Vonis Mati, [Bukan] Akhir Kisah Kasus Ferdy Sambo

123rf.com/olegdudko
Ilustrasi vonis mati Ferdy Sambo
Penulis: Ira Guslina Sufa
14/2/2023, 08.45 WIB
  • Hakim menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo.
  • Ferdy Sambo masih punya ruang untuk melakukan pembelaan.
  • Pengacara keluarga Brigadir Yosua Hutabarat juga menyiapkan strategi.

Ferdy Sambo, bekas perwira polisi bintang dua itu berdiri tegak. Dalam posisi siap, ia menatap lurus ke depan. Pandangan matanya tertuju pada Hakim Wahyu Iman Santoso,  ketua majelis hakim sidang perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang menjeratnya sebagai terdakwa.  

Setelah hampir tujuh jam membacakan pertimbangan pada sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,  Senin (13/2), Hakim Wahyu tiba di bagian akhir. Waktunya ia membacakan putusan. 

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana, mati,” ujar Hakim Wahyu. 

Ruang sidang sontak gaduh persis setelah Hakim Wahyu menjatuhkan vonis. Suara teriakan datang dari kursi pengunjung yang menyaksikan jalannya sidang. Putusan hakim lebih berat dari tuntutan Jaksa yang hanya menuntut lulusan Akademi Kepolisian 1994 itu penjara seumur hidup. 

Ferdy Sambo divonis hukuman mati. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.)

Vonis Ferdy Sambo

Di tempatnya berdiri, Ferdy Sambo yang baru genap berusia 50 tahun pada 9 Februari lalu bergeming. Masih dalam posisi siap ia mendengarkan lanjutan putusan, sampai akhirnya dipersilakan duduk kembali oleh hakim ketua. 

Dalam putusannya, hakim menyatakan Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa Brigadir J yang merupakan bawahannya. Perbuatan itu juga dinilai telah meresahkan masyarakat dan mencoreng institusi kepolisian.

Dua pertimbangan pemberat lain adalah Ferdy Sambo menyebabkan anggota Polri turut terlibat. Ia juga dinilai berbelit-belit selama persidangan dan tidak mengakui perbuatannya. 

“Tidak ditemukan adanya hal yang meringankan,” ujar hakim.  

Pembunuhan terhadap Brigadir J dilakukan Ferdy Sambo di rumah dinasnya di kawasan Duren Sawit Jakarta Selatan pada Jumat (8/7) tahun lalu. Hakim menyebut pembunuhan yang melibatkan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dan tiga anak buahnya yaitu Richard Eliezer Pudihang Lumia, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf itu sudah direncanakan sehari sebelumnya.

Majelis hakim menjerat Ferdy Sambo dengan dua pasal berbeda. Dalam perkara pembunuhan Brigadir J, ia dinyatakan terbukti melanggar pasal KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan dalam perkara rekayasa pengusutan kasus ia dijerat pasal 49 juncto pasal 33 Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.  

Begitu palu tanda berakhirnya sidang diketuk, Ferdy Sambo segera menghampiri tim pengacara, dan berdiskusi sejenak. Tak sampai satu menit, Ferdy Sambo berpisah dengan pengacara dan meninggalkan ruang sidang.

Usai mengenakan kembali rompi tahanan ia bergegas keluar. Ia berlalu melewati rombongan wartawan yang menunggu. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. 

Ferdy Sambo divonis hukuman mati. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.) 

Babak Baru Kisah Ferdy Sambo

Vonis mati yang dibacakan hakim siang itu bukanlah akhir perjalanan kasus Ferdy Sambo. Tak lama setelah hakim mengetuk palu tanda berakhirnya sidang, Sambo menyerahkan buku catatan  bersampul hitam yang selalu terlihat ia bawa di setiap persidangan kepada pengacara. Pada Oktober 2022, pengacara Ferdy Sambo sempat menyebut bahwa buku hitam itu berisi catatan pribadi dan rekam kegiatan yang dilakukan mantan perwira itu.   

Usai menyerahkan catatan, Ferdy Sambo dan pengacara berdiskusi dalam suara rendah. Tak jelas apa yang mereka diskusikan. Usai persidangan salah satu tim pengacara Arman Hanis mengatakan, Ferdy Sambo telah siap dengan risiko tertinggi. Meski begitu ia menyebut tak tertutup kemungkinan kasus akan berlanjut. 

“Intinya, dalam tingkat pertama ini, kami hormati (putusan hakim). Tetap kami hormati dan ada upaya hukum selanjutnya,” kata Arman. 

Ferdy Sambo memang masih punya ruang untuk melakukan pembelaan. Sistem hukum yang berlaku seperti yang dibacakan Hakim Wahyu sebelum menutup sidang memberi kesempatan para terpidana untuk mengajukan banding maksimal 7 hari setelah putusan. Ia juga masih punya ruang pembelaan lewat proses kasasi di Mahkamah Agung.

Tak hanya kuasa hukum Ferdy Sambo, pengacara keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak juga menyiapkan kuda-kuda. Usai sidang pembacaan putusan ia mengatakan akan mengawal kasus sampai inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Selain itu Kamaruddin mengatakan akan meminta pengadilan memulih nama baik Brigadir J dari tuduhan pelecehan yang berulang-ulang disampaikan 

Vonis mati yang diterima Ferdy Sambo, langsung mendapat respon dari berbagai pihak. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang banyak bersuara sejak kasus ini bergulir di Pengadilan pada Oktober 2022 lalu turut menyatakan pendapat. Selang beberapa menit setelah putusan hakim, Mahfud berkicau lewat akun Twitter @mohmahfudmd miliknya. 

Mahfud mengawali cuitannya dengan menyebut bahwa peristiwa pembunuhan Brigadir J adalah sebuah pembunuhan berencana yang kejam. Ia memuji pembuktian tim jaksa penuntut umum dan menilai tim pembela terlalu mendramatisir fakta. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI itu juga menilai bahwa majelis hakim bertugas dengan baik, independen, dan tanpa beban dalam persidangan. 

"Makanya vonisnya sesuai dengan rasa keadilan publik. Sambo dijatuhi hukuman mati," kata Ferdy. 

Ibunda Yosua Hutabarat, Rosti Simanjuntak, memegang foto anaknya.  (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.)

Respon Polri Atas Vonis Sambo

Berbeda dengan Mahfud, Markas Besar Kepolisian yang menjadi institusi yang lama tempat Ferdy Sambo berkiprah memilih hati-hati bicara. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo tak banyak berkomentar saat ditanya wartawan. Ia menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Ferdy Sambo harus dihargai semua pihak.

Pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berpendapat putusan hukuman mati yang diterima Ferdy Sambo bukanlah prestasi Polri dalam penegakan hukum. Meski proses penyidikan secara prosedural harus melalui kepolisian ia justru melihat kuatnya tekanan dari institusi kepolisian untuk menutup kasus ini pada awal penyidikan. 

Menurut Bambang, kasus kematian Brigadir J justru terbongkar karena ada desakan dari masyarakat. Setiap hari warganet merisak isu pembunuhan Brigadir J hingga akhirnya bergulir di pengadilan. 

Di sisi lain, lanjut dia, harus ada evaluasi di internal terkait promosi jabatan maupun kepangkatan Polri lebih ketat, agar tak terulang munculnya ‘Ferdy Sambo’ yang lain.

"Seorang jenderal Polri yang seharusnya merupakan wujud hasil proses dari sistem di Polri, ternyata juga menghasilkan jenderal berperilaku jahat yang dijatuhi hukuman terberat yakni vonis mati," kata Bambang.

Sama halnya dengan Bambang, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti berharap kasus pembunuhan berencana yang menjerat Ferdy Sambo menjadi momentum bagi institusi Polri untuk bersih-bersih dari anggota yang nakal. Ia meminta kepolisian serius melakukan reformasi agar penegakan hukum menjadi lebih baik sehingga kembali mendapat kepercayaan masyarakat. 

Di luar urusan penegakan hukum, vonis mati Ferdy Sambo justru mendapat sorotan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang getol menyuarakan penghapusan hukuman mati. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro berharap penerapan KUHP baru yang telah diundangkan pada akhir 2022 lalu dapat diterapkan oleh hakim yang menangani perkara serupa di kemudian hari. 

Dalam KUHP baru itu meski masih masih mengakomodir,  namun pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai pidana pokok. Meski begitu, Atnika mengatakan Komnas HAM menghormati putusan yang telah dibuat hakim. Ia menyebut kejahatan yang dilakukan Ferdy Sambo merupakan kejahatan serius. 

"Terlebih dengan menggunakan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum," ujar Atnika. 

Reporter: Andi M. Arief, Antara