- Belum ada transparansi metode penghitungan uang kuliah tunggal mahasiswa di masing-masing perguruan tinggi negeri.
- Dana yang diperlukan perguruan tinggi harusnya lebih banyak diperoleh dari riset, bukan dibebankan ke mahasiswa.
- Anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN sudah tinggi tapi alokasinya dinilai tidak pas.
Senang bercampur bingung, itu yang dirasakan Krisna Ramadhan akhir Juni lalu. Dua tahun lamanya ia menunda keinginan untuk duduk di bangku kuliah. Tahun ini menjadi kesempatan terakhirnya dan harapannya terkabul.
Laki-laki berusia 20 tahun itu diterima sebagai mahasiswa baru jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret. Namun, semua berubah menjadi mimpi buruk. Ia harus menghadapi masalah baru. Uang kuliah tunggal yang harus ia bayar sangat mahal. Ia hanya punya waktu seminggu untuk melunasinya.
Angka UKT yang ia terima jauh melenceng dari prediksinya. Padahal, Krisna telah melampirkan surat pernyataan bahwa hanya ibunya yang bekerja. Itu pun pekerjaan di rumah dan pendapatannya tidak tetap.
Namun, kampusnya tetap memutuskan uang kuliah Krisna di golongan III dengan nilai Rp 4.275.000 per semester. “Mutar otak banget, tuh. Tiba-tiba enam hari harus lunas. Gimana cara cari duit Rp 4 juta itu?” kata Krisna saat berbincang dengan Katadata.co.id, Minggu (9/7).
Akhirnya, Krisna mencoba peruntungan di Twitter. Ia menjual 10 lukisan buatannya, kelas menggambar, hingga komisi ilustrasi. Cuitannya ini dibanjiri lebih dari empat ribu cuitan ulang atau retweet dan tujuh ribu likes.
Uang kuliah Krisna akhirnya lunas tapi hanya untuk satu semester saja. Masih ada uang kuliah semester berikutnya.
Kini Krisna sedang mendaftar Kartu Indonesia Pintar Kuliah alias KIPK dan berencana mencari kerja paruh waktu di Solo. Dengan KIPK, ia dapat memperoleh uang saku atau uang kuliah gratis yang dibayarkan oleh pemerintah.
“Tapi kalau soal sanggah UKT supaya golongannya turun, aku masih ragu,” ucap Krisna.
Ia memprediksi sanggahannya kemungkinan besar akan gagal. Sebab, jarak golongan UKT di jurusannya terpaut jauh.
Rinciannya, UKT golongan pertama ada di angka Rp 475.000. Sedangkan Golongan II Rp 975.000 dan Golongan III Rp 4.275.000.
Lingkaran Harga UKT dan Status PTN
Krisna tidak sendiri. Ratusan mahasiswa baru Universitas Indonesia memprotes besaran UKT yang dinilai terlalu tinggi. Hal ini disampaikan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI Melki Sedek Huang dalam konferensi pers di Depok, Jawa Barat pada Jumat, 23 Juni 2023.
“Dari 2.000 lebih mahasiswa yang diterima melalui jalur SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), terdapat setidaknya 700 hingga 800 aduan keberatan atas biaya pendidikan (UKT) yang ditetapkan,” kata Melki seperti dikutip dari Kompas.com.
Sejauh ini, memang belum ada transparansi metode penghitungan UKT mahasiswa di masing-masing PTN. Namun, ada beleid yang mengatur soal tersebut, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2020.
Dalam pasal 7 tertulis, besaran UKT ditetapkan pemimpin PTN bagi mahasiswa program diploma dan sarjana dari setiap jalur penerimaan mahasiswa. Begitu juga tata cara penetapan kelompok besaran UKT dan mahasiswa ditetapkan pemimpin PTN.
“Itulah yang menjadi keluhan banyak orang. Terlalu mahal (uang kuliah) dan perhitungan yang harus jelas, malah tidak ada,” kata pengamat pendidikan Doni Koesoema. “Jadi kita ada defisit regulasi soal UKT ini.”
Doni yang juga mengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banteng tersebut turut menggarisbawahi peran pemimpin PTN menetapkan besaran UKT sesuai dengan Peraturan Menteri itu.
Menurut dia, rektor tidak perlu mengurus hal teknis mulai dari penerimaan mahasiswa hingga UKT. Pekerjaan tersebut baiknya diserahkan kepada dekan atau ketua program studi.
Ia membandingkan fungsi rektor di universitas luar negeri yang fokus untuk mengembangkan kampus. Ada baiknya rektor bertugas untuk bekerja sama dengan pemerintah, pengusaha, hingga lembaga swadaya masyarakat. Dari kerja sama inilah kampus bisa memperoleh tambahan biaya.
“Jadi pihak eksekutif itu dekan-dekan. Rektor tugasnya cari duit. Tapi carinya di luar, bukan dari mahasiswa,” ujar Doni.
Pernyataan bernada serupa juga datang dari pengamat pendidikan Indra Charismiadji. Ia berpendapat dana yang diperlukan perguruan tinggi harusnya lebih banyak diperoleh dari riset. Sejauh pandangan Indra, masih belum ada universitas yang fokus kepada riset, melainkan hanya fokus mengajar.
“Masalahnya, bahan ajar itu diperoleh dari orang lain, bukan hasil pengembangan universitas sendiri. Otomatis jadi makin mahal dan semuanya dibebankan ke mahasiswa,” kata Indra.
Gaji dosen, menurut dia, dapat berasal dari dana riset yang tidak terbatas dari pemerintah. Bisa juga dari perusahaan, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi yang tertarik mengembangkan ilmu pengetahuan.
Selain nihilnya transparansi metode penghitungan dan salah fokus fungsi rektor, satu hal yang juga digarisbawahi para pengamat pendidikan adalah status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum alias PTN-BH. Dengan status ini, sebuah lembaga pendidikan diberi otonomi atau kebebasan, termasuk mengatur keuangannya.
Meski memiliki kebebasan, Doni menyebut sebuah PTN-BH juga diberi target pendapatan minimal ratusan miliar per tahun. Target itu kemudian dikejar melalui uang kuliah mahasiswa, terutama yang berasal dari jalur mandiri dengan golongan UKT tinggi.
Strategi tersebut memang tidak baik, tapi menurut Doni mekanisme PTN-BH ini masih dibutuhkan di Tanah Air. Dengan adanya PTN-BH, universitas bisa melakukan inovasi dan fokus mengelola secara mandiri.
Belum lagi bila hanya mengharapkan dana riset dari pemerintah, perhitungannya berdasarkan tahun berjalan. Perhitungan ini akan sulit diterapkan, mengingat tak jarang ada penelitian yang harus dilakukan bertahun-tahun lamanya.
Hingga 2023, ada 21 PTN-BH yang tersebar dari Sumatra hingga Sulawesi. Sepuluh PTN terbaik di Indonesia bahkan semuanya tergolong dalam PTN-BH.
Dalam catatan Katadata.co.id, rentang uang kuliah di 10 kampus ini terbentang cukup jauh. Di Universitas Indonesia, misalnya, rentang uang kuliah tunggal paling tinggi adalah di angka Rp 2,5 juta.
Berikut daftar perbandingan uang kuliah di 10 PTN terbaik Indonesia, menurut penilaian Quacquarelli Symonds World University Rankings (QS WUR) 2024:
Anggaran Kecil, Perlukah Ditambah?
Bila melihat dari kacamata universitas, hal lain yang juga bisa mempengaruhi nilai UKT adalah anggaran pendidikan yang dikucurkan pemerintah. Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung pada Maret lalu sudah membahas bagaimana anggaran pendidikan tinggi Tanah Air terbilang cukup rendah dibanding negara lain.
Tahun ini, anggaran pendidikan yang dikucurkan dari anggaran pendapatan dan belanja negaraa mencapai nilai Rp 612,2 triliun. Ini setara dengan 20% dari total APBN yakni Rp 3.061 triliun. Pembiayaan ini paling tinggi sepanjang sejarah, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Nilainya pun meningkat 5,8% dari pembiayaan tahun lalu senilai Rp 574,9 triliun. “Untuk pertama kali dalam sejarah, anggaran pendidikan kita mencapai di atas Rp 600 triliun,” kata bendahara negara dalam acara Mandiri Investment Forum 2023 pada Februari lalu.
Duit sebanyak Rp 612,2 triliun ini akan digunakan untuk belanja pemerintah pusat sebesar Rp237,1 triliun. Beberapa alokasinya adalah untuk Program Indonesia Pintar (PIP) kepada 20,1 juta siswa dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah kepada 994,3 ribu mahasiswa. Selain itu, ada tunjangan profesi guru untuk 553,5 ribu guru non-PNS.
Sedangkan, alokasi transfer daerah mencapai Rp 305,6 triliun untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan BOP Pendidikan Kesetaraan. Sisanya, Rp69,5 triliun untuk dana abadi pendidikan, penelitian, perguruan tinggi, dan kebudayaan.
Hanya sekitar 2,7% dari APBN dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, yakni sekitar Rp 29 triliun. Untuk alokasi riset dan pendidikan tinggi mendapat bagian sekitar 0,9% dari 2,7% dana yang dikelola Kementerian, sebagian besar berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak alias PNBP.
“Secara bersih, anggaran pendidikan tinggi yang dikelola Dirjen Dikti hanya 0,6% dari APBN atau sekitar Rp 8,2 triliun. Itu pun harus dibagi antara PTN dengan PTS secara adil,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah, dilansir dari laman resmi Institut Teknologi Bandung.
Menanggapi perhitungan tersebut, Doni tidak sepakat meningkatkan anggaran untuk pendidikan. Pemerintah cukup mengatur skala prioritas pembagian anggaran sehingga porsinya tidak terlalu kecil di pendidikan tinggi.
Anggaran pendidikan yang setara 20% APBN itu sudah mencakup gaji guru dan dibagi-bagi ke kementerian dan daerah lain. “Angkanya cukup, tapi pembagiannya tidak pas. Coba kalau yang 20% itu fokus dan tidak dibagi ke kementerian lain, anak-anak Indonesia pasti bisa kuliah semua kok,” ujarnya.