Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Koperasi simpan pinjam menjadi alternatif layanan keuangan bagi perempuan di desa-desa di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kondisi ini akibat mereka, yang kebanyakan petani, tidak memiliki akses untuk menjamah layanan keuangan formal, seperti untuk menabung maupun memperoleh kredit usaha. 

Gerakan Masyarakat Peduli Lumajang (Gemapalu) melihat persoalan ini sebagai salah satu penyebab kemiskinan struktural di Lumajang. Menurut Misbach Isnaifah (47), pendiri Gemapalu, akibatnya banyak penduduk yang beralih menjadi buruh migran. 

“Ciri-cirinya mereka adalah petani penggarap atau buruh tani, berpendidikan rendah, tidak punya akses ke layanan kesehatan dan informasi. Masak ini dibiarkan?” kata Misbach kepada Katadata.co.id.

Gemapalu mendirikan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) CU Gema Swadaya pada 2016. Salah satu tujuannya untuk memberdayakan masyarakat, terutama kaum perempuan, agar sadar pentingnya menabung. Hingga 2023, jumlah anggotanya mencapai 1.500 orang dengan aset mencapai Rp4,5 miliar.

“Tak hanya uang, mereka bisa menabung sayur, olahan makanan, dan sebagainya yang bisa diintegrasikan,” kata Misbach dalam acara bincang kebijakan “EMPOW(HER): Kolaborasi dan Inovasi untuk Keuangan Inklusif” pada Rabu, 13 November. 

Dia menambahkan, koperasi juga memberikan pendidikan literasi keuangan kepada pada anggota. “Output-nya adalah rencana keuangan keluarga, seperti untuk jaminan hari tua dan sebagainya,” kata dia.

Koperasi tidak hanya mendorong ribuan perempuan di Lumajang memiliki simpanan pensiun dan pendidikan anak, tetapi juga simpanan perlindungan keluarga bernama Simpanan Mandiri dan Bermartabat atau “Si Mantab.”

“Selama ini para petani, terutama perempuan, tidak bisa pinjam ke bank untuk modal pertanian karena tidak punya agunan. Mereka akhirnya terjerat rentenir hingga sistem ‘ijon’ kepada tengkulak,” kata Misbach.

Menurutnya, melalui koperasi yang didukung dengan pendampingan berbasis komunitas, mampu menyelamatkan perempuan dari jerat kemiskinan. “Sekaligus menyelamatkan masa depan mereka,” ujar dia.

Women’s World Banking (WWB), organisasi nirlaba pemberdayaan perempuan melalui inklusi keuangan,  mengatakan perempuan perdesaan banyak yang belum terjangkau layanan keuangan. Akses melalui koperasi, seperti yang diinisiasi Gemapalu, merupakan cara kreatif untuk mengatasi keterbatasan aksesibilitas layanan keuangan. 

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, untuk pertama kalinya tingkat inklusi keuangan perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Indeks inklusi keuangan perempuan sebesar 76,08%, sedangkan laki-laki (73,97%). Begitu pula dengan indeks literasi keuangan perempuan (66,75%) dibandingkan laki-laki (64,14%). 

Meski begitu, dilihat dari wilayahnya, tingkat literasi dan inklusi keuangan di perdesaan masih jauh tertinggal dibandingkan perkotaan. Indeks literasi keuangan perdesaan hanya 59,25%, sedangkan di perkotaan 69,71%. Kemudian indeks inklusi keuangan perdesaan hanya 70,13% dibandingkan perkotaan sebesar 78,41%. Ketimpangan ini juga terlihat dalam kepemilikan rekening bank di perkotaan dan perdesaan.

Riset WWB menunjukkan, masih ada 6,3% wilayah perdesaan di Jawa dan Sumatra yang sama sekali belum terlayani secara finansial. Sedangkan di Indonesia bagian tengah yang meliputi sebagian Kalimantan, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara, jumlahnya sebesar 11,5%. Di Indonesia bagian timur, yang meliputi Maluku dan Papua, angkanya semakin tinggi yakni 66,75%.

Analisis WWB menemukan, adanya penurunan jumlah layanan keuangan di wilayah Indonesia bagian timur, yakni sebesar 48% agen bank, 4% pegadaian, dan 14% alokasi ATM sejak 2018 ke 2022. 

“Salah satu alasan penurunan ini adalah perubahan strategis bank dalam rencana perluasannya, terutama ketika sebuah bank besar memutuskan untuk fokus pada pasar perkotaan," sebut WWB dalam “Perempuan Sebagai Ujung Tombak Keuangan: Inklusi Keuangan untuk Perdesaan yang Kurang Terlayani dan Belum Terlayani di Indonesia” yang dirilis April 2024.

Penyebab rendahnya inklusi keuangan di wilayah perdesaan, terutama daerah timur dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), adalah karena tantangan mobilitas yang terbatas, akses internet yang tidak memadai, hingga literasi keuangan digital yang masih rendah. 

Selain itu, perempuan di desa sering kali tidak memiliki aset dan properti yang dapat dijadikan jaminan untuk mengakses pinjaman. Di sisi penawaran, tantangan operasional, masalah konektivitas, dan terbatasnya infrastruktur, masih membatasi kemampuan penyedia jasa keuangan untuk terhubung dengan nasabah.

Dimulai dari Desa

OJK telah berupaya meningkatkan layanan keuangan di perdesaan melalui Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI). Program ini mencakup penyediaan edukasi keuangan masyarakat desa atau “Desaku Cakap Keuangan.”

“Kami berharap bisa melakukan pemberdayaan ekonomi starting from the village. Benar-benar penguatan hingga turun ke bawah,” kata Direktur Inklusi Keuangan OJK Edwin Nurhadi dalam acara “EMPOW(HER): Kolaborasi dan Inovasi untuk Keuangan Inklusif.”

Salah satu desa yang mengembangan EKI adalah Desa Kilfura di Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku. Desa ini termasuk ke dalam daerah 3T yang masuk dalam piloting pengentasan kemiskinan ekstrem Pemerintah Provinsi Maluku.

Survei yang dilakukan OJK pada awal 2024 menunjukkan, dari 183 responden di Desa Kilfura, hanya 14 yang memiliki rekening bank. “Dari 50 responden perempuan, hanya enam yang memiliki rekening atau 12%,” kata Novian Suhardi, Kepala Bagian PEPKLMS OJK Provinsi Maluku, kepada Katadata.co.id, Rabu, 13 November.

OJK bersama WWB kemudian melakukan literasi, sosialisasi, edukasi keuangan, hingga wirausaha di Desa Kilfura. OJK juga membawa perbankan dan mengintervensi penyedia layanan internet untuk masuk ke Desa Kilfura. Selain itu, OJK juga mengaktivasi agen Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif ‘Laku Pandai’. Hasilnya, per September 2024, terdapat 60 rekening baru yang tercatat di desa.

“Dari 60 rekening baru ini, 43 yang membuka adalah perempuan. Hasilnya, inklusinya jadi 86% untuk perempuan. Kenapa mereka lebih terinklusi? Mereka punya kesadaran untuk mengelola tabungan. Ibu-ibu di sana juga punya usaha, olahan sagu, kue-kue khas daerah sana,” kata Novian.

Dari sisi penyedia jasa keuangan, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), anak usaha Bank Rakyat Indonesia (BRI), fokus pada pembiayaan mikro yang juga menyasar perempuan di daerah 3T lewat program Mekaar. 

Mekaar memberikan pinjaman modal untuk perempuan pra-sejahtera pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memiliki keterbatasan akses keuangan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), 37 juta UMKM di Indonesia (64,5%) dikelola oleh perempuan

“Kami sudah punya empat ribu unit Mekaar, termasuk di daerah 3T. Kami punya unit di Natuna, Merauke, Rote, dan nanti Sabang kita akan buka. Jadi memang kami mencoba semua 3T harus kami jangkau,” kata Executive Vice President of Business Development and Management Services PNM, Razaq Manan, kepada Katadata.co.id, Rabu (13/11).

Mekaar melakukan pendampingan, pelatihan, dan membangun jejaring bagi para pelaku UMKM perempuan. Mekaar juga memberikan bantuan paket data bagi kelompok-kelompok nasabah UMKM yang aktif dalam kegiatan dan ketepatan bayar cicilan yang baik.

“Kami berharap ketahanan ekonomi keluarga nasabah dapat meningkat dan kemudian naik kelas. Kalau sudah naik kelas, mereka bisa mulai mengajukan pinjaman ke bank. Kalau itu terjadi, berarti pemberdayaan yang kita lakukan ini on track,” kata Razaq.

Menurut data Global System for Mobile Communications Association (GSMA), masih ada 26% perempuan UMKM Indonesia yang tidak memiliki ponsel. Dalam hal akses internet, baru 58% perempuan UMKM yang menggunakan internet dalam ponselnya. Sedangkan perempuan UMKM yang menggunakan mobile money baru 24%.

Tantangan yang Dihadapi

Baik OJK maupun PNM sama-sama menyebut masalah infrastruktur internet maupun transportasi sebagai tantangan dalam menjangkau daerah perdesaan di 3T. Desa Kilfura di Maluku misalnya, hanya bisa diakses dengan menggunakan kapal. 

“Di Indonesia belum semua wilayah terjangkau internet. Itu tantangannya. Belum masalah kondisi jalan dan sejenisnya. Itu tidak bisa hanya kami yang lakukan, tapi perlu kolaborasi dengan berbagai pihak,” kata Razaq Manan.

Hasil penelitian WWB menunjukkan masyarakat di Kalimantan, Maluku, dan Papua mengeluarkan biaya perjalanan lima hingga sembilan kali lebih banyak untuk mengakses layanan keuangan formal dibandingkan masyarakat Pulau Jawa. Selain itu ketersediaan internet yang menyokong pemakaian layanan keuangan digital juga masih menjadi tantangan khususnya di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.

Di wilayah perdesaan yang belum terlayani secara finansial, lebih dari dua ribu desa berjarak lebih dari 100 kilometer dari layanan keuangan. Dari segi akses internet, hanya 41% desa yang memiliki konektivitas broadband 4G/LTE.

Menurut WWB, pada lanskap yang sering diabaikan di wilayah terpencil, di mana isolasi geografis dan keterbatasan infrastruktur menghambat akses keuangan, pendekatan kolaboratif adalah kunci membuka potensi ekonomi perempuan.

Pada 13 November, Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) meresmikan pembentukan Satuan Tugas Jejaring Advokasi Inklusi Keuangan Digital Bagi Perempuan. 

“Di daerah-daerah terpencil, penting peran perempuan dalam pemberdayaan ekonomi. SK Satgas ini jadi wadah koordinasi, sinkronisasi, dan monitoring inklusi keuangan perempuan,” kata Deputi I Ekonomi Makro & Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian Ferry Irawan dalam acara bincang kebijakan ‘EMPOW(HER): Kolaborasi dan Inovasi untuk Keuangan Inklusif’.

Satgas terdiri dari pelaksana tugas di bidang kerja akses dan penggunaan layanan keuangan, bidang kerja layanan keuangan digital dan teknologi informasi, bidang kerja pemanfaatan data terpilah berdasar jenis kelamin, dan sekretariat. 

Berbagai kementerian hingga organisasi non-pemerintah turut terlibat di dalamnya, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), OJK, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Bappenas, serta Women’s World Banking.

Pemerintah juga tengah berencana memberikan insentif bagi pemerintah daerah yang Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) berhasil melakukan program literasi dan inklusi keuangan dengan baik.

“Semoga di pertengahan tahun 2025, kita bawa ke DPR melalui Menkeu. Di tahun 2026 awal, TPAKD Award dilakukan, kemungkinan besar juaranya sudah ada insentifnya,” kata Asisten Deputi Keuangan Inklusif dan Keuangan Syariah Kemenko Bidang Perekonomian, Erdiriyo, dalam acara yang sama.

Dalam rangka meningkatkan kesadaran publik, Katadata.co.id bersama Koalisi Inklusi Keuangan Digital Perempuan (IKDP), yang digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Women's World Banking, menyajikan edisi khusus Inklusi Keuangan Perempuan. Setiap bulan, tulisan terkait isu tersebut kami sajikan dalam bentuk artikel panjang dan mendalam.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami