Hariyadi Sukamdani: Kami yang Dorong Tax Amnesty

Arief Kamaluddin | Katadata
Penulis: Muchamad Nafi
6/3/2016, 07.00 WIB

Anda melihat seperti apa kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini?

Kebanyakan dibuat secara parsial. Saya segera mengundang pansus dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Bapak Basuki Hadimuljono ke kantor Apindo untuk berdialog. Amanat Presiden soal Tapera sudah keluar zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tidak bisa ditarik. Jadi terus terang, sekarang saya dan teman-teman menyiapkan diri untuk kerja keras. Kami tidak bisa rely on di pemerintah maupun parlemen. Harusnya kami bisa menggunakan waktu untuk ekspansi usaha, tapi malah mengurusi hal-hal seperti ini. Betapa tidak produktifnya waktu kami.

Ada hal lain yang dikeluhkan pengusaha kepada Anda?

Pak Anton Supit telepon saya. Urusan daging ayam. Dia mengeluh, “Bagaimana ini, Pak. Sekarang jagung kurang. Kalau sudah kurang jagung, ayam mau dikasih makan apa? Ayam-ayam induk sudah dipotong karena takut mati akibat kurang pangan.” Akhirnya, harga daging ayam naik. Supply jagung tidak ada karena impor dilarang.

Jadi ini bukan karena ada mafia?

Kalau ada mafia, tunjukkan, berantas. Kan punya aparat, bisa menyadap, bisa segala macam. Masa negara kalah sama mafia. Kami tidak pernah tahu mafianya di mana. Apalagi yang dibilang tujuh samurai itu. Saya tidak pernah lihat tuh samurainya. Yang saya takutkan, ini hanya diada-adain. Seperti beras kemarin. Disinyalir ada beras siluman. Buktikan silumannya di mana.

Di luar kebijakan pemerintah soal Tapera dan larangan impor, apakah pengusaha sepakat dengan pengampunan pajak atau tax amnesty?

Memang kami yang dorong. Sebenarnya simple, kita mau jadi negara besar atau tidak. Kami mendorong teman-teman pengusaha yang “masih mau enaknya sendiri” untuk masuk. Namanya pengusaha, tidak bisa dipungkiri ada yang economic animal. Kapitalis. Tapi mereka tidak bisa seenaknya begini. Cari makan di sini, taruh uang di luar negeri. Sebagian dari mereka bahkan enteng saja mengubah kewarganegaraan.

Jangan melihat tax amnesty dari sisi uang tebusannya, yang diperkirakan Menteri Keuangan Rp 70 – 80 triliun. Saya tidak tahu nilai sebenarnya. Yang menjadi poin penting dari pengampunan pajak adalah kita akan memiliki data wajib pajak sebagai database yang bagus bagi negara. Apalagi momentumnya pas, menjelang automatic exchange of information.

Kalau demikian, mengapa harus ada tax amnesty? Toh pada 2018 saat berlaku automatic exchange of information dijalankan, semua data akan terbuka.

Begini. Itu nanti malah akan mengakibatkan orang… Sudahlah, kan saya bilang pengusaha itu ada yang economic animal. Ada saja cara mereka, mau raib ke mana. Sekarang untuk apa lari-lari seperti itu. Afrika Selatan yang bunuh-bunuhan antaras saja bisa berdamai, rekonsiliasi. Masa kita urusan begini tak bisa rekonsiliasi.

Sudahlah yang dulu maling, ngaku saja maling. Yang dulu koruptor, sepanjang dia tidak dalam proses pengadilan, di-ini saja. Untuk apa melihat ke belakang. Negara ini butuh pendanaan jangka panjang yang lebih besar. Dari penduduk Indonesia yang super kaya, berapa gelintir sih yang menyumbang ekonomi Indonesia?

Apakah para pengusaha bersedia menjalani tax amnesty?

Mereka malah menunggu. “Kapan nih Mas?” mereka tanya. Saya bilang, “Tunggu, bulan Maret ini Insya Allah. Tax amnesty harus dikerjakan, tarifnya juga mesti dibikin kompetitif.

Halaman:
Reporter: Metta Dharmasaputra, Maria Yuniar Ardhiati