Ketergantungan pada Media Sosial Ternyata Keliru

Ilustrator: Betaria Sarulina | Katadata
Penulis: Tim Redaksi
22/5/2018, 06.00 WIB

Perkembangan digital mengubah hampir seluruh aspek industri media. Bukan hanya model bisnis yang bergeser, perilaku pembaca dan cara memproduksi karya jurnalistik tak luput dari perubahan. Yang terbaru adalah penerapan teknologi kecerdasan buatan dalam memproduksi konten.

Perusahaan media raksasa seperti New York Times, Reuters, hingga Washington Post telah memanfaatkan kecerdasan buatan dalam produk jurnalistik mereka. Model bisnis media dan keahlian-keahlian jurnalisme yang selama ini kita kenal dapat terancam menjadi usang.

Dalam wawancara khusus dengan tim Katadata di sela-sela penyelenggaraan Asia Pacific Media Forum di Nusa Dua Bali beberapa waktu lalu, Deputi CEO Media Development Investment Fund (MDIF) Mohamed Nanabhay mengatakan perubahan lanskap industri media merupakan keniscayaan. (Baca juga: Model Bisnis Jadi Tantangan Terbesar Industri Media)

Tantangannya adalah, “Memastikan produk jurnalisme kita tetap mendalam dan berdasarkan riset,” kata Mohamed yang juga Strategic Advisor Katadata. “Serta mampu mengoperasikan berbagai perangkat teknologi untuk menghimpun data,” ujar mantan Kepala Online Al Jazeera English dan pendiri QatarLiving.com serta Signalnoi.se ini melanjutkan.

Mohamed juga anggota Dewan Direksi Global Voices Online dan Mozilla Foundation. Dia menerima gelar sarjana dalam bidang Ilmu Komputer di Universitas Witwatersrand dan master hubungan internasional dari Universitas Cambridge.

Bagaimana supaya perusahaan media bisa sukses di tengah perubahan teknologi saat ini?

Harus diakui bahwa kita berada di tengah perubahan yang didorong oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Kedua perkembangan teknologi tersebut akan menyentuh setiap aspek kehidupan. Bagi jurnalisme dan media, sangatlah penting segera mencari cara untuk menjamin kualitas produk editorial. Misalnya, memastikan para jurnalis betul-betul mampu memproduksi tulisan yang bertenaga.

Tak bisa dipungkiri kecerdasan buatan akan mengotomatisasi beberapa pekerjaan dan bidang jurnalisme. Seperti hasil pertandingan olah raga, pergerakan pasar, dan lainnya. Namun hal ini membuat ruang redaksi mestinya bisa mengerjakan riset dan laporan dengan data yang lebih kompleks. Juga, melakukan analisis mendetail untuk mengungkapkan cerita yang menarik.

Meski saya yakin dalam waktu dekat kecerdasan buatan dan machine learning belum mampu menggantikan jurnalisme, para jurnalis tetap mesti belajar untuk bekerja dengan berbagai teknologi ini. Misalnya, menggunakan kecerdasan buatan untuk menemukan pola dari suatu peristiwa. Selanjutnya kita berfokus menginvestigasi data untuk menemukan cerita-cerita yang penting. Kita tahu di masa lalu para jurnalis juga bekerja mencari pola dan benang merah dari setiap cerita. Sekarang kita telah terbantu dengan berbagai perangkat dalam menemukan benang merah dari setiap data yang tersaji, sehingga kita bisa berfokus menginvestigasi data-data tersebut secara lebih mendalam.

Perangkat keterampilan apa saja yang mesti para jurnalis miliki supaya bisa berhasil?

Tentu yang utama adalah kekuatan riset, bagaimana jurnalis mampu meriset, menganalisis data, dan melakukan investigasi. Sebab, yang terjadi beberapa tahun belakangan adalah meningkatnya kecepatan informasi. Media dituntut bekerja lebih cepat seiring isu beredar demikian cepat di media sosial. Sehingga, para jurnalis mesti membuat tulisan dalam tempo yang juga cepat untuk mengimbangi. Alhasil, lomba adu cepat ini berdampak pada kualitas tulisan yang kian rendah.

Saya pikir, kita memang harus cepat, tapi juga harus menjamin kualitas tulisan tetap terjaga. Untuk membuat berita yang bisa dikonsumsi pembaca, kita harus mampu menjaga keseimbangan kecepatan dan kualitas. Caranya dengan memastikan produk jurnalisme kita tetap mendalam dan berdasarkan riset, serta mampu mengoperasikan berbagai perangkat teknologi untuk menghimpun data.  

Banyak perusahaan media online yang mengandalkan investasi besar-besaran untuk meningkatkan brand awareness di publik. Faktor apa saja yang harus diperhatikan perusahaan media agar berkelanjutan tanpa terus mengandalkan investasi?

Seringkali ketika kita berpikir tentang perlunya menggelontorkan dana besar-besaran untuk mensukseskan suatu bisnis, kita selalu membandingkannya dengan perusahaan-perusahaan lain yang mengandalkan platform internet. Ide dasar dari internet adalah bagaimana memperoleh economic of scale. Artinya, mengandaikan bahwa kalau bisa memperbesar skala bisnis bakal mampu memperluas jaringan.

Banyak kisah sukses dari berbagai perusahaan internet yang mengandalkan cara ini, Google misalnya. Dengan economic of scale, kita ingin memperbesar modal dan penetrasi pasar, selalu berpikir apabila bisnis ingin menjadi besar harus mampu menjangkau setiap orang. Sehingga, kalau bisnis hanya mampu menghasilkan beberapa sen saja dari setiap orang, dengan skala yang besar bisa mendulang uang banyak.

Persoalannya, cara berpikir demikian kerap dipakai dalam mengelelola bisnis media. Kita hanya berpikir memperbesar skala bisnis agar berbagai persoalan dengan model bisnis kita bakal selesai dengan sendirinya. Banyak contoh belakangan ini menunjukan kenyataan sebaliknya. Meski kita punya 100 juta atau lebih page views, belum tentu sebanding dengan pendapatan iklan, misalnya. Bahkan boleh jadi tidak memperoleh imbal balik dari investasi yang dikeluarkan.

Pelajaran yang bisa diambil adalah bagaimana betul-betul memikirkan bisnis model dan tidak cuma berpikir tentang memberbesar skala bisnis. Bisnis model yang kuat adalah bisnis yang terhubung langsung dengan audience. Dengan menyediakan jurnalisme berkualitas, audience dengan sendirinya bakal mau membayar konten yang kita buat, seperti dengan berlangganan, membership, dan lainnya. Hanya dengan memikirkan bisnis model masak-masak, perusahaan media mampu bertahan.

Mohamed Nanabha (Katadata)

Perilaku pembaca berubah seiring perkembangan digital dan sosial media. Bagaimana perusahaan media tetap terhubung dengan pembacanya di tengah maraknya konten di berbagai platform?

Ini adalah pertanyaan yang sangat penting. Ketika pertama kali platform sosial media muncul, kita begitu tertarik dengan ukuran dan cakupan audience yang bisa kita raih. Saya adalah salah satu orang di departmen Al Jazeera's New Media yang sangat bersemangat untuk memanfaatkan media sosial guna meraih pembaca baru, khususnya yang berusia muda. Media sosial didominasi oleh pembaca muda. Mereka punya cara yang berbeda dengan kita yang terbiasa mengkonsumsi informasi dari koran. Mereka benar-benar mengandalkan Twitter dan media sosial lainnya untuk tetap terhubung dengan dunia. Karenanya, kami berpikir untuk mengantarkan semua produk jurnalisme lewat Twitter.

Kendati insting kita masuk ke media sosial memang tepat, ketergantungan pada sosial media ternyata keliru. Karena, yang kita lakukan sebenarnya memberi kekuasaan pada platform media sosial dan tetap memberikan produk pada pembaca dengan cara yang sama. Meski kita punya pengikut di Facebook dan Twitter yang sangat banyak, jika platform media sosial tersebut menghendaki perubahan dalam algoritma mereka, perilaku para audience pun berubah. Akhirnya investasi yang kita keluarkan untuk sosial media jadi percuma.

Sehingga saya berpikir, semestinya pendekatan yang media lakukan adalah membuat audience tertarik pada isi yang kita punya. Benar media mesti terhubung dengan audience-nya, tapi persoalan sesungguhnya adalah bagaimana terhubung secara langsung. Bagaimana membuat mereka mengenal brand kita, mengetahui produk kita, misalkan melalui email atau website. Intinya, bagaimana berhubungan dengan audience dengan cara yang dapat kita kontrol.

Tentu saja kita masih memerlukan sosial media. Tapi kita harus menjamin bahwa investasi yang kita keluarkan untuk sosial media, Instagram, Snapchat, atau apapun sesuai dengan yang ingin kita peroleh.

Jadi, bisakah tetap mengandalkan media sosial untuk menyebarkan konten berita?

Sekali lagi, kita masih memerlukan media sosial. Kita tidak bisa sepenuhnya mengabaikan itu. Tapi kita tidak boleh menyerahkan seluruhnya pada media sosial, harus tetap punya cara untuk bisa berhubungan langsung dengan pembaca.

Adakah alternatif lain jika Facebook memblokir konten-konten dari media?

Ada, banyak malah. Kalaupun Facebook memblokir isi dari media, masih ada Twitter. Tapi itu hanya satu bagian saja. Bagian lainnya adalah cara terhubung dengan pembaca secara langsung. Misalnya, membuat mereka berlangganan layanan newsletter. Kita masuk ke dalam inbox email mereka.

Penggunaan big data semakin krusial seiring pesatnya pertumbuhan perusahaan yang mengandalkan platform digital. Bagaimana perusahaan media bisa mengakses dan memanfaatkan data tersebut untuk menghasilkan produk yang bermutu dan relevan?

Tentu ada perusahaan yang bisa melakukan ini seperti Katadata. Ini adalah perusahaan yang mahir dalam mengolah dan menggunakan data untuk produk jurnalistik. Saya pikir, meski sekarang hampir semua orang membicarakan jurnalisme berbasis data, saya tidak yakin ada banyak perusahaan yang mampu mengaplikasikannya dari sisi editorial. Saya melihat banyak perusahaan media menggunakan big data bukan di tataran konten, tapi hanya di tataran advertising dan marketing saja.

Kita melihat banyak perusahaan mulai memanfaatkan big data. Tapi hanya sekadar mencari insight untuk mengoptimalkan produknya dan memperoleh revenue. Padahal, kalau mereka mampu memanfaatkan data bisa untuk memproduksi tulisan berbasis data. Memang itu mesti meluangkan sumber daya untuk meningkatkan keterampilan para jurnalisnya dalam membaca dan mengolah data. Perusahaan media juga perlu masukan dari ahli-ahli statistik agar mengetahui cara memanfaatkan data-data ini lebih jauh lagi.

Seberapa relevan jurnalisme data mampu memproduksi konten bermutu?.

Saya pikir sangat relevan dalam banyak cara. Misalnya, dalam memberi insight mengenai apa yang terjadi dengan perekomian dan sebagainya. Untuk dapat melakukan itu harus mampu mengekstraksi cerita dari data-data yang jumlahnya sampai jutaan. Tahap berikutnya adalah menampilkan data-data tersebut dengan menarik dan mudah dipahami oleh pembaca. Kalau bisa melakukannya tentu akan mendapat apresiasi yang luar biasa dari pembaca.

Jadi dalam jurnalisme berbasis data ada dua bagian. Pertama, analisis data untuk menghubungkan cerita yang kita temukan. Kedua, menampilkannya dengan cara yang menarik dan berguna bagi audience. Khusus bagian kedua, kita mesti mampu menampilkan dengan berbagai visualisasi yang mutakhir, misalnya dengan grafik, chart, atau visualisasi data yang cantik.

[Bahan Laporan dari Muhammad Firman EP]