Pernyataan "Indonesia kaya minyak dan gas bumi (migas)", bisa jadi tinggal kenangan. Jika menengok data lima tahun terakhir, cadangan minyak bumi di Indonesia terus menurun.
Pada 2012, Indonesia masih memiliki cadangan minyak 3.741,3 juta barel. Namun pada 2016, hanya tersisa 3.306,9 juta barel. Sedangkan cadangan gas bumi lebih berfluktuatif. Pada 2012, cadangannya masih sebanyak 103,3 tscf, namun turun menjadi 98 tscf tahun 2015. Tahun lalu, jumlahnya kembali meningkat jadi 101,2 tscf.
Namun, menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial, potensi migas di Indonesia sebenarnya masih besar. Ia mengklaim potensi migas tersebar di 128 cekungan tapi belum bisa dioptimalkan.
“Kita memang tidak kaya (migas) saat ini karena aktivitas masih kurang,” ujar Ego saat wawancara khusus dengan wartawan Katadata, Arnold Sirait, Yura Syahrul, dan fotografer Arief Kamaludin di kantornya, Jumat (25/8).
Dalam wawancara selama sekitar satu jam, mantan Kepala Badan Geologi ini memaparkan potensi migas di Indonesia, tantangan dan terobosan yang dilakukan Kementerian ESDM untuk menggairahkan sektor migas, termasuk mengenai skema baru gross split. Berikut petikan wawancara tersebut.
Apakah Indonesia masih kaya minyak?
Kita memang tidak kaya saat ini karena aktivitas masih kurang. Tapi secara cekungan -semacam tungku yang terdapat minyak- itu ada 128 dan skalanya basin. Contohnya adalah cekungan Sumatera Selatan itu terdiri dari Lapangan Duri dan Minas yang memiliki potensi besar minyak.
Dari total 128 cekungan itu, baru 40% yang dieksplorasi. Dari 40% itu juga hanya sedikit yang sudah berproduksi. Jadi masih ada 60% yang belum pernah disurvei seismik, apalagi dibor. Walaupun secara seismik sudah mendapatkan bentuk perangkap hidrokarbon, kepastian ada minyaknya memang membutuhkan pengeboran.
Bagaimana upaya Kementerian ESDM memaksimalkan 128 cekungan itu?
Dulu Badan Geologi dan Direktorat Jenderal Migas jalan sendiri-sendiri. Sekarang mereka memiliki bilateral tripartit. Kami sedang memudahkan agar badan usaha mau terjun ke situ. Kan tidak menguntungkan, risiko tinggi, investasi besar, dan tergantung harga minyak.
Apakah pemerintah ke depan akan fokus ke gas karena tren kenaikan liftingnya?
Kalau melihat laju pengurasan dibandingkan penambahan cadangan, rasio di minyak memang jauh sekali. Yang ideal itu satu barel diambil, kami harus dapat satu barel. Namun, ini satu barel kami ambil, dapatnya 0,2 barel. Artinya hanya 20%.
Sedangkan kalau gas relatively 100%, atau 80%. Kebetulan cadangan terbukti gas hampir 100 triliun.
Apa artinya cadangan minyak tidak ada?
Bukan berarti minyak tidak ada. Hanya memang belum menyisir Indonesia Timur. Sementara temuan seperti Blok Masela itu targeted, yang pasti ada di situ.
Contohnya di Kepulauan Irian. Belum ada yang masuk ke situ. Yang melakukan seismik 2D, 3D. Halmahera minyak bumi.
Apa kendala yang dihadapi investor untuk menyisir Indonesia Timur?
Sebelum menjabat Direktur Jenderal Migas, banyak yang bilang ke saya kalau melakukan survei migas mungkin tidak perlu izin. Tapi begitu masuk ke daerah, kami harus berurusan dengan pemerintah daerah, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK).
Apa hambatan lainnya?
Waktu menjabat Kepala Badan Geologi, kami ingin melakukan survei di laut. Begitu akan dilakukan survei, tiba-tiba muncul kapal lain. Padahal, kegiatan seismik itu membutuhkan kapal yang tenang dan tidak boleh ada gangguan. Makanya, kapal seismik di Indonesia itu dikawal untuk menghindari gangguan dari kapal nelayan, rumpon dan segala macam.
Memang risikonya besar juga, selain masalah perizinan. Akhirnya, kami melakukan survei di lokasi yang sangat tenang seperti Masela, laut dalam, dimana orang susah ke situ.
Apakah lokasi di daerah terpencil juga menghambat penemuan cadangan dan eksplorasi migas di Indonesia?
Boleh dibilang kalau Indonesia di bagian tengah setelah Balikpapan ke timur, aktivitas seismik 0,001 % dari seluruh area. Idealnya seluruh daerah termasuk Indonesia Timur harus kami scan di mana potensinya. Badan Geologi sudah mengidentifikasi kalau kita memiliki 128 cekungan. Hampir 60-70% itu ada di kawasan timur Indonesia. Di Barat itu sudah (disurvei) karena secara geografis dan infrastruktur lebih murah.
Di tengah kondisi rendahnya harga minyak, apakah kontraktor asing masih punya minat besar di Indonesia?
Masih (berminat). Contohnya, lapangan yang sudah mature seperti di Blok Mahakam, mereka (Total E&P Indonesie) masih mau untuk berinvestasi.
Kita sangat berpotensi, seperti yang tadi saya bilang. Masih ada 50-60% yang belum kita apa-apakan. Itu dalam industri migas harus dilakukan seismik, baik 2D atau 3D. ujungnya dibuktikan pengeboran.
Bagaimana peluang kenaikan lifting migas seiring dengan tercapainya puncak produksi Lapangan Banyu Urip dan mulai beroperasinya Lapangan Jangkrik?
Memang yang bisa menaikkan produksi signifikan kalau ditemukan cadangan sekelas Blok Cepu. Namun bukan berarti yang eksisting tidak ada. Yang namanya produksi migas adalah fungsi dari jumlah sumur. Kalau jumlah sumur ditambah, produksi pasti meningkat. Tapi dengan harga minyak sekarang, kendalanya adalah biaya.
Dengan skema baru gross split, apakah kontraktor masih berminat investasi terutama di daerah terpencil?
Kalau melihat skema gross split, salah satu variabel split adalah new frontier area. Sudah kami pertimbangkan ma salah itu. Selama ini kita terpaku pada Blok Masela.
Dalam Peraturan Menteri Nomor 52 tahun 2017, untuk daerah wilayah kerja yang sama sekali belum tersedia infrastruktur penunjang minyak dan gas bumi (new frontier), pemerintah memberikan tambahan bagi hasil. Untuk wilayah darat ada tambahan 4%, sedangkan lepas pantai 2%.
Apakah skema baru gross split bisa meningkatkan cadangan dan eksplorasi migas?
Saya memang belum bisa membuktikan skema gross split pasti meningkatkan cadangan migas. Kami harus membuktikan hal tersebut. Yang jelas, hanya dalam 20 hingga 30 tahun terakhir, penemuan cadangan itu hanya Lapangan Minas atau Duri. Blok Cepu memang sangat exceptional, dan itu hanya satu-satunya. Tapi dengan potensi resources yang diperkirakan di atas 50 miliar, pencapaian sejauh ini tidak seimbang.
Apa saja manfaat skema gross split bagi negara?
Prinsipnya pemerintah ini menjalankan amanat undang-undang. Artinya, sumber daya alam kita betul-betul bermanfaat untuk sebesar-besarnya kemakmuran. Itu filosofi yang tidak bisa ditawar.
Di satu sisi dunia berubah, arahnya transparansi dan efisien. Dari sisi cadangan kita sudah tahu tidak bertambah dari 20 hingga 30 tahun terakhir, tapi masih percaya dengan sistem ini. Tentunya kami harus coba cara lain.
Kenapa perlu cari cara lain? Karena periode perminyakan di Indonesia 10 tahun eksplorasi dan 20 tahun masa eksploitasi itu periodenya panjang. Gambarannya begini, hanya sekitar 80 kontraktor dari 377 kontraktor kontrak kerja sama di Indonesia yang produksi. Sisanya eksplorasi.
Jadi proses bisnisnya makin rumit dan risiko yang ditanggung terlalu besar, tapi tidak ada timbal balik. Makanya kami coba cara lain. Cara gross split kan lebih fair.
Selain perubahan skema kontrak, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengeksplorasi cadangan?
Pemerintah dalam 10 hingga 15 tahun terakhir ini mendengar. Contohnya, Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 yang selama ini dirasakan menghambat, akhirnya kami ubah. Artinya pemerintah tidak berhenti memberikan perbaikan dan insentif. Karena memang tujuannya adalah ini sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Setelah kami perbaiki perpajakan, paralel dengan perbaikan kontraknya.
Beberapa blok yang kontraknya akan berakhir dan berganti menggunakan skema gross split. Apakah penerimaan negara bisa bertambah?
Selama ini yang produksi 500– 1.000 barel tapi mengklaim biayanya hampir sama (dengan yang produksi lebih besar). Tidak ada jiwa efisiensi. Kalau gross split dijalankan seluruhnya maka akan efisien. Periode mendapatkan first oil yang selama ini panjang justru akan lebih cepat.