- Bank digital bentukan Grab dan Bank Fama akan menyasar segmen unbanked.
- Sinyal resesi global meredup, beberapa bank digital mengalami perbaikan kinerja.
- Tanpa inovasi, sulit bank digital berpacu dengan bank konvensional.
Di tengah musim dingin bank digital saat ini, Grab dan Bank Fama justru berencana meluncurkan bank digital bernama Bank Bersama atau Superbank. Kabarnya, bank tersebu bakal menyerap beberapa karyawan dari Grab dan OVO.
Chief Communications Officer Grab Indonesia dan OVO Mayang Schreiber tidak membantah maupun membenarkan kabar ini. Grab mengakuisisi saham minoritas di Bank Fama sebagai langkah investasi. “Investasi itu atas undangan Emtek (PT Elang Mahkota Teknologi Tbk) selaku mitra strategis,” katanya pada Katadata.co.id, Kamis (9/2).
Emtek mengakuisisi Bank Fama melalui anak perusahaan PT Elang Media Visitama pada Desember 2021. Perusahaan lalu menggaet Grab dan Singtel Telecommunications Limited untuk berinvestasi di Bank Fama pada awal 2022.
Skema investasinya melalui transaksi jual beli saham baru. Grab dan Singtel melakukan penyertaan modal melalui anak usaha masing-masing. Keduanya mengambil bagian atas 2,35 miliar saham baru Bank Fama atau 16,26% dari modal perusahaan yang telah ditingkatkan.
Presiden Direktur Bank Fama Internasional Tigor M Siahaan mengatakan, perusahaan akan meluncurkan produk baru berbasis digital pada pertengahan tahun depan. Bank Fama akan menyasar masyarakat yang belum memiliki rekening bank atau underbanked di Indonesia.
Data segmen tersebut akan diperoleh dari gurita bisnis Emtek yang sudah lebih dulu hadir di industri media, kemudian Grab di bidang ride hailing, pengantaran makanan, sistem pembayaran serta kesehatan. Lalu, data dari mitra terbaru mereka, Singtel yang berkiprah di bidang telekomunikasi.
Berdasaran riset Google, Temasek, Bain & Company, terdapat 81% penduduk Indonesia yang belum terlayani jasa keuangan. Dengan demikian, pasar layanan keuangan bank digital masih sangat terbuka di Tanah Air.
Volatilitas Saham Bank Digital
Kinerja saham bank digital sempat menjadi primadona pada 2021 lalu. Dalam statistik Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun tersebut, harga saham sektor ini melompat jauh dari 79% hingga 4.368%. Peningkatan paling besar, yakni 4,368%, terjadi pada saham PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI).
Hanya dalam rentang waktu setahun, musim dingin menghantam sektor tersebut secara signifikan. Sejak awal tahun, harga saham bank digital turun di kisaran 6,27% hingga 76%. Dalam catatan Katadata.co.id, lima dari tujuh bank digital mengalami penurunan lebih dari 50% sepanjang 2022, seperti dirangkum berikut ini:
Kode Emiten | Pergerakan Harga Saham (1Y) | Pergerakan Harga Saham (YtD)* | Laba/Rugi per Q3/22 | Market Cap |
Bank Jago (ARTO) | -84,48% | -24,19% | Rp 40,5 miliar | Rp 39,07 T |
Bank Aladin (BANK) | -40,95% | -7,77% | -Rp 146,41 miliar | Rp 19,13 T |
Bank Raya Indonesia (AGRO) | -68,03% | 0,5% | Rp 32,4 miliar | Rp 10,04 T |
Allo Bank (BBHI) | -70,97% | -7,08% | Rp 209 miliar | Rp 35,64 T |
Neo Commerce (BBYB) | -58,69% | 0,78% | Rp 601,1 miliar | Rp 7,83 T |
Bank Bumi Arta (BNBA) | -61,88% | 7,57% | Rp 44,3 miiar | Rp 3,37 T |
Krom Bank Indonesia (BBSI) | -42,29% | -5,06% | Rp 60,8 miliar | Rp 11,02T |
*)per 14 Februari 2023.
Data yang ditarik dari aplikasi RTI Business pada 15 Februari 2023 menunjukkan, Bank Jago menjadi bank digital dengan kapitalisasi pasar terbesar di antara yang lainnya, yakni Rp39,91 triliun.
Kedua, Allo Bank dengan nilai kapitalisasi mencapai Rp36,40 triliun pada hari ini. Ketiga, ada Bank Aladin Syariah (BANK) dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp19,27 triliun.
Beberapa bank digital sudah mengalami perbaikan kinerja di awal tahun ini. Analis Samuel Sekuritas, Muhammad Farras Farhan mengatakan, kebijakan bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve alias The Fed yang semakin moderat menjadi satu kunci.
“Setelah Nasdaq anjlok lebih dari 25% di sepanjang tahun lalu, banyak investor menilai ini saat yang tepat untuk menaikkan saham. Terlalu banyak saham teknologi yang salah harga dan investor tidak mau kehilangan peluang terbaik akumulasi di harga bawah,” ujarnya.
Bulan ini, The Fed hanya menaikkan suku bunga acuannya sebesar 0,25% dan khalayak menilai ini sebagai sinyal laju inflasi lebih terkendali. Selain itu, kekhawatiran terhadap resesi global pun semakin mereda. Dua hal inilah yang menjadi mimpi buruk saham teknologi sepanjang tahun lalu.
Babak Baru Tanpa Inovasi Baru
Titik terang kinerja bank digital direspon optimistis oleh analis saham Kanaka Hita Solvera Andhika Cipta Labora. Saat ini harga saham bank digital sudah jauh terdiskon daripada pergerakan harga saham bank konvensional.
Maka, inilah waktu yang tepat untuk membeli saham bank digital. “Mengingat pergerakan harga bank digital sudah turun dalam, kami prediksi tahun ini menjadi tahun kebangkitan bank digital,” ujarnya.
Ia menyebut, beberapa bank digital sudah membukukan laba bersih hingga kuartal III tahun lalu. Keadaan tersebut menjadi indikator bank digital akan semakin tumbuh.
Pengamat ekonomi Nailul Huda pun menilai keadaan ini bisa dimanfaatkan oleh Grab dan Bank Fama menjadi bank digital. Nailul berpendapat kedua perusahaan mempunyai ekosistem digital dan pasar yang kuat.
Modal tersebut sangat baik untuk bersaing dengan bank digital lainnya. “Kuncinya ada di ekosistem yang cukup kuat. Ketika perusahaan, terkait ini bank digital, berkinerja dengan baik, maka kinerja saham bank digital pun akan membaik,” katanya.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh pengamat perbankan Binus University Doddy Ariefianto. Ia cenderung pesimistis dengan perkembangan bank digital Tanah Air.
Doddy menyebut, bank digital tidak hanya bersaing dengan sesamanya. Mereka juga harus berpacu dengan bank konvensional yang hampir seluruhnya memiliki divisi digital.
Fenomena bank digital pun masih terbilang baru bila dibandingkan dengan bank konvensional yang sudah berinvestasi di digitalisasi sejak 10 tahun lalu.
Ada dua sisi bank digital yang menjadi sorotan Doddy. Pertama, tujuan utama masyarakat menggunakan bank adalah menyimpan uang. Karena itu, para nasabah butuh rasa aman ketika menyimpan uang.
Nah, rasa aman itu biasanya ditunjukkan oleh ukuran dan latar belakang bank. "Kalau Bank Mandiri dan BCA sudah lebih lama, jadi bank baru ini sulit bersaing. Kalau peruntukannya untuk transaksi digital saja, kenapa harus ke bank digital?” ujarnya.
Kedua, belum ada bank digital yang bisa memberi nilai lebih. Biasanya, bank digital membidik masyarakat yang sudah melek dengan teknologi dan segmen underbanked. Namun, bila dilihat secara kasat mata, belum ada perbedaan yang nyata dari bank digital dan bank konvensional.
Menurut Doddy, salah satu hal yang bisa ditingkatkan bank digital adalah fleksibilitas yang mereka miliki. Bila nasabahnya membutuhkan uang kartal dalam waktu cepat, maka bank digital harus dapat menyediakannya.
Kemudahan tersebut bisa dimanfaatkan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang membutuhkan modal cepat. “Terus terang saja saya katakan ya, kalau untuk survive (bertahan), bank digital masih bisa. Tapi masalahnya, apakah mereka akan prosper (berhasil)? Saya sih belum yakin,” katanya.