Judi Online, Kanker Sosial yang Menggerogoti Negara

Katadata
Judi Online: Ancaman Bagi Generasi Muda Indonesia
19/12/2024, 15.48 WIB

Senja perlahan menyelimuti kota. Sisa-sisa cahaya keemasan yang menerobos sela-sela jendela di sebuah kedai kopi di bilangan Jakarta Selatan, perlahan menghilang. Kala itu pengunjung sudah ramai. Ketukan keyboard, notifikasi ponsel, dan sayup-sayup percakapan terdengar bersahutan.

Di salah satu meja, seorang pria duduk sendirian. Wajahnya serius menatap layar ponsel. Ia sedang asyik main gim saat tim Katadata menyapanya. Frengkers –nama samaran– adalah mantan pemain judi online (judol). Selepas pulang kerja, lelaki berusia 28 tahun ini bersedia ditemui untuk berbagi pengalaman selama dua tahunan bertaruh judol. 

Pria yang berprofesi sebagai pegawai swasta ini mengenal judol sejak 2022. Awal mula, ia melihat teman-temannya bermain. Namun saat itu belum muncul hasrat buat ikut-ikutan. 

“Awalnya jujur gue enggak tertarik, sampai teman nawarin: ‘sini pakai akun gue’, ‘sini pakai duit gue’. Dari yang awalnya iseng karena gabut, akhirnya coba main,” tutur Frengkers kepada tim Katadata, Kamis (5/12/2024).

Rentetan kemenangan di awal membuat Frengkers mulai ketagihan. Ia biasanya memasang taruhan Rp50-100 ribu untuk satu gim. Pernah satu waktu, ia pasang taruhan dengan nominal paling besar Rp500 ribu, tapi apes. 

Selama sekitar dua tahunan, meski sering kalah, Frengkers terus berkutat dengan judol. Namun, seiring masifnya pemberitaan soal bahaya judol di media massa dan percakapan langsung, ia perlahan mulai tersadar. 

“Dari banyak informasi kita tahu kalau sebenarnya ini permainan udah di-setting, jadi memang kita enggak mungkin menang. Nah dari situ gue sadar dan berhenti. Untung belum sampai pinjam duit ke pinjaman online,” katanya.

Judi Online: Ancaman Bagi Generasi Muda Indonesia (Katadata)

Untungnya, Frengkers belum terjerembab di dalam candu. Akal sehat masih memegang kendali pikirannya, berbeda dengan Genji (nama samaran). Pemuda berkacamata yang tinggal di Solo, Jawa Tengah ini, bertutur kalau judol telah membuat hidupnya berantakan.

Lewat judol, lelaki berusia 28 tahun ini mulai mengenal pinjaman online (pinjol) yang mana uangnya digunakan untuk bertaruh. Rangkaian kekalahan membuat Genji kesulitan membayar pinjaman. Alhasil utangnya membengkak hingga berujung dipecat dari tempatnya bekerja di sebuah kedai kopi.

“Dulu kafe saya sering didatangi orang, mereka nagih (utang) ke saya. Bos tahu dan merasa terganggu, terus saya dipecat,” ujarnya getir. Seperti masih tersisa rasa penyesalan di dalam diri.

Dari sisi gaji, tempatnya bekerja saat ini –jasa fotokopi– jauh dibandingkan ketika ia masih menjadi karyawan di kedai kopi. Dulu, ia mengaku, masih mendapat gaji sesuai upah minimum kota (UMK). Sekarang, gajinya tidak menyentuh UMK Solo yang pada 2024 nilainya sebesar Rp2.269.070. 

Efek buruk judol membuat Genji memutuskan untuk berhenti. Kini, ia harus memikirkan bagaimana caranya melunasi utang yang nilainya lebih dari Rp35 juta. 

Baik Frengkers maupun Genji hanya contoh kecil dari jutaan pemain judol dari kalangan anak muda. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan setidaknya 4 juta pengguna judi online di mana 1 juta di antaranya berusia masih berusia muda – di bawah 10 sampai 30 tahun. 

Pun begitu, dari kedua pecandu judi tersebut, jebakan permainan haram ini setidaknya bisa dijelaskan dalam tiga tahap. 

Tahapan awal seseorang terpapar judi online – yang disebut SEE – dengan melihat iklan ataupun endorsement dari pemengaruh. Dalam kasus Frengkers dan Genji, pengaruh awal datang dari teman mereka yang kerap memainkan judi online kala berkumpul.

Rasa penasaran yang timbul membuat Frengkers dan Genji mencari tahu dan mengakses situs judi online - tahapan ini disebut dengan ACCESS. Pada babak ini, para pemain biasanya akan mengambil keputusan untuk bermain suatu permainan dari berbagai pilihan situs judi online.

Pada akhirnya, mereka pun tergoda untuk bermain judi online dengan melakukan deposi– dan inilah tahapan yang disebut PLAY. Bahkan dalam kasus Frengkers, teman-temannya tak ragu merogoh kocek pribadi sebagai modal taruhan supaya ia turut bermain.

Candu Judol

Ilustrasi Judi Online (Katadata/Fauza Syahputra)

 

Perkembangan judol semakin tidak terbendung. Jika melihat data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, perputaran uang judol pada 2023 mencapai Rp327,1 triliun. Angka tersebut melonjak 213,3 persen dari Rp104,4 triliun pada tahun sebelumnya. 

Pada semester I 2024, nilai perputaran judol telah mencapai Rp174,6 triliun. Sementara secara kumulatif selama 2017-2024, total perputaran uang mencapai Rp692,6 triliun. Jumlah itu setara 9,8 kali anggaran makan siang gratis dalam RAPBN 2025 sebesar Rp71 triliun atau setara dengan enam kali biaya pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.

“Tahun 2023, deposit masyarakat mencapai Rp34 triliun. Tahun ini sampai kuartal III mencapai Rp43 triliun,” kata Danang Tri Hartono, Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK dalam keterangan tertulis, Senin (2/12/2024). 

Bermain judol saat ini memang bukan perkara sulit. Di media sosial banyak bertebaran iklan permainan haram tersebut. Bahkan, tak jarang oknum influencer mempromosikan situs ilegal itu. Belum lagi laman permainan judol banyak tersebar di mesin pencarian. 

Dalam praktiknya, untuk mengakses situs judol, hanya perlu berbekal gawai dan jaringan internet. Bagi pemain baru, sebelum bermain judi, mereka hanya perlu membuat akun dengan mengisi nama lengkap, serta membuat username dan password

Setelah itu, operator judol akan mengarahkan pengguna untuk mengisi nomor rekening bank ataupun dompet digital untuk deposit saldo atau menarik uang. Gilanya, hanya dengan bermodalkan uang Rp500  sudah bisa bermain judol, berdasarkan temuan Kementerian Komunikasi dan Digital. Permainannya pun beragam seperti kasino, slot, lotre, taruhan e-sport, taruhan bola parlay, sampai pacuan kuda.

Jumlah Transaksi dan Nilai Perputaran Judi Online (Katadata)

Dengan berbagai kemudahan itu, tak heran jika banyak anak muda yang tergiur dengan judol. Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan, fenomena judol yang menjerat anak muda bukan sesuatu yang mengejutkan.

Pasalnya, secara demografi penduduk Indonesia saat ini memang mayoritas berasal dari kaum muda. Terlebih, anak muda saat ini seperti tak bisa hidup tanpa internet. Sedangkan, media sosial merupakan ladang penyebaran utama dari akses terhadap judol.

Devie mensinyalir anak muda tergiur dengan judol karena aktivitas tersebut dibungkus dalam sebuah permainan. Apalagi, manusia pada dasarnya merupakan Homo Ludens, istilah yang menggambarkan karakter manusia yang menyukai permainan.

“Ini menjelaskan kenapa banyak orang, tidak peduli dia latar belakang pendidikannya tinggi atau tidak, status ekonomi atas atau bawah, itu berpotensi untuk terjerat karena (judol) yang pada awalnya permainan,” ujar Devie kepada Katadata, Selasa (10/12/2024). 

Akan tetapi, dengan tren judol mulai menjerat anak muda, eskalasi fenomena ini menjadi kian mengkhawatirkan. Pasalnya, judol berisiko besar merusak anak muda, serta mengancam masa depannya, dan melumpuhkan keluarga.

“Judol ini seperti kanker sosial karena dia melumpuhkan setiap rumah. Kalau setiap rumah sudah lumpuh maka ujungnya negara yang akan mengalami kerugian besar. Anak muda yang harusnya produktif, akhirnya menjadi tidak produktif karena kebiasaan berjudi,” katanya. 

Pandangan lain datang dari Psikolog Klinis Universitas Indonesia, Kasandra Putranto. Dia menyebutkan beberapa faktor yang dapat mendorong seseorang kecanduan judol berdasarkan sejumlah literatur, antara lain riwayat gangguan perkembangan, perilaku, dan kecemasan. 

Berbagai faktor tersebut dapat memengaruhi kemampuan individu dalam mengatur emosi dan membuat keputusan yang bisa berujung pada kecanduan judi. Selain itu, trauma ataupun stress—yang tidak dapat diatasi dengan baik—dapat pula menyebabkan individu mencari pelarian dan kenyamanan, termasuk ke perjudian. 

Menurutnya, di tingkat individu, kecanduan judi akan memiliki beragam efek samping. Sebagai contoh, ketidakmampuan mengendalikan dorongan berjudi berpotensi merusak kemampuan mengelola keuangan. 

Tak hanya itu, judi berisiko pula memunculkan gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi, disertai gangguan perilaku agresif atau emosional. “Bahkan dapat menimbulkan masalah tindak kriminal sebagai akibat dari dorongan yang tidak terkendali,” ujar Kasandra kepada Katadata, Kamis (12/12/2024). 

Kolaborasi Pemberantasan Judol

Kemkomdigi bekerja sama dengan OJK dalam pemberantasan judi online (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.)

Agaknya pemberantasan judol mesti memakai resep yang sama dengan penanganan pandemi Covid-19: kolaborasi dan kerja sama secara sistematis dan komprehensif. Bak wabah virus, judol menjadi ancaman laten.

Modus penyebaran permainan haram ini terus berkembang dalam senyap. Kementerian Komunikasi dan Digital sempat menemukan situs pemerintah dan lembaga pendidikan disusupi konten judol. 

Modus lainnya, para penjudi saat ini bisa melakukan deposit modal melalui pulsa. Merespons itu, Kementerian Komdigi dengan menggandeng para operator seluler membatasi nominal transfer pulsa sebesar Rp1 juta. 

Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, memberikan penekanan kolaborasi lintas sektor untuk menekan dampak negatif perjudian online. Pemerintah, misalnya, memiliki peran untuk terus memblokir situs permainan haram secara berkala. Kemkomdigi mengeklaim telah memblokir lebih dari 5,3 juta konten yang terafiliasi judol sejak 2017. 

Tak hanya itu, pemerintah turut menggandeng bank, termasuk Himpunan Bank Negara (Himbara), untuk memblokir rekening yang terindikasi judol. Sebab, memblokir rekening akan lebih memberikan efek jera bagi operator judi, ketimbang situs yang ditutup akan mudah dibuat ulang. 

“Kalau rekeningnya yang diblokir, pengurusannya akan jauh lebih sulit karena harus melalui pihak bank. Ini salah satu kunci untuk menekan angka transaksi judol,” kata Meutya dalam rilis resmi. 

Melansir Antara, sampai November 2024, Otoritas Jasa Keuangan bersama Kementerian Komdigi mengklaim telah memblokir 10.000 rekening bank, termasuk rekening milik pemain dan operator judol. 

Merujuk data Bank Indonesia, deposit judol dari perbankan memiliki nilai yang fantastis mencapai Rp33,09 triliun. Sedangkan deposit melalui dompet digital sebesar Rp8,37 triliun. 

“BI terus berupaya mengimplementasikan kebijakan yang dapat menekan penggunaan sistem pembayaran digital untuk transaksi judol,” ujar Kepala Divisi Perizinan SP Ritel – DKSP Bank Indonesia, Uniek Yuniar, dalam keterangan resmi.

Bank sentral berperan dalam implementasi Know Your Customer dan Know Your Merchant (KYC/KYM), serta memperkuat ketentuan dan implementasi Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (APU PPT dan PPPSPM). 

Selain itu, BI memberikan imbauan perihal penguatan Fraud Detection System yang bisa melacak transaksi kecil terindikasi untuk judol. OJK juga telah memanfaatkan Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) untuk melacak rekening yang terindikasi dengan judol.

Langkah Konkret Memerangi Judol

Upaya Kominfo mengatasi judi online (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/nym.)

 

BNI merupakan salah satu bank yang ikut memberantas judol. Bank pelat merah itu mengklaim telah menutup 4.249 rekening yang terindikasi aktivitas ilegal per November 2024. 

Direktur Utama BNI Royke Tumilaar, menyatakan total saldo dalam rekening tersebut mencapai lebih dari Rp18 miliar. 

"BNI telah melakukan berbagai upaya dalam mencegah penyalahgunaan rekening dalam rangka pemberantasan judol," katanya dalam rilis kepada media, Kamis (5/12/2024). 

Sementara terkait dompet digital yang terindikasi disalahgunakan untuk judol, Kementerian Komdigi telah melakukan penelusuran selama 8 Agustus 2023-19 November 2024. Hasilnya, 25,68 persen menggunakan DANA untuk aktivitas tersebut. Gopay menyusul dengan 24,84 persen, LinkAja 21,84 persen, dan OVO 21,26 persen. 

Chief of Legal and Compliance DANA Indonesia Dina Artarini melalui wawancara tertulis dengan Katadata mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk terus berusaha memutus mata rantai judol demi ekosistem digital yang sehat. 

DANA telah melaporkan sebanyak lebih dari 30 ribu pengguna dan lebih dari 500 merchant on-us yang terindikasi judol. Dina menuturkan, angka tersebut hanya gambaran pada satu waktu tertentu dan akan terus mengalami perubahan seiring perkembangan modus judol.

Adapun DANA juga melakukan upaya pencegahan. Perusahaan menerapkan proses pemeriksaan latar belakang, baik customer due diligence (CDD) saat pembukaan akun, maupun enhanced due diligence (EDD) yang bertujuan mengelola risiko pengguna, serta mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Selain itu, DANA memiliki inisiatif Waspada Online dan Monitor, Konfirmasi, Laporkan, untuk mengedukasi pengguna agar mengenali ancaman digital. 

Melalui fitur seperti DANA Protection, perusahaan juga memperkuat sistem keamanan untuk mendeteksi dan mencegah transaksi mencurigakan, termasuk judol. Aspek yang diperhatikan seperti analisis pola transaksi pengguna dan merchant, dan analisis jaringan antar pengguna dan merchant.

Secara bersamaan, perusahaan rutin melakukan patroli siber, baik secara manual maupun di dalam sistem aplikasi untuk dapat mendeteksi situs judi yang menerima pembayaran via DANA.

Selain itu, DANA turut melibatkan pengguna dalam ikhtiar pemberantasan perjudian daring ini, misalnya Smart Friction. Fitur itu memungkinkan pengguna untuk mendapatkan pesan peringatan ketika hendak melakukan pembayaran kepada pihak yang terindikasi mencurigakan. 

Ada pula fitur Scam Checker yang memungkinkan pengguna untuk mengecek keabsahan nomor, akun media sosial, nomor rekening bank, hingga tautan yang tidak diketahui oleh pengguna.

Dari berbagai upaya tersebut, saat ini ada 50.000 pencarian akun, nomor, dan situs mencurigakan setiap bulannya dari penyelidikan pengguna. Selain itu, DANA menyebut 3,6 juta pengguna telah tereduksi mengenai judol, melalui gamifikasi Waspada Online. 

Meski demikian dibutuhkan kolaborasi untuk memetakan proses penyebaran judol dan menutup celah yang ada. 

“Dibutuhkan kolaborasi untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman. Dalam implementasinya, setiap pemangku kepentingan juga harus berperan aktif untuk melakukan pencegahan dari hulu ke hilir, sebagai usaha pencegahan konkret dan signifikan,” kata Dina. 

Di atas itu semua, fenomena masifnya judi online menyiratkan tren buruk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia, demikian kesimpulan Diskusi Forum Wartawan Teknologi beberapa waktu lalu. Bak pisau bermata dua, internet memiliki sisi buruk: dapat menjebak penggunanya ke dalam aktivitas ilegal. 

Dalam kasus judi online, misalnya, tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga berpotensi mengancam ketahanan digital dan literasi finansial masyarakat. Isu ini mesti menjadi perhatian bagi seluruh pihak karena dengan rendahnya literasi digital dan finansial pada anak muda, mereka akan rentan menjadi korban judi online.