Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menjalankan program reforma agraria di antaranya dalam bentuk membuat pemetaan sosial dan spasial wilayah adat. Proses pemetaan di Indonesia, termasuk wilayah adat Tanah Papua, mustahil dikerjakan tanpa melibatkan berbagai pihak.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, ada lima persyaratan untuk mendapatkan pengakuan bagi masyarakat adat yaitu sejarah masyarakat hukum adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan benda-benda adat, serta kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Kolaborasi berjalan antar Kementerian/Lembaga terkait di tingkat pusat, pemerintah daerah, juga organisasi masyarakat sipil (CSO) untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.
"Ini butuh komunikasi yang lebih intensif, lebih dalam. Kalau sudah klop, sosial dan spasial ketemu, kami mulai mengarah ke yang lebih jauh, soal pengakuan hak dan seterusnya," kata Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra menceritakan proses kolaborasi yang berlangsung.
Surya mengatakan dalam proses pembuatan pemetaan wilayah adat ini perlu dijalankan dengan hati-hati lebih sensitif. Kehati-hatian itu penting untuk menghindari masalah baru, karena tanah ulayat merupakan kepemilikan yang bersifat kolektif. "Hal itu yang (membuat) kami belajar, perlu kami pahami dulu," kata dia.
Berikut wawancara lengkap Surya dengan Chief Content Officer (CCO) Katadata, Heri Susanto dalam forum Sustainable Action for the Future Economy (SAFE) pada Kamis, 26 Agustus 2021.
Bagaimana implementasi Inpres No 9 Tahun 2020 mengenai Percepatan Pembangunan dan Kesejahteraan di Tanah Papua?
Dalam Inpres No 9 Tahun 2020 ada 4 hal yang menjadi tugas ATR/BPN. Pertama, melaksanakan Reforma Agraria dengan mempertimbangkan kontekstual Papua. Kedua, mendorong kepastian hukum hak atas tanah. Ketiga, fasilitasi penanganan hukum terkait pemanfaatan tanah ulayat. Keempat, memberi dukungan pelaksanaan proyek percepatan pembangunan khususnya di Lapago, Jayapura, dan Merauke.
Dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 mencantumkan program strategis nasional. Kementerian kami menjadi leading sector di program Reforma Agraria. Selama dua tahun saya menjabat sebagai Wakil Menteri, kami dua kali mengunjungi Papua dan dua kali ke Papua Barat. Laporan kunjungan kerja tersebut jadi bahan untuk kami pelajari dan dalami.
Hal pertama yang kami lakukan adalah pemetaan sosial dan spasial wilayah adat karena menjadi pondasi kerja-kerja selanjutnya, seperti perencanaan dan pembagian tata ruang. Kami membantu pemerintah provinsi dan kabupaten untuk melihat ruang bermainnya di mana.
Sejauh ini perkembangan Reforma Agraria di Papua seperti apa?
Masyarakat adat di sana sudah menguasai sosial budaya sejak lama. Pekerjaan rumahnya, bagaimana memasukkan klaim masyarakat adat masuk dalam logika kerja-kerja pemerintahan dan pembangunan.
Kami mengkombinasikan pendekatan kadastral dengan klaim masyarakat adat itu sendiri. Kedua upaya ini perlu hati-hati, perlu lebih sensitif. Kalau tidak, nanti malah bisa menimbulkan masalah baru, karena tanah ulayat itu kepemilikannya itu kan kolektif, bukan individual. Itu yang kami perlu belajar, perlu kami pahami dulu.
Selain pengakuan atas tanah masyarakat adat, apakah ada konsep lain yang menunjukkan kepastian hukum?
Dalam Inpres disebutkan pengakuan dan perlindungan. Ketika nanti ada ruang yang akan dijadikan pembangunan, mau ada pengalihan hak dan segala macam, kita menjamin. Jadi ada kepastian masyarakat adat sendiri juga investor apabila suatu saat mau memanfaatkan, kita bisa bernegosiasi.
Saya melihat banyak sekali dukungan yang dilakukan pemerintah daerah Tanah Papua. Pemdanya sangat aktif. Ada otonomi khusus (otsus) yang peduli dengan orang asli Papua. Kami dari pemerintah pusat harus memahami, bagaimana suasana kebatinannya, apa yang menjadi catatan untuk kita perbaiki ke depannya sesuai aturan yang ada, baik itu ketentuan otsus, maupun penganggaran yang tersedia, peluang pengembangan, juga kebutuhan masyarakat.
Apa tantangan terberat yang dihadapi Kementerian ATR/BPN untuk mewujudkan sertifikasi tanah masyarakat adat?
Kalau saat ini lebih ke sumber daya manusia. Target juga masih tinggi banget. Untuk turun ke bawah itu perlu kolaborasi. Itu yang sedang kita coba gali. Kerjasama dengan Pemda Jayapura, kita bikin MoU antara Kanwil ATR/BPN Papua dengan Bupati Jayapura untuk menghubungkan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Saya, Wamen, ditunjuk sebagai Kepala Gugus Tugas di pusat.
Di Papua ada Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA). Kita coba kolaborasikan antara GTMA dengan GTRA untuk sama-sama melakukan survei partisipatif yang melibatkan masyarakat, dibantu masyarakat sipil dan kepala daerah.
Survei yang dilakukan masyarakat dan pemda disinkronkan dengan apa yang dikerjakan otoritas pendaftaran tanah, yaitu kementerian ATR/BPN. Artinya masyarakat harus diajari dulu, bagaimana melakukan survei, sehingga nanti dikolaborasikan dengan juru ukur ATR/BPN. Kalau hasilnya masuk rencana tata ruang, kementerian atau lembaga lintas sektor harus mengacu ke situ.
Sudah kompak kah kolaborasi antara masyarakat sipil, pemerintah, dan juga masyarakat adat?
Teman-teman masyarakat sipil (CSO) ini kan sudah bergerak duluan. Mereka juga punya target. Sekarang kita coba saling melengkapi. Memahami proses masing-masing sudah sampai mana, kemudian disinkronkan. Ini butuh komunikasi yang lebih intensif, lebih dalam. Kalau sudah klop, sosial dan spasial ketemu, kita mulai mengarah ke yang lebih jauh, soal pengakuan hak dan seterusnya.
Contoh organisasi masyarakat sipil yang sudah bergerak di sana dan bekerja sama erat dengan pemda maupun pemerintah pusat?
Di Jayapura ada BRWA yang mendampingi pemda. Mereka pun berjejaring lagi di sana dan masyarakat adat sendiri terlibat. Untuk Papua Barat ada Econusa. Mereka melakukan evaluasi perizinan bersama pemerintah provinsi dan difasilitasi oleh KPK.
Hal-hal begini saya baru belajar. Oh, ternyata sudah banyak sekali inisiatif. Kami tidak berniat ngatur-ngatur. Yang sudah jalan, bagus, lanjutkan. Tinggal mana yang bisa kami bantu, mana yang kementerian bisa dukung. Lebih ke kolaborasi.
Papua ini kan jauh. Kita butuh orang yang standby di sana, memerhatikan terus menerus. Tidak mudah memahami papua. Paling tidak saya memahami bahwa ini harus lebih hati-hati, tidak serta merta top down maunya pusat bagaimana. Kita sinergikan dulu, kita pahami dulu situasinya. Kemudian kita sama-sama menyusun guidline ke depannya seperti apa. Potensi dan peluang apa saja yang mungkin bisa dikembangkan di sana.
Artinya, apa yang sudah dilakukan CSO ini juga meringankan tugas pemerintah?
Buat saya iya. CSO di sana macam-macam. Tantangannya malah komunikasi di antara CSO itu sendiri. Saya bantu komunikasi antara CSO dan pemerintah. Inisiatif-inisiatif ini penting. Kita punya keterbatasan soal dana dan sumber daya manusia. Jadi tantangan struktural ini bisa diisi oleh CSO. Saya kira ini penting sekali. Khususnya, paling tidak, untuk konteks Papua.
Sejauh ini bagaimana dukungan K/L yang terlibat GTRA sehingga bisa membantu peningkatan kemakmuran masyarakat Papua?
Sudah bagus, tapi tantangannya memang di koordinasi. Jadi perlu ada yang menanyakan dan mengingatkan kembali. Itu tugas saya. Karena rata-rata bergerak sendiri dan tidak bersinergi. Nah, itu yang kita coba dekatkan, susun, dan diprogramkan di GTRA. Lalu ternyata ketemu, ada tantangan dari regulasi, budaya, hingga fasilitator yang menjembatani.
Apa saja poin indikator dalam penyusunan tata ruang berbasis mitigasi iklim?
Sejak adanya Peraturan Menteri ATR No. 8/2017 tentang Pedoman Pemberian Persetujuan Substansi dalam Rangka Penetapan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Provinsi dan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota, dalam RTR (Rencana Tata Ruang) daerah seluruh Indonesia hampir bisa dipastikan telah membuat aspek pencegahan dan mitigasi bencana.
Artinya perubahan iklim jadi bagian yang inheren dalam penyusunan RTR. Namun, dengan kedalaman, kelengkapaan, dan kualitas yang berbeda-beda. Nah, kalau dibutuhkan detail di salah satu lokasi tertentu, kita buat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Banyak sekali faktor untuk memahami potensi kebencanaan dan mitigasinya seperti apa. Misalnya ketersediaan data peta kebencanaan yang akurat, skala peta yang memadai, dukungan SDM penyusunnya itu sendiri, juga dukungan politis pemda (karena dulu DTR harus perda jadi pembuatannya oleh pemda dan DPRD).
Lalu kita punya tools Persetujuan Substansi (Persub) Menteri ATR/BPN pada rancangan perda. Dirjen Tata Ruang akan memberikan evaluasi penguatan strategis, di antaranya aspek mitigasi bencana dalam rancangan tata ruang daerah. Sebetulnya ini sudah terintegrasi dalam penguatan RTR, tinggal pengendaliannya saja. Karena RTR normatifnya ada, tapi sering tidak dijalankan.
Kita juga coba dorong penguatan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) untuk membantu bagaimana menyiapkan potensi-potensi pencegahan dan mitigasi kebencanaannya seperti apa. Selanjutnya mengaitkan RDTR dengan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang). Tujuannya mengetahui cara memanfaatkannya setelah perencanaan selesai.
Saat ini UU Cipta Kerja sudah mengatur konteks masyarakat adat dan kearifan lokal yang mereka miliki. Hak pengelolaan bagi masyarakat hukum adat yang memang sudah ada perdanya bisa dilakukan.
Pencapaian seperti apa yang Bapak bayangkan bisa terjadi di Papua ketika periode pemerintahan berakhir di 2024?
Saat ini tahapannya masih sampai synthetizing diri saya sendiri dan mencoba memasukkan dalam sistem kerja kami. Saya sudah janji, kalau tidak jadi Wamen lagi, saya akan buat laporan pertanggungjawaban kepada wamen dan menteri selanjutnya. Minimal untuk Papua ada satu bagian sendiri yang kita coba dorong.
Harapannya ada pondasi yang fix. Ada Inpres yang memberikan pertanggungjawaban kepada Wapres dengan fungsi bridging. Beliau ingin memahami akar permasalahan. Kami dari kementerian teknis tinggal menerjemahkannya jadi kerja-kerja teknis.
Kita perlu siapkan SDM. Kemudian kita mendorong kerja sama dengan pemerintah daerah, CSO, dan masyarakat hukum adat.
Saya fokus bersinergi antara kami sendiri dulu sambil menyiapkan kerja sama antarsektor atau lintas sektor. Mudah-mudahan ketika masa jabatan saya sudah habis, paling tidak sudah ada pondasi awal untuk model dan strategi kerja samanya, SDM-nya, best practice siapa yang terlibat dan diikutkan, lalu kelembagaannya seperti apa. Jadi, diharapkan siapapun pengganti Pak Menteri dan saya, tidak nol lagi mulainya. Jadi melanjutkan yang sudah disiapkan.