Pandemi Covid-19 Bisa Berlanjut hingga 2023, Tak Bisa Andalkan Vaksin

Katadata
Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Dr Tri Yunis Miko Wahyono (Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo)
17/1/2021, 09.00 WIB

Kalau tidak ketahuan, berarti kita harus membeli lagi vaksin yang sama. Ini akan terus berulang kecuali satu, pemerintah meningkatkan tes di semua provinsi dan kabupaten, kemudian isolasi dan karantina diperkuat. Selain itu daerah juga harus serius melakukan PSBB.

Jadi apa yang perlu dilakukan pemerintah selain vaksinasi ?

Pertama, tesnya harus cukup dan sesuai standar WHO. Kedua, karantina dan isolasi begitu kasus ditemukan, begitu juga semua yang kontak harus dikarantina dengan baik. Kalau kasus masih sedikit, kedua ini sudah cukup. Tapi begitu kasusnya sudah pandemi, maka harus dilakukan kontrol dengan lockdown atau social distancing.

Harus dilakukan PSBB. Nah saat ini di Indonesia sudah masuk pada wabah dan positivity rate-nya juga terus meningkat. Jadi menurut saya di semua provinsi yang (zona) oranye dan merah harus dilakukan PSBB dan dilihat apakah bisa dilakukan mulai dari RW hingga kecamatan.

Berarti pembatasan harus dilakukan dengan ketat walaupun sudah ada vaksin ?

Karena pemerintah belum bisa vaksinasi semua orang, kita baru akan pakai 3 juta dosis vaksin dan itu harusnya untuk petugas kesehatan saja. Kemudian hingga akhir tahun itu vaksin seharusnya diprioritaskan pada daerah wabah saja. Sedangkan isolasi dan tes bisa dilakukan pada pada daerah yang jumlah kasusnya sedikit. Itu sudah cukup. Bahkan harusnya PSBB jangan diturunkan sebelum terjadinya (penurunan) endemis. Kita baru sadar sekarang.

Dengan kata lain, pembatasan harus terus diperketat sampai dengan seluruh imunisasi rampung dikerjakan ?

Kalau masih wabah, seharusnya tetap dilakukan PSBB atau PPKM. Jadi bukan alasannya ada vaksin, tapi karena kasus masih bertambah sehingga jangan dicabut.

Berbicara tentang kasus Covid-19 saat ini. Posisi kurva epidemiologi kita ada dimana ?

Saya menjadi ahli dari beberapa kota seperti di Jabodetabek, kalau saya lihat kurvanya memang beragam, ada yang tetap bertahan atau bisa diturunkan. Jadi kalau ada yang (kasusnya) masih naik disetop dengan PSBB, protokol kesehatan, dan karantina isolasi deteksi.

Dengan lonjakan kasus yang terus terjadi, apakah puncak pandemi sudah terlihat ?

Jadi kalau wabah yang sifatnya profegetik atau satu sumber, dia hanya membentuk segitiga dengan puncak di atas. Jadi puncaknya akan ketahuan. Kalau wabah Covid-19 ini menular dari orang ke orang, kurva mingguannya bisa naik, turun, habis itu naik lagi. Jadi mau puncak yang mana?

Dari permodelan yang anda bikin seperti apa ?

Ada banyak puncak di kurva wabah Covid-19, jadi bisa dibayangkan. Jadi kalau lihat kumulatifnya akan meningkat terus dan mulai melandai pada waktu ada penyuntikan (kumulatif) 100 juta dosis di bulan Juni. Tapi itu baru sedikit turun. Kemudian bulan desember 2021, juga sedikit turun. Jadi kalau sekarang lonjakannya masih sekitar 8.000 per hari, kalau bulan Desember ada 4.000 atau 3.000 (per hari). Memang sudah turun, tapi masih ada ribuan.

Apa dampaknya dalam dua tahun kalau Indonesia masih tak melakukan langkah untuk memutus rantai penularan ?

Mungkin negara lain untuk sementara akan melarang warganya pergi ke Indonesia tahun 2022 apalagi kalau mereka bisa lebih cepat keluar dari pandemi dibanding kita. Malaysia sempat 3 bulan lebih melakukan lockdown, kita baru dua minggu PSBB sudah teriak-teriak.

Dengan kata lain, Indonesia bisa terisolasi jika kasus tak juga turun ?

Iya betul. Saya pikir pemerintah akan serius melibatkan banyak ahli.

Dari segi tes, berapa angka ideal yang perlu dipacu saat ini ?

Satu per seribu. Contoh, kalau 160 juta penduduk di Pulau Jawa, maka tes harus 160 ribu per hari.

Berarti saat ini masih belum ideal ?

Betul. Di india saja ditemukan kasus 50 ribu sehari. Bayangkan tes yang dilakukan berapa.

Halaman: