisiensi operasionalnya, termasuk PHK para karyawan.

(Baca: PHK Merebak, Menteri Darmin: Bukan Karena Ekonomi Melambat)

Ia pun menambahkan, gelombang PHK sudah menjalar dari sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja ke sektor padat modal. “Jumlah PHK bisa mencapai 15 ribu pekerja hingga Maret mendatang. Mayoritas di industri padat modal semua," katanya, pekan lalu.

Tak cuma pekerja di sektor komoditas dan produsen barang-barang konsumtif yang tengah menghadapi gonjang-ganjing PHK. Kabar PHK juga beredar di kalangan sektor perbankan. Bahkan, melalui pesan berantai di media sosial, beredar nama beberapa bank yang membesut kebijakan tersebut.

Sumber Katadata di kalangan perbankan membisikkan, kebanyakan rencana PHK karyawan bank itu tidak bisa dilepaskan dari perlambatan ekonomi di dalam dan luar negeri, serta kebijakan global dari kantor pusat masing-masing bank. Karena itu, kebanyakan bank yang disebut-sebut akan melakukan PHK adalah bank asing atau bank global yang membuka kantor cabangnya di Indonesia.

Berdasarkan catatan Katadata, saat ini memang ada beberapa bank asing yang tengah memangkas operasional dan karyawannya di berbagai negara. Seperti dilansir Bloomberg, pekan lalu, seorang sumber menyatakan Barclays Plc. memutuskan merumahkan 150 karyawannya di Dubai, Uni Emirat Arab, lantaran program restrukturisasi unit bank korporasinya di sana. Sebelumnya, Chief Executive Officer Barclays Jes Staley menyatakan akan memberhentikan 1.200 karyawan di seluruh dunia. Selain itu, bank asal Inggris ini akan menutup operasional unit sekuritasnya di Asia.

Kebijakan serupa juga diambil Standard Chartered Plc dan HSBC Holdings Plc. Akhir tahun lalu, Standard Chartered memberhentikan sekitar 100 karyawannya. Sedangkan HSBC memecat sekitar 150 karyawan di unit ritel dan komersial di Uni Emirat Arab. Kebijakan itu merupakan salah satu jalan keluar yang ditempuh akibat penurunan pendapatan bank-bank tersebut. Agar lebih efisien, mereka fokus pada unit atau lini bisnis yang menguntungkan.

(Baca: Selain Chevron, Dirjen Migas: Belum Ada PHK Kontraktor Besar)

Fenomena tersebut juga merembet ke Indonesia. Sumber Katadata menyatakan, bank-bank di Indonesia yang selama ini mengandalkan kredit konsumsi tengah terpukul oleh kondisi penurunan daya beli masyarakat dan perlambatan ekonomi. Apalagi, kalau bank tersebut cuma mengandalkan pendapatan dari kredit konsumsi atau kredit ritel.   

Namun, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK)  Muliaman D. Hadad mengatakan, sampai saat ini belum mendapatkan laporan adanya PHK oleh bank yang beroperasi di Indonesia. "Belum ada secara resmi yang kami terima kabarnya," katanya, Jumat dua pekan lalu (29/1). Sebelumnya, sejak September tahun lalu, dia mengaku telah mendengar adanya PHK di sektor perbankan. Namun, kabar itu ternyata tidak valid. "Ini sudah pernah (terdengar) sebelumnya namun memang belum pernah ada (perbankan) yang melaporkan kepada OJK.”

Dalam kesempatan terpisah, anggota Dewan Komisioner OJK Nelson Tampubolon juga menegaskan, kondisi bank di Indonesia, khususnya bank-bank yang disebut melakukan PHK, saat ini dalam kondisi baik. Kalau melakukan PHK, bank harus mengantongi izin dari OJK sebagai pengawas bank.

Menurut Nelson, OJK selalu berdialog dengan semua bank mengenai kondisi operasionalnya masing-masing. “Kondisi semua bank tersebut baik-baik,” katanya kepada Katadata, Jumat pekan lalu (5/2). Bahkan, belum tentu bank-bank asing yang melakukan efisiensi besar-besaran di negara lain, akan melakukan langkah serupa di Indonesia. Pasalnya, margin keuntungan bank di Indonesia masih tinggi sehingga menjanjikan keuntungan yang besar.

Optimisme itu bisa merujuk dari pernyataan Head of (RBWM) HSBC Indonesia Blake Hellam. Alih-alih PHK, dia mengaku HSBC berencana menambah karyawannya seiring dengan integrasi HSBC Indonesia dan Bank Ekonomi. Di unit bisnis retail dan wealth management misalnya, HSBC Indonesia memiliki 1.500 pegawai. Sedangkan Bank Ekonomi memiliki 1.200 pegawai. Kalau dua bank itu sudah resmi bergabung maka jumlah karyawannya akan otomatis bertambah. "Bahkan akan bertambah bisa mencapai 3.000 pegawai," katanya.

Hellam mengakui, sekarang merupakan saat yang cukup sulit bagi perbankan lantaran situasi di seluruh dunia penuh ketidakpastian. Namun, khusus untuk Indonesia, HSBC masih menargetkan pertumbuhan yang menjanjikan. "Menjadi tantangan tapi kami masih menargetkan pertumbuhan di Indonesia," katanya.

Reporter: Maria Yuniar Ardhiati, Desy Setyowati, Ameidyo Daud Nasution